TOKOH hitam-hitam mundur dari Yayasan Lembaga Konsumen (YLK). Dialah Permadi, salah seorang pendiri yayasan ini, 14 tahun lalu. "Saya lepaskan jabatan di YLK, karena lembaga itu sudah tak menarik lagi," kata dia -- yang Sabtu dua pekan lalu menyerahkan kursi Ketua YLK kepada Erna Witular, salah seorang tokoh lingkungan hidup. "Lembaga ini tak punya gigi lagi," katanya. Lelaki 46 tahun itu, yang suka berpakaian hitam-hitam, lalu bercerita. Sesuai dengan fungsinya, selama ini YLK telah melakukan penelitian atas beberapa produk. Dan hasilnya, ada sejumlah hasil produksi Indonesia yang dinilai oleh YLK merugikan konsumen. Misalnya, ada saus tomat yang tidak dibuat dari tomat, dan zat pewarnanya berbahaya bagi kesehatan. Ada produk limun yang memakai gula sakarin. Semua ini sudah dilaporkan ke pemerintah, tapi tak ada tindakan apa pun terhadap pabrik-pabrik itu. "Padahal, ada yang disebut SII, standar industri Indonesia. Karena tak ada sanksi bagi pelanggarnya, mungkin SII berarti standar iseng-iseng." Memang ada alasan lain lagi, dan itu menyangkut keselamatan diri. "Tak terhitung sudah berapa kali saya menerima ancaman karena hasil penelitian YLK," katanya. Ia sebutkan, antara lain, ketika YLK meneliti sebuah pabrik tepung yang memonopoli produk tertentu -- ia tak mengizinkan nama produk itu ditulis. E, suatu hari Permadi dipanggil seorang pejabat penting, yang meminta agar penelitian itu dihentikan. Lalu muncul pula ancaman telepon gelap. "Saya mau dijadikan seperti Nurdin Koto kedua," tutur Permadi. Nurdin Koto adalah karyawan Bogasari yang dibunuh secara sadistis. Sebagai sebuah lembaga swasta, YLK menerima dana tak mengikat dari Presiden (Rp 6 juta per tahun), Pemda DKI Jakarta, departemen yang terkait, dan beberapa yayasan internasional yang punya kegiatan serupa. Tak ada dana dari perusahaan mana pun, karena, menurut Permadi, itu menyalahi kode etik. Dan, tentu saja, membuat YLK bisa tak bebas meneliti. Begitu pun, menurut pengakuan sarjana hukum lulusan UI ini, tetap saja YLK dimusuhi karena hasil-hasil penelitiannya. Bahkan pernah subsidi dari Pemda DKI dibekukan selama enam bulan. Soalnya, YLK meneliti kerang hijau yang oleh Pemda dianjurkan untuk dibudidayakan. "Kerang itu mengandung merkuri, masa dianjurkan untuk dimakan?" "Sebenarnya, saya ini orang aneh. Semakin banyak tantangan, semakin senang," ujarnya. Sayang "keanehan" dirinya terpaksa tak bisa dipertahankan. Kini lelaki langsing dengan kumis bak tokoh Sentyaki dalam dunia pewayangan itu hanya giat sebagai konsultan di beberapa instansi dan di Yayasan Parapsikologi Semesta. Selain memberikan ceramah apa pun bila diminta. Dan mungkin, untuk tak menyalahi kode etik, sebagai orang paranormal ia tak pernah menggunakan kebisaannya untuk menduga berbahaya tidaknya sebuah produk. "Tentu tidak, dong," jawab Permadi cepat. "Penelitian YLK bukan hasil paranormal." Untuk menanggulangi telepon gelap pun, Permadi lebih memilih mundur -- mungkin setelah merenung secara paranormal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini