SEBAGAIMANA diakuinya, dialah satu-satunya pejabat gubernur di
negeri ini yang harus menyerahkan jabatannya pada penjabat
gubernur pula bukan pada gubernur definitif. Itu terjadi pada
Eddy Djadjang Djajaatmadja, 51 tahun, Penjabat Gubernur Sulawesi
Tengah, yang 25 November kemarin memberikan kursinya pada Eddy
Sabara, Inspektur Jenderal Departemen Dalam Negeri.
"Itu kebijaksanaan dari atas," kilah Eddy Djadjang. Apakah
itu karena ia, selama 13 bulan di sana, belum juga berhasil
memproses gubernur definitif? Eddy yang satu ini mengelak. "Soal
proses-memproses 'kan urusan gedung di depan sana. Bukan
tanggungjawab saya," katanya. Yang dimaksud DPRD Sul-Teng yang
gedungnya berseberangan dengan gubernuran.
Ayah 10 orang anak dan kakek 8 orang cucu itu selama bertugas
di Sul-Teng tidak mau tinggal di rumah kediaman resmi gubernur.
"Saya lebih senang tinggal di guest house, karena saya bukan
gubernur definitif," katanya. "Kalau saya tinggal di rumah
gubernur, wah nanti disangka yang tidak-tidak." Karena itu, di
Palu ia tinggal sendirian, tanpa keluarganya.
Namun, ke alamatnya toh melayang juga yang "tidak-tidak" itu.
Misalnya, karena dalam masa jabatannya, AP BD 80-81 membengkak
menjadi Rp 54 milyar lebih. Padahal tahun sebelumnya hanya Rp 25
milyar. Dan bekas Walikota Jakarta Pusat itu disas-suskan pula
mau "memindahkan" Ancol ke Palu. "Kok kayak di wayang golek
saja," komentarnya kalem--mungkin mengingatkan cerita
berpindahnya Taman Sriwedari dari satu kota ke kota lain dalam
wayang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini