Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Penyakit lever menghukumnya

Bintang film dan produser, bambang irawan, meninggal dunia setelah 3 kali menjalani operasi. pt. agara film miliknya mengalami krisis keuangan berat.(pt)

20 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BINTANG film Bambang Irawan, Oktober lalu meninggal akibat penyakit lever yang diderita sejak 1976, setelah mengalami 3 kali operasi Oktober 1976, Agustus 1978 dan 5 Oktober 1979. Ia lahir di Semarang S Februari 1932. Setamat SMA (1954) dia ke Jakarta untuk cari kerja dan sempat menjadi penganggur beberapa lama--suatu masa yang mempertemukannya dengan isterinya, Arzia Dahar, yang kini disebut Ade Irawan. Dari pernikahan mereka lahir 5 orang anak. Tahun 1960-an adalah jaman keemasan Bambang. Tawaran untuk main cukup banyak, sehingga tahun 1961 sanggup beli rumah seharga Rp 150 ribu. "Saya sendiri waktu itu usaha kecil-kecilan. Dagang kain batik dan lurik, untuk tambahan beli keperluan dapur," kata Ade lagi. Pada saat itu, walau dunia perfilman mulai lesu, keuangan keluarga Bambang tidak terganggu. Bahkan tahun 1963 datang raja rokok kretek dari Kudus, Pak Harto, menawari Bambang untuk bikin film. Bambang pun tidak menolak. Maka didirikanlah PT Agora Film yang segera memproduksi Aku Hanya Bayangan, dicukongi Pak Harto. Sesudah itu Bambang pun cari kredit dari Bank Koperasi Tani & Nelayan. Dan tak kurang dari 34 film sempat diproduksi sampai tahun 1976. Namun tak semua film produksinya itu berjalan lancar. Banyak yang macet setengah jalan serta banyak yang tak bisa beredar. Akibatnya perusahaan yang dikelola bersama Harjo Mulyo itu mengalami krisis keuangan berat, bersamaan dengan sakitnya lever Bambang. Dan, "Mas Harjs Mulyo justeru mengundurkan diri di saat kebangkrutan itu . . .," tutur Ade sambil menghela nafas. 3 buah rumah, tanah, uang tabungan serta 2 mobil antik amblas menjadi penyumbat hutang perusahaan. Yang tinggal hanya 1 mobil antik abu-abu yang sedang turun mesin dan sebuah sepeda motor Yamaha. Dan keluarga itu kini menempati sebuah rumah yang dipinjamkan oleh seorang keluarga Bambang secara cuma-cuma untuk 4 tahun lamanya. Ukuran 8 x 10 meter, berdinding tembok. "Saya tidak menyesal dengan apa yang ada sekarang," ujar Ade, kini 42 tahun. "Kalau toh Agora harus bangkrut bersama wafatnya Mas Bambang, itu memang sudah kodrat-Nya. Dulu pun kami berangkat dari nol. Tapi syukurlah kami punya familiyang sering membantu. Dan terkadang saya atau anak saya mendapat kontrak untuk main film." Harjo Mulyo sendiri, 55 tahun, mengundurkan diri dari Agora karena "tidak sefaham lagi dan ingin berusaha sendiri," katanya. Usahanya itu nampaknya maju. Di rumahnya dibuka usaha penyewaan peralatan pesta meski selama di Agora dia mengaku tak bisa membeli apa-apa yang berarti. "Paling-paling cukup buat makan saja," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus