SEJAK skorsing dijatuhkan oleh Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof. Wiranto Arismunandar, gelombang protes tak kunjung reda. Yang terkena skors tak boleh ikut kuliah adalah Mohammad Meylana Hermawan dan Yosalfa Rinaldi Chaer. Pemrotes menuntut agar Rektor membatalkan sanksi yang dijatuhkan itu. Aksi protes tak hanya muncul di Kampus Ganesha, Bandung, dan dilancarkan mahasiswa ITB. Merebak pula aksi solidaritas di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Ada pula yang sempat mendatangi DPR dan mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Para mahasiswa ITB sendiri sempat minta agar Menteri P dan K turun tangan. Malah ada alumni ITB yang sempat "ikut aksi" dan minta Rektor turun. Pekan lalu, aksi protes itu diwarnai pula pengunduran diri seorang mahasiswa, Deni Agus Dwiyanto. Mahasiswa angkatan 1988 yang kini sedang menghadapi tugas akhir di Jurusan Teknik Sipil ITB itu memang berhasil menarik perhatian -- karena aksi protesnya mengundurkan diri. Protes yang merebak, termasuk -- kalau jadi -- rencana long march Bandung-Jakarta pekan ini, tak membuat Wiranto berubah sikap. Ahli motor bakar yang sudah dua periode menjadi rektor itu dengan tenang menjawab pertanyaan yang diajukan wartawan TEMPO Asikin di rumah dinasnya di Jalan H. Juanda, Bandung, Jumat sore lalu. Berikut ini petikannya: Bagaimana sikap Anda setelah ada aksi protes dari mahasiswa dan tanggapan berbagai pihak atas keputusan skorsing yang Anda jatuhkan pada Mohammad Meylana dan Yosalfa? Saya kira tak perlu saya tanggapi. Wong, orang cuma mau ramainya saja. Biarkan saja orang menilai. Saya hanya menganggap mereka itu tak mengerti. Kalau sudah sadar, mereka tahu sendiri. Bagaimana dengan pernyataan beberapa alumni ITB di Jakarta yang minta Anda mundur sebagai Rektor ITB? Saya anggap mereka itu tak mengerti (sambil tertawa kecil). Biarkan orang lain saja yang menanggapi. Saya sendiri malas menanggapinya. Lalu, bagaimana tanggapan Anda dengan keluarnya Deni Agus Dwiyanto? Oh... itu sepenuhnya hak dia, dan saya menghargai. Kan, sudah saya bilang, kalau memang tak cocok dengan sistem pendidikan di ITB, jangan dipaksakan karena akan menyiksa diri. Nanti jadi insinyur pun juga akan menyulitkan. Seluruh kegiatan di ITB harus membuat dirinya terpercaya. Kenapa Anda enggan berdialog dengan mahasiswa? Memangnya selama ini nggak pernah berdialog? Kalau lagi main tenis, saya sering berdialog dengan mahasiswa. Apa Anda tak punya cara yang baik untuk segera menuntaskan masalah ini agar tak merembet ke mana-mana? Cara ... (sejenak Wiranto berpikir). Kalau soal itu, ITB sudah memberi cara yang cukup, yakni hanya memberi yang benar. Kenapa masa kepemimpinan Anda di ITB, kok, selalu digoyang mahasiswa? Anda terlalu keras? Mereka ingin membuat gitu ... kan, enak. Soal orang mengatakan sanksi itu berat, itu relatif. Saya sekarang ingin ITB itu maju, membangun, berinovasi, dan ITB menunjang industri. Bagaimana caranya? Mahasiswa harus giat belajar. Mahasiswa punya cita-cita menjadi seorang profesional, tak setengah-setengah dalam pekerjaan, berdisiplin tinggi, dan berinovasi. Saya ingin, mahasiswa menjadikan dirinya orang yang berjasa bagi bangsa. Untuk itu, mahasiswa harus kembali pada yang dasar, yaitu menyadari mengapa mereka sekolah di ITB. Nantinya, mereka harus mampu meningkatkan kemampuan dan keterampilannya berkomunikasi, dan punya standar moral serta etika yang tinggi. Standar moral dalam gambaran Anda seperti apa? Standar moral itu adalah sesuatu yang harus mengacu pada kemanusiaan. Jadi, ilmu pengetahuan dan teknologi itu adalah untuk kepentingan dan peningkatan kesejahteraan manusia. Acuannya itu. Di ITB, mahasiswa benar-benar melatih diri menjadi orang kreatif dan berdisiplin tinggi. Disiplin adalah tuntutan bagi mereka yang menangani ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi. Saya ingin menjadikan ketaatan pada peraturan itu suatu kebanggaan. Punya standar moral dan etika yang tinggi. Saya ingin lulusan ITB itu terpercaya, baik budi bahasanya, memiliki potensi berkembang, manusia pembangun, memiliki jiwa kejuangan, dan mandiri. Artinya, Anda mengharapkan mahasiswa ITB itu hanya giat belajar? Oh... harus begitu. Mereka datang ke kampus kan untuk belajar. Mereka harus meningkatkan nilai tambahnya sendiri setinggi-tingginya. Jangan sampai datang ke kampus ini mubazir. Lalu, apakah karena itu pula Anda anti terhadap OS (orientasi studi) dan perpeloncoan? Sudah terang itu tak cocok lagi dengan perkembangan sekarang. Saya kira sudah cukuplah mengomentari itu. Saya mau yang lain. Saya juga tak mau terganggu dengan persoalan begini (maksudnya, OS dan perpeloncoan itu). Bagaimana resep Anda menghadapi mahasiswa. Rasa-rasanya, Anda kurang akomodatif? Masing-masing harus belajar sajalah. Yang nggak mau belajar lebih baik keluar. ITB punya komitmen dalam membangun bangsa. Kalau mereka tak mau belajar, bukan di sini tempatnya. Yang datang ke sini, kan, mau jadi insinyur, ilmuwan, atau seniman. Bagi yang nggak mau, bukan ITB tempatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini