V ibrant Red of Asia, Dimensions of Colours, Fusion of Hearts. Begitulah Josephine "Obin" Komara, 46 tahun, menamakan "anak-anak"-nya: setumpuk lembaran batik dan sutra yang dia gelar dalam sebuah peragaan pada Selasa pekan ini di Singapura. Berjudul Revival of Cloth, acara ini berlangsung di sebuah kapela tua di Cymes Hall, Jalan Victoria. Sekitar 60 lembar batik dan sutra yang berharga jutaan rupiah per helai akan memanjakan mata para penonton.
Murah, sih, bila menilik proses pembuatan satu helai kain yang bisa makan waktu hingga empat tahun. Kekhasan kain buatan Obin—pemilk Bin House—adalah tak pernah ada dua lembar kain yang sama: satu rancangan, satu kain. "Tukang kain" yang berambut sepinggang ini sudah 20 tahun lebih ber-kecimpung dalam seni perkainan.
Dia mengawali usaha ini pada 1985 di satu paviliun kecil di Jalan Panarukan, Jakarta Pusat. Ditemani seekor anjing kecil bernama Si Cewek, Obin datang ke Panarukan dengan membawa 20 gulung kain ikat. "Dia betul-betul miskin ketika itu. Modalnya pinjam kanan-kiri," tutur Roni Siswandi, arkeolog yang bergabung dengan Obin pada 1986. Dibantu Roni_yang kemudian menjadi suaminya_dan beberapa mitra lain, Bin House berkembang menjadi sebuah usaha yang banyak dikenal di Indonesia dan mancanegara, termasuk Singapura.
Dan peragaan kali ini adalah persembahan pertamanya untuk publik Singapura. Dua peragawati Indonesia akan menggelar "keindahan Indonesia" tersebut. Obin, yang dikenal amat perfeksionis, menyiapkan para peragawatinya dengan spartan, ber-bulan-bulan sebelum show. Misalnya, mengawasi menu makanan, latihan fisik, serta menyediakan vitamin khusus untuk mereka. "Gue bilang sama anak-anak itu, selama kerja dengan gue, elu jangan flu, jangan sakit, jangan mati," ujar Obin kepada TEMPO sembari tertawa berderai, pekan lalu, sebelum ia terbang ke Singapura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini