Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA yang bisa kita katakan tentang pengadilan Pollycarpus Budihari Priyanto—tersangka pembunuh aktivis Munir—yang akan dilangsungkan Selasa pekan ini? Pengadilan sesat? Pengadilan mengada-ada? Pengadilan yang diatur untuk membebaskan terdakwa? Sidang itu memang belum lagi dimulai, tapi fakta-fakta awal menunjukkan bahwa pengadilan yang diharapkan dapat mengungkap siapa pembunuh Munir dan jaringan di belakangnya itu sesungguhnya akan berlangsung tak becus.
Satu yang terpenting adalah surat dakwaan jaksa—elemen pokok yang akan menentukan arah pengadilan. Dalam dokumen setebal delapan halaman itu, Polly didakwa membunuh Munir di dalam pesawat Garuda GA974 jurusan Jakarta-Singapura pada 6 September 2004. Hari itu Munir berencana terbang ke Belanda untuk melanjutkan studi. Bekerja sama dengan beberapa kru Garuda yang juga sudah dijadikan tersangka, Polly memasukkan racun arsenik ke dalam jus jeruk yang diminum Munir. Aktivis hak asasi manusia itu tewas beberapa jam setelah pesawat lepas landas dari Singapura menuju Amsterdam.
Tapi dalam dakwaan itu motif Polly membunuh Munir sungguh tak jelas. Polly disebut orang yang gigih berjuang untuk menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia melihat Munir sebagai aktivis prodemokrasi yang terbiasa mengkritik pemerintah dan dengan demikian bisa mengganggu kerja pemerintah. Motif yang ringkih ini mudah dipatahkan pembela Pollycarpus. Sedikit berimajinasi, kita bisa membayangkan pembela terdakwa akan dengan tenang menjawab tuntutan jaksa. Kata mereka, ”Apakah dengan demikian para veteran pejuang kemerdekaan yang juga gigih membela Indonesia juga punya motif untuk membunuh Munir?” Sampai di sini saja, Polly kuat diduga bisa bebas, bukan hanya karena ia terbukti tidak bersalah, tapi karena dakwaan itu kosong melompong alias no case.
Hal lain adalah tentang bagaimana jaksa membangun argumentasi untuk membuktikan kesalahan Pollycarpus. Setelah menawari Munir pindah ke kursi bisnis dari kelas ekonomi, Polly disebut memasukkan arsenik ke gelas jeruk yang akan diminum Munir. Adalah pramugari Yeti Susmiarti, kini tersangka, yang menyusun gelas jeruk dan wine berselang-seling karena tahu Munir tak minum anggur. Munir menenggak jeruk beracunnya, sementara Polly mondar-mandir di dekat bar kelas bisnis mengamati apa yang terjadi.
Semua dakwaan itu disandarkan pada angin. Polly, Yeti, dan tersangka lain tak pernah mengaku melakukan konspirasi membunuh Munir. Tak ada barang bukti, tak ada dokumentasi. Di sidang, setelah para terdakwa membantah tuntutan jaksa, bisa dipastikan mereka akan bebas. Temuan tim pencari fakta bentukan Presiden yang bekerja enam bulan sejak Desember lalu praktis tak dipakai.
Tuntutan jaksa juga tak mengembangkan keterlibatan dalang di belakang Pollycarpus. Hubungan telepon Polly dengan pejabat intel tak sedikit pun dibahas. Nama badan intelijen Indonesia yang berkali-kali disebut dalam rekomendasi tim pencari fakta dan dalam berita acara pemeriksaan Pollycarpus seperti hilang ditelan bumi.
Tak bisa lain, pengadilan harus menolak dakwaan jaksa ini dan menunda sidang untuk sementara waktu. Sementara itu Presiden melalui Jaksa Agung harus menekan aparatnya agar lebih serius bekerja. Polisi juga harus lebih keras diingatkan agar tak memberikan informasi (hasil penyelidikan dan penyidikan) berkategori ”sampah”, yang hanya memberikan alasan bagi para jaksa untuk membuat dakwaan asal-asalan.
Seperti kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kasus Munir adalah sebuah pertaruhan. Kita semua harus bisa membuktikan bahwa pengadilan kasus Munir bukanlah pengadilan sesat, yang hanya akan membuat kita menelan ludah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo