BEKAS Gubernur Sumarno (tahun 1960-1964) rumahnya di Kebon
Sirih Jakarta. Rumah ini, sudah puluhan tahun ditempatinya,
sebelum dan sesudah dia jadi gubernur. Setiap tahunnya, selalu
mendapat jatah banjir. Tentu saja awal tahun ini, rumahnya tidak
luput digenangi air. Bahkan dia mendapat bagian jadi salah satu
tukang timba air banjir. Pernah, nyonya Sumarno pada suatu hari
menelepon yonya Sudiro (waktu itu masih jadi Walikota) dan
berkata: mBakyu, Mas Diro itu kerjanya apa saja sih, kok
rumah saya banjir melulu. Sumarno mendengar keluhan isterinya
kontan dagdigdug. "Kok isteri saya berkata begitu. Kalau saja
jadi Gubernur, belum tentu bisa menyelesaikan soal banjir.
Dan begitulah. Tiga tahun kemudian Sumarno jadi gubernur
menggantikan Sudiro. "Dan saya tidak bisa menyelesaikan banjir",
diakuinya, "untuk mengatasi banjir di Jakarta, harus spesial
didatangkan ahli banjir". Sementara pekarangan rumahnya dibuat
tinggi 'sebagai tanggul, yang toh terus kebobolan"' Sehingga
tidak jarang Sumarno yang berpakaian gubernur harus jalan lewat
loncatan kursi dan batu bata, di pagi hari menuju kantornya.
Kini usianya telah 65 tahun. Ketika jadi gubernur, dia menamakan
dirinya gubernur sampah. "Saya ingin sekali mengatasi soal
sampah", ujarnya lagi, "soal sampah adalah soal manusia". Sering
dia turun tangan sendiri, sebab menurut Sumarno, sampah itu sama
seperti makanan, yang harus diladeni setiap hari. Keaktifannya
sekarang selain buka praktek dokter ("untuk nafkah saya"), jadi
pengurus 3 yayasan: Pemberantasan Penyakit Paru-Paru, Budi
Kemuliaan dan Perguruan Trisakti. Anaknya ada 7 orang dan
telah jadi "orang" semua mulai dari insinyur perkapalan
sampai ada yang jadi pengusaha restoran ayam goreng dengan nama
Mang Pepen. Semua kegiatannya ketika jadi Gubernur
tersusun rapi dalam dokumentasi pribadi. Ada niat menulis
buku, tetapi tetapi tentang dokumentasi dia berkata:
"Bertambah tua dokumentasi ini bertambah penting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini