Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Bukan sengketa islam kristen

5 gereja di bakar di aceh selatan. 6.000 orang beragama kristen menyeberang ke saragih, sumatera utara. ini hanyalah pertentangan antara orang-orang fakfak dairi sendiri. (dh)

20 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat bulan lalu orang terkejut ketika terbetik berita 5 gereja terbakar di Simpang Kanan, Aceh Selatan. Disusul dengan membanjirnya para pengungsi dari sana ke Kabupaten Dairi dan Tapanuli Tengah, Sum-Ut. Ternyata itu bukan sengketa antara Aceh-Batak atau Islam-Kristen. Di bawah ini laporan wartawan TEMPO Bersihar Lubis yang meninjau desa Saragih, tempa penampungan para pengungsi itu. DESA Saragih, di mana itu? Kalau anda berada di Sibolga, naiklah bus sejauh 66 km, lewat jalan bergelombang. Turunlah di Barus. Lalu silakan naik perahu motor selama 4 jam di sungai Sitapus menuju Nanjur. Maaf, sampai di sini jalan putus. Anda masih harus jalan kaki sejauh 20 km lagi, lewat proyek perkayuan pemegang HPH. Di sanalah anda bisa berjumpa dengan sekitar 6.000 pengungsi beragama Kristen asal Simpang Kanan, Aceh Selatan yang sudah mukim sejak 4 bulan sejak pertengahan Juni lalu. Arus pengungsi itu bermula dari pembakaran 5 gereja di Aceh Selatan. Tapi menurut Pangdam I/Iskandar Muda Brigjen RA Saleh, hingga akhir Juni itu sudah sekitar 60% para pengungsi kembali ke tempat semula. Bahkan mulai 11 Oktober lalu, seluruhnya diantar pulang oleh para petugas Koramil dan Komandan Resor Kepolisian setempat. Menurut rencana, Sabtu 13 Oktober lalu diselenggarakan upacara perdamaian secara adat antara 2 kelompok yang saling bertentangan di Lae Butar, kecamatan Simpang Kanan, Aceh Selatan. "Selepas perdamaian itu, semuanya akan kembali seperti sediakala," ujar Doria Hutabarat, Camat Barus, Tapanuli Tengah. Meski begitu, ada pengungsi yang masih was-was. "Kami sebenarnya percaya jaminan keamanan yang dijanjikan," ujar Jore Tumanggor, 37 tahun, dengan tanggungan 6 jiwa termasuk isteri. Tapi khawatir, orang-orang Simpang Kanan masih tidak menyukai keadirannya. Daerah Baru Lebih-lebih setelah teman-temannya yang pulang ternyata kembali lagi ke Saragih. Kabarnya banyak rumah pengungsi yang ditinggalkan itu pada kosong, sementara dinding dan atap sengnya pun pada copot. Itu tak berarti semua pengungsi tak mau pulang. Terutama setelah para pejabat kecamatan memberi penerangan 9 Oktober lalu. Naras Manik, 65 tahun, misalnya lebih suka pulang. "Kalau di sini terus, uang bisa habis," katanya. Pemda di sana memang membagikan beras tapi tidak mencukupi kebutuhan. Disampaikan 3 tahap, tiap setiap orang menerima 5 kg, lalu 3 liter, terakhir 2 liter lagi. "Pokoknya saya harus pulang, meskipun harus jalan kaki 2 hari," tambah Naras. Keberatan para pengungsi untuk pulang, konon juga lantaran mereka tertarik pada rencana Pemda Sum-Ut membuka proyek pemukiman dan persawahan baru seluas 5.000 ha di Saragih. Karena jumlah penduduk Saragih sendiri cuma 710 orang, maka para pengungsi pun berharap bisa menetap dan mencari makan di daerah baru itu. Tapi kalaupun ingin tetap tinggal, Camat Hutabarat mmta agar mereka mengusahakan surat ijin pindah dari amat Simpang Kanan dulu. "Hingga kelak tidak dianggap sebagai penduduk liar," ujar Camat lagi. Yang pasti, sementara kehidupan di Simpang Kanan Aceh Selatan sudah mulai pulih, para pengungsi pun tampaknya juga mulai betah tinggal di desa Saragih. Adakah sengketa ini antara 2 suku Aceh-Batak atau Islam-Kristen? Ternyata tidak. Menurut cerita G. Tumanggor, 40 tahun, Sekretaris Kepala Desa Saragih, pertentangan ini antara orang-orang Fakfak Dairi sendiri. Pertentangan itu, begitu dikisahkan, sudah muncul sejak awal abad 19 lalu, ketika nenek-moyang mereka masih tinggal di Kabupaten Dairi. Konflik berlanjut sampai ketika 1890 sekelompok orang Fakfak Dairi mengungsi ke Aceh Selatan. Bermukim di sana, mereka lantas memeluk agama Islam. Di sana mereka juga dikenal dengan sebutan "Boang Fakfak", artinya orang-orang Fakfak yang membuang diri. Mungkin karena di kabupaten Dairi konflik itu terus berlangsung, sekelompok orang Fakfak lainnya pada awal abad 20 mengungsi lagi ke Aceh Selatan. Tapi mereka kebetulan sudah beragama Kristen. Selama bertahun-tahun sebenarnya mereka hidup rukun, sampai terjadinya pergeseran dalam tingkat kehidupan beberapa tahun lalu. Beberapa tahun belakangan ini kelompok Fakfak Dairi yang datang belakangan ke Aceh Selatan rupanya banyak yang berhasil menguasai roda perekonomian di sana, "mulai dari perdagangan getah, angkutan darat dan laut," tutur Tumanggor. Bahkan kedua kelompok itu pun bersaing pula dalam menduduki kursi di kantor kecamatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus