PAKU Alam VIII melanggar tradisi. Itu terjadi Senin pekan lalu, ketika Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakara ini merayakan ulang tahunnya ke-79, menurut tahun Jawa. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam VIII, begitu nama lengkap yang resmi, yang mengenakan busana kebesaran lengkap dengan simbol-simbol rajanya, membikin kaget sekitar 200 undangan. Di waktu semua hadirin bersimpuh dan menunduk, ketika suasana begitu hening itulah, tiba-tiba terdegar suara, "kiai penghulu, pekenira manira saraya ingkang upaya handongani hajat manika. Enggal leksanakna." (Kiai penghulu, Anda saya minta pertolongan agar mendoakan hajat saya. Segera laksanakan). Paling kaget, tentu saja, penghulu yang dimaksud, yakni Kiai Mas Wehono Haji Wazid Afandi Projohastono. Kiai ini, setelah tertegun sejenak, lalu menjawab sabda Raja, "Sendiko dawuh" (Baiklah, saya laksanakan perintah.) Lalu ia membacakan doa. Lalu apa salah raja kedua, setelah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, di Yogyakarta ini? Sudah jadi adat, sejak Pakualaman berdiri, pada hari peringatan hari lahir Sri Paduka Paku Alam, yang bersangkutan terkena sejumlah pantangan. Yang paling penting, di hari itu ia tak diperbolehkan memberi perintah kepada siapa pun lewat kata-kata. Dan inilah, untuk pertama kalinya dalam sejarah, pantangan itu dilanggar. "Dalam tradisi, tak pernah seorang raja berbicara atau menyampaikan perintah langsung dalam acara seperti ini," kata Tamdaru Tjokrowerdoyo, seorang kerabat. Biasanya raja memakai bahasa isyarat, misalnya dengan mengangguk atau menggerak-gerakkan anggota badan. Lalu, kata Tamdaru, mungkin Sri Paduka bersikap mengalah. Bahasa isyarat, bisa jadi, sulit diterima oleh generasi muda keraton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini