SENIN, 23 Agustus siang. Hari itu sebetulnya Presiden Soeharto
cukup repot. Bersama Nyonya Tien Soeharto, pagi hari yang sama
harus meresmikan gedung LIPI yang baru. Setelah itu di Istana
Negara ada pembukaan seminar Tenaga Kerja Wanita.
Tapi di samping suasana dinas ini toh tak bisa dilalaikan
suasana keluarga. Begitulah, sementara para keluarga dekat
presiden telah menunggu di Jalan Cendana 6 -- kediaman kepala
negara -- Presiden dan nyonya cepat berganti busana. Pak Harto
kemudian mengenakan kemeja batik latar hitam dan Ibu Tien
mengenakan gaun kotak-kotak miring. Tepuk tangan segera bergema
ketika pasangan ini memasuki ruangan. Hari itu, Nyonya Tien
Soeharto, genap berusia 59 tahun.
Dan Nyonya Tien Soeharto -- yang mengajak hadirin untuk membaca
Al-Fatihah-tidak berulang tahun sendirian. Siti Hutami Endang
Adiningsih, putri terbungsu Presiden Soeharto, juga merayakan
hari ulang tahun yang sama dengan ibunya. Usia Mammiek -- begitu
dia biasa dipanggil -- genap 19 tahun. Putri bungsu ini pulalah
yang di malam 30 September, 1965, (waktu itu usianya masih 14
bulan), secara tidak langsung telah menyelamatkan ayahnya dari
aksi Gerakan 30 September. Mammiek waktu itu harus dirawat di
RSPAD (kini RS ABRI Gatot Subroto) karena luka lepuhnya. Sang
ayah karena itu tak berada di rumah (waktu itu di Jalan Agus
Salim), hingga selamat dari gerakan yang telah menewaskan
sejumlah perwira tinggi AD itu.
Tetapi Mammiek hari itu telah menelepon Direktur PFN, Brigjen G.
Dwipayana. Berbicara langsung di telepon, Mammiek minta agar
Dwipayana membujuk TVRI untuk tidak menyiarkan perayaan ulang
tahun ibunya. Televisi yang sedianya akan menyiarkannya pada
acara Warta Berita, mengurungkan niat. Sebabnya? "Mammiek tidak
mau diekspos di televisi," jawab seorang keluarga dekat Pak
Harto. Tambahnya: "Mammiek memang pemalu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini