MEGAWATI Sukarnoputri menangis. Mata-nya terus berkaca-kaca dan suaranya lirih. "Banteng betina" ini lunglai di hadapan keluarga besar Banjar Baleagung, Kabupaten Buleleng, Bali. Hari itu, Senin pekan lalu, Ketua Umum PDI ini bersembahyang di merajan (pura keluarga) eyang putrinya. Ia melakukan sembah kepada leluhurnya, sebagaimana biasa yang dilakukan pemeluk Hindu di Bali. Nenek Megawati, yakni ibunda Bung Karno, memang berasal dari sana. Mbak Ega -- demikian Megawati dipanggil -- ditemani kerabat keluarganya yang asal Bali. Ini sekaligus reuni karena, kata Mbak Ega, mereka jarang berjumpa. Di situ telah hadir nenek- nenek Mbak Ega yang lain, yakni Made Wati, 90 tahun, dan Luh Wati, 70 tahun. Kedua orang tua yang merupakan keluarga dekat Ida Ayu Rai Srimben -- nama nenek Megawati -- ini menghadiahkan sebentuk cincin untuk Mbak Ega. Megawati tak banyak bicara selama berada di tanah leluhur neneknya. Namun, esoknya, di depan lebih dari lima ribu massa PDI di Gianyar, Mbak Ega baru menceritakan masa kecilnya yang akrab di Bali. "Bali ini rumah saya. Keluarga saya ada di Buleleng," katanya. Lalu ia bercerita bagaimana ia digendong Bung Karno bergaul dengan masyarakat desa, mendengarkan suara gamelan, mendengarkan kidung-kidung Weda. Bung Karno bercerita tentang kejayaan Majapahit dan dibandingkan dengan Bali yang tertib, aman, dan berdenyut ekonominya. "Sekarang, manakah suara-suara surga dari gamelan, manakah kidung-kidung dari Weda-Weda? Mana sawah-sawah yang menghampar? Kepariwisataan Bali sudah jenuh," katanya berapi-api. Sambutan masa pun bergemuruh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini