ABDURAHMAN Wahid bercerai dengan Golkar. Abdurrahman Ketua PBNU itu? Betul, dan itu "mungkin karena tidak jodoh saja," katanya sambil terkekeh-kekeh. Dan inilah ceritanya. Pekan lalu, tak seperti biasanya, Cak Dur berangkat dari rumah tak bermobil. Ia nebeng di mobil dr. Kartono Mohamad. (Mereka kini memang tinggal agak berdekatan, dan dokter itu pun seorang ketua PB juga, yakni Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.) Cak Dur turun di Jalan Imam Bonjol. Sebagai penumpang, tentu, tak enak bila ia minta diturunkan di Jalan Kramat, Kantor PBNU, tujuan dia, sementara yang ditumpangi tak lewat jalan ini. Dari Imam Bonjol, ia maunya mencari taksi ke kantor PBNU. Eh, tak ada taksi yang nongol. Terpaksa naik bis kota yang penuh sesak. Saat itulah, kegolkaran Cak Dur tanggal. Persisnya, arloji bergambar Golkar lenyap, pindah tangan, entah tangan siapa. "Jam itu 'kan pemberian Pak Dharmono ketika saya menemuinya di Sekneg," kata Cak Dur. Dan itu penting. "Bukan gambarnya. Soalnya, ya, cuma itulah arloji saya, he, he." Dan ini pendapat Cak Dur tentang pemilu, Jumat pekan lalu, dalam diskusi tentang konsep ketatanegaraan menurut kitab kuning (lihat Agama), Abdurrahman menyebut pemilu sebagai jaiz (boleh-boleh saja) hukumnya. Ini untuk menandingi pendapat Kiai Muchlis di situ yang mengatakan pemilu fardhu kifayah (wajib, tapi tak harus semua orang). Bila demikian, bantah Abdurrahman, 'kan cukup seorang saja yang mencoblos ? Semua yang hadir pun tertawa, ramai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini