J.H.J. Brendgen adalah orang Belanda kelahiran Cimahi. Besar dan
bersekolah di Bandung. Cita-citanya, waktu itu: jadi serdadu.
Sebab itu, selepas HBS, Brendgen pulang mudik ke tanahair
orangtuanya untuk sekolah militer. Tamat Akademi Militer Breda,
Brendgen berpangkat letnan II lantas ditempatkan di Hindia
Belanda kembali. Antara lain di Aceh, di mana dia tinggal 7
tahun dan mahir cakap bahasa daerah itu. Bersama Gubernur
Belanda di Aceh van Akken waktu itu, Brendgen lulus kurus Bahasa
Aceh dengan predikat baik.
Ketika Jepang masuk tentu saja nasibnya berobah. Pernah bentrok
fisik dengan Jepang di Subang. Pernah jadi kuli, dan punya
pengalaman jadi tawanan Jepang dan dikirim ke Birma untuk
membenahi jalan kereta-api. Jepang menyerah, Brendgen kembali
jadi tentara Hindia Belanda dan ditempatkan di Makasar.
Pangkatnya sudah kolonel. Ada satu hal yang tidak mengenakkan
hatinya. "Sebagai orang militer, saya harus mengemban tugas.
Tapi batin saya goyah. Bayangkan, saya besar dan hidup di
Indonesia, dan harus berkelahi dengan orang Indonesia," katanya.
Jabatannya yang terakhir Komandan Teritorium Sumatera Selatan.
Setelah itu pensiun.
Tubuhnya tinggi besar. Rambutnya kini putih semua, usianya sudah
75 tahun. Mei yang lalu, Brendgen ke Aceh lagi dengan penuh
nostalgia. Bisa berbicara Indonesia, tidak melupakan bahasa
Aceh, bahkan masih dengan aksen dan mutu tinggi. Jadi sahabat
Gubernur Aceh Muzakkir Walad dan sudah 4 kali mengunjungi
serambi Mekah itu. "Asyik mengungkapkan kisah lama," kata
Brendgen.
Kunjungannya yang terakhir ialah ketika dia harus hadir dalam
upacara pemakaman ulang Jenderal Kohler yang gugur di tahun 1873
-- dalam Perang Aceh. Makam Kohler dipindahkan dari Pekuburan
Tanah Abang ke Peucot, makam orang-orang Belanda yang kini
dipugar di sana. "Ini merupakan start dari rencana kami," ujar
Brendgen. Dia kini jadi bendahara sebuah yayasan yang namanya
Peucot Fonds.
Niatnya selanjutnya mendirikan sebuah monumen untuk Abdul Hamid,
seorang duta dari Kerajaan Aceh dulu yang meninggal di Belanda.
Monumen itu akan berdampingan letaknya dengan monumen Admiral
Evertsen yang gugur dalam pertempuran laut dengan Inggeris. Kini
lelaki tua yang punya 4 orang anak dan 6 orang cucu ini tinggal
di Haarlem. Dia berkecimpung di tengah-tengah masyarakat
Indonesia di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini