Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putri Indonesia Nadine Chandrawinata ternyata laris manis sebagai “baby sitter”. Rasa sukanya pada anak-anak membuat para tantenya di Jakarta dan Jember, Jawa Timur—kampung ayahnya—kerap menelepon Nadine. Nona cantik ini diminta menunggui para sepupu ciliknya di saat orang tua mereka pergi. Bahkan ada tante yang minta tolong untuk membujuk anaknya yang rewel. “Nadine, nih ada yang nangis—ke sini dong,” Nadine menuturkan ucapan tantenya kepada wartawan Tempo Philipus Parera. Nadine adalah sulung dari tiga bersaudara dengan sepasang adik lelaki kembar.
Lantaran gemas kepada anak-anak, gadis 21 tahun ini mengaku pernah bercita-cita menjadi guru Taman Kanak-kanak. Belakangan, pikirannya berubah. “Saya ingin kerja di UNICEF, The United Nations International Children’s Emergency Fund.” Ketika terpilih menjadi Putri Indonesia 2005, angan-angannya melayang ke Aceh. “Saya ingin bertemu anak-anak di sana,” ujarnya. Enggak khawatir dikira bule?
“Fisik dan rambut saya mungkin Jerman—keturunan Mama—tapi yang lainnya Indonesia. Sekolah di Indonesia, ngomong Indonesia. Jalan-jalan lebih banyak di Indonesia,” kata Nadine. Dia lahir di Hannover, Jerman. Sejak dia berusia empat tahun, keluarganya pindah ke Jakarta. “Pacar saya juga orang Indonesia,” ujar nona yang mahir berbahasa Indonesia, Jerman, dan Inggris itu.
Valerina Daniele, 26 tahun, juara ketiga Putri Indonesia 2005. Urusan keputrian menimbulkan sedikit soal pada sepatu Valerina yang notabene adalah wartawan televisi. Sebagai reporter, dia biasa bergerak cepat ke mana-mana dengan sepatu trepes alias bertumit rendah. Jenis sepatu itu mana cocok untuk berlenggak-lenggok di panggung! Apalagi tinggi
Valerina hanya 167 sentimeter. Solusinya: sepatu bertumit 12 sentimeter. Tinggi Valeria langsung melejit ke 179 sentimeter—tinggi para peserta pemilihan Putri Indonesia rata-rata di atas 170 sentimeter.
Sialnya, sepatu hak tinggi bukan barang biasa bagi Valerina. ”Belum pernah saya mengenakan sepatu berhak tinggi selama 10 hari penuh (masa karantina)—apalagi 12 sentimeter,” ujarnya kepada Tempo. Tak ada cara lain, dia lantas ikut ”kursus singkat” menyeimbangkan tubuh, melangkah dengan tubuh tegak plus melenggak-lenggok bak peragawati dengan ”dongkrak” tadi. Hasilnya? ”Sekarang saya sudah lebih anggun, cantik, dan dewasa kalau berjalan,” ujarnya sembari terkekeh. Untung saja tidak keseleo….
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo