SEBELUM kelompok-kelompok anak muda, yang dikenal dengan
sebutan gang, dibubarkan 1975 yang lalu, rasanya jarang
terdengar sekolah terlibat perkelahian yang bersifat keroyokan.
Dulu yang selalu berkelahi gang-gang itulah. Apakah wadah
penyaluran agresivitas para remaja tersebut kini kurang menarik?
Gelanggang-gelanggang remaja di lima wilayah DKl Jakarta,
yang diprakarsai Gubernur- Ali Sadikin di awal tahun 70-an,
sesungguhnya dimaksud guna menampung kegiatan remaja. Ternyata
tak begitu berhasil--dilihat dari sudut tidak begitu banyaknya
anak sekolah yang menggunakan waktu senggang di situ.
Gelanggang Remaja Jakarta Selatan misalnya, terletak di
antara SMAN VI IX dan XI di Bulungan, tak begitu banyak memiliki
anggota yang pelajar. Padahal gelangang ini, yang tentu saja
berguna banyak bagi remaja umumnya, dibanding empat gelanggang
di empat wilayah lain dinilai paling maju.
Sejumlah kegiatan yang diadakan-tari (Jawa, Bali, Sunda),
lukis, kursus bahasa Inggris, tinju dan silat--pesertanya
kebanyakan anak-anak SD dan SLTP. Jumlahnya pun tak banyak.
Latihan senitari tiga jenis itu hanya diikuti, tahun ini,
sekitar 500 anak. Senilukis hanya 50-an. Bahasa Inggris pun
50-an. Tinju plus silat 200-an. Bandingkan dengan jumlah siswa
tiga SMAN Bulungan yang sekitar 6.500-an itu.
Kegiatan sekolah sendiri, misalnya yang diprakarsai OSIS, tak
sepenuhnya diikuti para siswa. Menurut Simanulang, kepala
sekolah SMAN IX, OSIS di situ membuka aktivitas olahraga,
senisuara, beladiri, kelompok pencinta alam. "Tapi hanya 30-40%
siswa yang berpartisipasi," kata pak kepala.
Juga di SMAN IV di Jalan Batu itu. Di sini kegiatan OSIS
lebih bervariasi: kecuali kesenian dan olahraga, ada pula
pengajian dan diskusi agama. Juga kelompok ilmiah dan palang
merah remaja. Toh, hanya sepertiga jumlah siswa yang terjun
dalam kegiatan tersebut. Kecuali mengaji--yang menurut Lukmanul
Hakim, kctua OSlS-nya, diikuti hampir semua siswa yang Islam.
Ada pula kegiatan yang langsung berhubungan dengan pelajaran,
tapi sepenuhnya diselenggarakan para siswa sendiri: kelompok
belajar. Tiap hari Minggu, secara berkelompok mereka belajar
memecahkan soal-soal matematika, fisika dan sebagainya. Yang
memimpin adalah mereka yang jago. Memang ada guru yang datang
menengok, bila pak guru sedang senggang.
Uniknya, yang tidak berhasil memecahkan soal, atau nilai di
bawah 5, didenda Rp 25. Bukan untuk apa-apa uang itu--tapi untuk
biaya fotokopi soal-soal.
Di beberapa SMAN yang lain, juga di STM, kegiatan OSIS memang
hanya diikuti sekitar 30% dari jumlah semua siswa.
Ada satu wadah, yang dulu lebih dikenal sebagai kelompok
tukang berhantam, yang kini kreatif: Ikatan Pemuda-Pemudi
Siliwangi (IPPSI), yang menampung kegiatan anak muda kompleks
militer Jalan Siliwangi.
Isran Risatna Amin, 32 tahun dan telah berkeluarga, sepuluh
tahun lalu dikenal sebagai jagoan kelompok ini. IPPSI waktu itu
memang sudah ada, tapi belum semenonjol sekarang. Ketika
gang-gang dibubarkan, resminya 1975, anak-anak Siliwangi mulai
tergerak menggiatkan IPPSI-nya dengan kreatif. Angkatan Irsan
yang waktu itu sudah tak remaja lagi menjadi tempat bertanya
bagi yang lebih muda.
Dan alhamdulilah berhasil lancar sampai hari ini. IPPSI
pernah menyelenggara- kan Malam Dang-dut, Rock dan Dang-dut,
Malam Nostalgia Rock. Mereka juga punya kesebelasan sepakbola.
"Memang organisasi macam IPPSI ini bisa mencegah bentrokan
yang sering terjadi di antara remaja," kata Irsan. "Tapi
memberhentikan sama sekali bentrokan itu, saya kira tak mungkin.
Namanya juga anak-anak."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini