Sekarang ini, tak banyak orang mengenal Soenarso. Tapi, di era 1960-an ia boleh disebut arsitek politik di belakang layar. Sebagai Wakil Ketua G-5 Koti (1963-1965) ia lempar gagasan UU Anti-Subversi. Lalu, sebagai Ketua Team Pemeriksa Pusat (1965- 1967) ia memeriksa Bung Karno. Dan ketika ia menjabat Ketua Panitia Negara Penyelesaian Masalah Cina (1967) ia rintis hubungan dagang dengan Taiwan dan RRC. Ia sempat juga bertugas sebagai Staf Pribadi Presiden Soeharto untuk bidang Politik (1967-1968) sebelum menjadi duta besar RI di Singapura (1969- 1972). Di rumahnya yang rimbun dan tenang di Cilandak, Mayjen (Purn.) Soenarso, 68 tahun, bertutur pada Ivan Haris Prikurnia dan Liston P. Siregar. SAYA lahir 1 Juni 1925 di Tasikmadu, Solo. Pendidikan militer, saya peroleh di Peta di Bogor. Setelah itu di Seskoad dan Defence Services Staff College di India. Di Peta, Pak Yani dan Pak Harto adalah angkatan pertama, saya angkatan kedua. Karier militer saya dimulai tahun 1945 sebagai perwira intel di Solo, sampai menjabat Direktur Polisi Militer tahun 1966. Dari semua pengalaman saya sebagai militer profesional, peristiwa Gerakan 30 September merupakan peristiwa yang saya anggap paling penting. Biarkanlah saya bercerita tentang peristiwa itu lebih panjang, pada saat seluruh bangsa ini mengenang tragedi itu. Saya selalu berdoa semoga pengalaman bersejarah itu tak terulang. Waktu dimulainya konfrontasi dengan Malaysia tahun 1963, suara PKI sudah besar sekali. Sebenarnya Angkatan Darat tak memahami apa tujuan konfrontasi. Tapi karena namanya loyal pada negara, pada presiden kita, disuruh konfrontasi, ya, konfrontasi. Tapi lihat akibatnya. Waktu PKI meletus, di Pulau Jawa hanya ada 15 batalion, bahkan mungkin kurang dari itu. Kami khawatir karena Jawa adalah pusat. Kalau terjadi apa-apa, 15 batalion itu mana bisa menguasai. Semua batalion dikerahkan untuk konfrontasi. Di Pulau Batam saja ada beberapa batalion, belum lagi di Kalimantan dan di Sumatera. Kami sarankan kepada Pak Yani (Jenderal Anumerta Ahmad Yani), ''Hati-hati kalau diperintahkan mengirim pasukan lagi. Pulau Jawa adalah basis, jadi harus tetap aman.'' Dari dulu kita sudah curiga terhadap PKI. Kita lihat gerakan PKI itu macam- macam, terus Bung Karno (BK) sakit dan mereka bilang, ''Keadaan sudah hamil tua, anak mau lahir.'' Keadaan seperti itu mereka anggap sudah matang untuk bergerak. Sebelumnya, sudah ada hal yang menarik. Waktu Aidit di Peking, dia pidato dalam dinner dengan Mao Zedong. Saya dapat laporan, Aidit menjelaskan dia ikut menganut Pancasila, tapi hanya sebagai stepping stone (batu loncatan) sebelum akhirnya Indonesia akan jadi komunis. Saya buat laporan yang diserahkan Pak Tjipto (Mayjen Purn. Soetjipto, Ketua G-5 Koti sebelum saya) pada BK. Kebetulan pagi itu Aidit datang juga. Pak Tjipto melapor duluan. Belakangan BK malah menunjukkan laporan saya pada Aidit. Nama saya tertulis dalam laporan itu. Aidit membantah. Di luar, saya dan Pak Tjipto bertemu Aidit. ''Dalam hati saya, saya tidak akan berbuat demikian,'' kata Aidit. Pak Tjipto membalas, ''Lo, Bung, siapa yang tahu hatinya orang.'' Aidit diam saja. Dia mau nginjak saya tapi tidak bisa. Lantas Aidit kirim surat pada BK, dan saya dapat tindasannya. Saya dicap Aidit sebagai perwira yang antirevolusioner, demikian pula Mayor W.D. Soekisman, seorang staf saya. Waktu itu, dicap seperti itu sangat berat. Lalu Aidit dan Soebandrio berusaha mengeluarkan saya dari Indonesia. Sekitar Juni 1965 saya menyusul BK ke Jepang karena ada berkas- berkas yang mesti ditandatangani BK. Sebelum saya ke kamar BK, di luar saya bertemu Soebandrio yang mau menghadap juga. Dia bilang, ''Kowe bakal jadi duta besar di Australia.'' Saya tidak percaya. ''Beres nanti saya lapor sama BK dan Pak Yani,'' kata Soebandrio. Saya langsung belok ke kamar Pak Yani dan melapor, ''Pak Ban mengusulkan saya jadi duta besar di Australia.'' Pak Yani bilang, ''Ya, sudah nanti saya ngomong sama BK, kamu diam saja.'' Pak Yani memang ngomong ke BK dan saya akhirnya tak benar menjadi duta besar. Dalam rapat-rapat Koti, waktu itu saya Ketua G-5 Bidang Politik dan Keamanan, kami yakin PKI akan memberontak lagi. Perwakilan di luar negeri harus diberi tahu. Saya ditugasi Pak Yani ke Eropa untuk membrifing atase-atase militer tentang keadaan di dalam negeri dan kemungkinan pemberontakan PKI lagi. Dari Eropa saya mampir di Jepang dan Bangkok. Saya pulang dari Bangkok persis tanggal 30 September 1965 sore. Biasanya saya membawa pesanan orang. Waktu itu Letjen Anumerta Soeprapto sakit dan ia pesan obat dari Tokyo. Mas Parman (Letjen Anumerta S. Parman) minta dibelikan bahan es krim, dan Pak Yani juga pesan obat. Tiba di Jakarta, saya menyuruh ajudan menelepon ke rumah Pak Yani karena saya mau mampir. Ternyata, Pak Yani minta saya datang besoknya. Begitu juga dengan Pak Prapto dan Mas Parman, minta saya datang esoknya saja. Barangkali karena hari sudah hampir malam dan mereka tahu saya capek. Mas Parman malah bilang, ''Besok kan bisa ketemu. Saya malah mau dengar laporan dari luar negeri.'' Jadi, saya langsung pulang ke rumah. Mertua ada di rumah dan kami ngobrol-ngobrol. Sempat melihat BK di TV di acara Mubestek. Dia mau bikin nuklir dan segala macam. Saya sangat capai sampai tertidur di depan TV. Pagi-pagi dibangunkan mertua, ''Itu ada gerakan, katanya Pak Yani ditangkap.'' Terpekik saya. Mertua saya bilang katanya mereka menyalahkan adanya Dewan Jenderal. Siapa saja? ''Pak Nas (Jenderal Purnawirawan A.H. Nasution),'' kata mertua saya. Siapa lagi? Mertua saya kurang tahu. ''Pengumuman juga bilang bahwa semua perwira harus turun pangkat satu tingkat.'' Yang mengumumkan Dewan Revolusi. Wah, saya pikir ini pasti ulah PKI. Saya langsung ke kantor. Waktu itu masih kolonel dan mertua saya mengingatkan, ''La, itu pangkat kolonel, kenapa masih dipakai?'' Memang pangkat saya kolonel, saya tak mau turun pangkat kalau tak dengar perintah dari Presiden langsung. Saya ke kantor CPM di Jalan Medan Merdeka. Saat itu saya wakil direktur. Tapi Direktur CPM, Brigjen Soedirgo, tak ada. Jadi, praktis saya yang berfungsi sebagai direktur. Saya cari ada apa di belakang semua ini. Presiden tak ada, menteri-menteri dan tokoh-tokoh politik juga tidak ada. Saking kesalnya saya sedih. Apa ini, negara tak punya pimpinan, tak punya apa-apa. Hanya Angkatan Darat saja yang ada. Dari Angkatan Laut untung ada Pak Mulyadi. Sedang polisi, Pak Tjipto, yang jadi kepalanya, malah bingung. Dia nangis di Istana. Ternyata, malam itu BK sudah ke Halim. Dari Halim tak tahu ke mana. Kami tahu Aidit bersama dengan pemberontak. Saya mau masuk ke Halim tidak bisa karena dijaga ketat. Masih ada lagi instruksi dari Omar Dhani, Kepala Staf AU waktu itu, yang kesimpulannya mereka siap konfrontasi terbuka dengan siapa saja. Saya punya teman baik di AU: Handoko, Kepala Staf Operasi. Saya telepon dia, ''Saya mau ketemu, boleh tidak masuk ke AU?'' Waktu itu mereka punya markas di Tanah Abang. Dia tanya, ''Mau apa?'' Maksud saya mau bicara, daripada salah mengerti dan bedil- bedilan. Saya boleh masuk dan sebelumnya pesan sama ajudan kalau satu jam saya tidak keluar, serbu saja. Waktu itu saya tak bilang siapa-siapa, Pak Harto juga tak tahu. Hanya ajudan dan seorang staf di CPM saja yang tahu saya ke AU. Terus saya tanya ada apa sebenarnya. Kalau radiogram instruksi dari Omar Dhani dibaca, artinya bila perlu perang melawan semua yang menentang AU. Bagaimana kalau komandan-komandan di daerah membaca radiogram Omar Dhani dan merasa terancam lalu menyerang, kan jadi perang. Teman saya, Handoko, bilang, ''Oke, harus ngomong apa saya?'' Saya minta radiogram itu diubah. Dia bilang yang berhak mengubah Omar Dhani, tapi tak ada yang tahu ke mana Omar. Saya tanya lagi, ''Selain dia, siapa yang berhak?'' Sebagai Kepala Staf Operasi, dia menjawab, ''Ya, saya.'' Ya, sudah. Kirim telegram untuk mengubah instruksi. Radiogram diubah dari mengarah pada konfrontasi jadi siap siaga menghadapi berbagai macam kemungkinan, dan itu perintah harian biasa bagi militer. Lalu saya lapor ke Pak Harto, ''Radiogram sudah diubah.'' Rupanya, Pak Harto sudah kirim pasukan ke Halim. Sarwo Edhie mau masuk. Tank-tank sudah siap. Untung, masih bisa terjadi dialog hingga tak jadi tembak-menembak. Kalau tidak, Halim hancur. CAP PKI. Setelah yakin semuanya ini ulah PKI, kami bergerak. Sementara itu, rakyat juga bergerak menangkapi dan membunuh siapa saja yang dikira PKI. Waktu itu ngeri sekali. Orang dikejar ramai- ramai kayak ayam. Akibatnya, BK memerintahkan mengetahui situasi yang terjadi. Dibentuklah komisi fact finding pada akhir tahun 1965. Saya menjadi salah seorang anggotanya. Kami berkeliling Jawa mengumpulkan fakta-fakta. Selesai berkeliling, kami melapor dan menanyakan tindakan selanjutnya. BK tak memberi jawaban. Terus saya pulang, dan saya pikir kalau orang-orang yang dituduh PKI itu diserahkan pada kami, masih mending. Kalau tidak, mereka pasti mati dibunuh rakyat. Timbul pemikiran membentuk Team Pemeriksaan Pusat (belakangan terkenal dengan akronim Teperpu). Lantas siapa yang menjalankan? Orang-orang bilang CPM saja. Artinya, saya lagi. Padahal, waktu itu pekerjaan saya banyak sekali. Waktu itu saya telah menjabat Ketua G-5 Koti, saya juga Direktur Pom, maka secara ex-officio saya juga harus jadi Ketua Teperpu. Jadi, saya tunjuk Thahir sebagai pelaksana sehari-hari. Di sana ada juga Ismail Saleh dan Ali Said. Selain itu kami juga minta bantuan para psikolog, dari AD maupun dari UI, antara lain Fuad Hassan. Saya mulai dengan mengarahkan pemeriksaan atas sekian ribu tahanan. Mereka yang dianggap terlibat dikelompokkan jadi tiga, yaitu Kelompok A yang merupakan tokoh-tokoh, B sebagai kelompok kader-kader, dan C yang ikut-ikutan. Tujuan saya agar semua yang terlibat itu bisa dituntut. Kenapa dituntut? Maksudnya supaya tak terjadi seperti waktu peristiwa Madiun 1948: orang PKI Muso ditahan, tapi tiba-tiba Belanda datang dan mereka bebas keluar. Tak ada yang dipenjarakan. Sekali ini saya mau membuktikan mereka bisa diperkarakan. Apa yang mereka lakukan itu salah, melanggar hukum. Banyak orang yang bisa dituntut dan semuanya putusan hukuman on the record. Kita buktikan pada dunia, PKI memang memberontak. Kalau tak tercatat, mereka akan bisa kembali lagi berkuasa. Begitulah pemikiran saya. Sekarang file-file itu disimpan sebagai dokumen resmi negara yang bersifat rahasia. Dirahasiakan supaya keturunan mereka tak ikut jadi korban. Itu sudah kami pikirkan dari dulu. Kalau satu orang terlibat, jangan semua anggota keluarga dicap terlibat PKI. Dari dulu saya tak menghendaki cap-cap seperti itu. Ini adalah Indonesia kita, mereka berhak hidup terus, mereka juga berhak mempunyai sesuatu. Saya menyesalkan ''pengecapan'' seperti itu. MEMERIKSA BK. Saya tak pernah berpikir bahwa saya akan memeriksa BK, presiden saya. Sedih dan susahnya bukan main. Kan tak mudah memeriksanya. Saya harus membuat pertanyaan yang begitu rupa, yang menurut saya mau tak mau akan membuat presiden berterus terang. Tapi kita tahu bagaimanapun BK itu politisi ulung. Jadi, memang kita sudah tahu tak banyak yang bisa diharapkan. Awalnya begini: setelah situasi terkendali, kami jemput Presiden Soekarno dari Bogor kembali ke Istana Merdeka. Saya pun setiap hari ke Istana untuk ngobrol dengan BK. Tanya kesehatan, atau ngobrol apa saja. Biar terus memperoleh informasi mengenai perkembangan keadaan. Sebenarnya, kita semua, termasuk Pak Harto, berharap bisa mempertahankan BK dengan memisahkan beliau dari Aidit. Jadi, bagaimana caranya agar BK bersikap seperti saat menghadapi PKI Muso dulu. Waktu itu BK bilang, ''Pilih saya atau Muso''. Maunya kita, BK bersikap begitu juga, ''Pilih saya atau Aidit.'' Sampai saya terus terang minta supaya BK mengambil sikap. ''Wah, tidak bisa, zaman sekarang itu tidak bisa lagi,'' kata BK. Tidak ada keputusan. Kami ngobrol macam-macam. Entah itu tentang cewek-cewek atau pengalaman di Tokyo, di Jerman, macam- macamlah. Walau kondisinya sehat, BK sering bicara nggrambyang (melantur). Misalnya, di tengah pembicaraan tiba-tiba dia bilang, ''Ada utusan dari Ambon datang, Ambon masih mendukung saya.'' Padahal, kenyataannya tak ada utusan itu. Kalau obrolan sudah begitu, saya meladeni sebentar, terus pulang. Besok paginya saya datang lagi ke Istana untuk minum kopi bersama. Terus besoknya saya masih juga datang. Kalau belum sarapan, saya diajak BK sarapan bersama, kadang roti, nasi goreng, atau masakan Jepang. Beliau paling suka makanan Jepang. Sambil sarapan, kami ngobrol. Tapi masih bicara tentang macam- macam. Pertemuan tiap pagi itu bisa sampai satu jam. Pernah ada pesanan mangga dari Jawa Timur untuk BK yangdikirim lewat kantor G-5 Koti. Waktu itu kami semua tidur di kantor. Malam-malam, kami makan mangga itu. Waktu mau ngupas, Thahir nyeletuk, ''Hati-hati, siapa tahu mangganya diracun.'' Besoknya, saya serahkan satu peti mangga pada BK karena lainnya sudah dimakan bersama. Beliau tanya, ''Kok hanya ini.'' Saya jawab, ''Maaf, sudah dimakan anak buah.'' BK minta supaya diganti durian. Mati aku. Waktu itu tidak musim durian, dan BK minta durian IM -- itu durian Banten yang tebal. Terpaksa saya instruksikan bupati-bupati di Jawa Barat mencari durian. Ya, begitulah. Tiap pagi saya datang ke Istana. Saya lupa persisnya kapan, tapi waktu itu BK baru pulang dari Bogor. Saya juga sudah jadi brigadir jenderal (saya naik pangkat Desember 1965). Jadi, peristiwa itu kira-kira pada tahun 1966 karena saya buat laporan resmi pada bulan Januari 1967. Selama tahun 1966 itu saya bolak-balik ke Istana, sampai berbulan-bulan. Akhirnya saya lapor Pak Harto. Kami sudah yakin bahwa BK tak bisa dibawa lagi. Saya sudah minta keputusan tegas, tapi BK sama sekali tak memberikan. Lantas Pak Harto bilang, ''Diperiksa saja.'' Saya pusing. Saya coba-coba susun daftar pertanyaan untuk BK. Itu pekerjaan berat sekali. Setelah daftar pertanyaan selesai -- ada sepuluh -- saya sampaikan pada Pak Harto. Beliau setuju. Saya lupa persisnya pertanyaan itu, tapi arahnya adalah seberapa jauh keterlibatan BK. Kalau memang tak terlibat, kenapa BK diam saja. Kan beliau sendiri yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi di negara ini. Lantas kenapa Omar Dhani mengerahkan pasukan untuk membantu Aidit. Omar juga memberikan pangkalan Halim dijadikan markas pasukan Pemuda Rakyat. Konklusinya mesti ada perintah dari atasan. Tentara itu tidak bisa bertindak seenaknya karena ada panglima besar. Panglima besar hanya satu. Itu saya tanyakan juga. Lantas hari-hari terahir menjelang peristiwa itu bagaimana. Saya pergi ke Istana membawa pertanyaan itu. Saya bilang, ''Pak, saya mohon maaf karena ini tugas dan saya tak bisa meninggalkan tugas. Saya harus memeriksa Bapak.'' Kata BK, ''Lo, memeriksa apa?'' Saya mulai bertanya, ''Kenapa kok Bapak ke Halim, terus bersembunyi di Bogor. Mosok negara tidak punya pemimpin.'' BK bilang, ''Apa sih yang mau diperiksa? Jadi, bagaimana, mau dijawab sekarang?'' tanya BK. Saya bilang lusa saja, dijawab secara tertulis. Reaksi BK waktu membaca pertanyaan itu agak marah juga, tapi sudah saya sampaikan bahwa berat untuk memeriksa seorang presiden. Apalagi presiden itu orang yang saya hormati, guru saya, dan bapak saya juga. Lusanya saya datang untuk mengambil jawaban BK, yang isinya tidak bisa saya kemukakan. Lantas saya serahkan pada Pak Harto. ''Wah, ini tidak jelas betul,'' kata Pak Harto. Kalau mau tahu jawaban BK, silakan tanya Pak Harto, saya hanya staf Pak Harto. Yang membaca jawaban itu: saya, Pak Harto, dan anggota Dewan Kehormatan. Jawaban itu panjangnya sekitar tiga halaman. Jawaban untuk tiap pertanyaan tak panjang-panjang. Umumnya jawaban tak jelas, bahkan tak langsung menjawab pertanyaan. Kita sudah sadar karena BK itu politikus. MENYUSUN UU ANTI SUBVERSI. Jauh sebelum G 30 S/PKI, saya bertugas di Peperti (Penguasa Perang Tertinggi) dan Koti (Komando Operasi Tertinggi) yang langsung dipimpin Presiden. Kedudukan saya adalah staf BK. Seperti diketahui, BK diangkat dengan berbagai jabatan, termasuk panglima besar dan pemimpin besar revolusi. Waktu itu DPR ada, tapi praktis tak pernah berfungsi. Semua undang-undang dikeluarkan Peperti dalam bentuk penetapan presiden. Ketika di Peperti, yang saya cetuskan adalah UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Niat sebetulnya adalah untuk memerangi komunis. Gerakan komunis selalu di bawah permukaan, jadi merupakan kegiatan subversi. Saya memikirkan bagaimana bisa mengungkap gerakan mereka melalui cara-cara hukum yang benar. Kalau nanti akhirnya ketahuan, orang itu bisa dituntut menurut hukum yang berlaku. Jadi, saya susun konsepnya, sekitar tahun 1962. Akhirnya naskahnya sendiri dikerjakan ramai-ramai bersama-sama dengan ahli lain, kira-kira setahun. Sebetulnya kita tetap memeriksa seseorang berdasarkan hukum acara, tapi yang lebih sederhana. Prosedur yang macam-macam di- by-pass menjadi hukum sederhana yang memungkinkan kita menyusup dalam gerakan komunis. Kalau dengan undang-undang darurat, dengan SOB, kita memang bisa ambil tindakan, tapi tak bisa masuk sampai ke dasar-dasarnya. Kalau hukum acara yang biasa, tak mungkin digunakan. Itu sebabnya dibuat hukum acara yang memungkinkan kita betul-betul bisa ngorek. Gagasan itulah yang terpikirkan ketika saya bertugas di Peperti. Tugas di Peperti berat karena waktu itu sudah mulai pergolakan dan gagasan baru yang macam-macam. Dan setiap gerakan biasanya berasal dari PKI. Mulai dari tujuh setan desa sampai kejadian di Bandarbetsi, Medan. Komunis memang mau bergerak. Kalau tak punya undang-undang yang bisa menekan mereka, untuk membuktikan bahwa mereka itu bersalah, repot jadinya. Sebab selalu terbentur pada politik. Politik itu bisa bikin hijau jadi kuning, merah bisa jadi apa saja. Waktu diajukan ke BK, saya tak bilang bahwa undang-undang subversi itu untuk mencegah gerakan komunis. BK membaca. Saya jelaskan latar belakangnya. ''Oh, ya, ini memang perlu,'' kata BK dan diteken. Istilahnya dia percaya saja sama saya. Mungkin UU itu dianggap akan menguntungkan beliau sendiri. Saya tak tahu. Tapi nyatanya saya ajukan dan langsung diteken. Waktu itu saya tak merencanakan agar UU berlaku terbatas, tapi berlaku terus. Dan kalau dibilang tak relevan lagi dengan keadaan sekarang, terserah. Menurut saya, UU semacam itu masih diperlukan sampai kapan pun. Sebab subversi seperti awan. Awan itu ada, tapi tak bisa dipegang. Bahwa UU itu dipakai atau tidak dipakai, itu soal lain. Kalau kita punya senjata nuklir, kan tak usah harus dipakai setiap hari. Saya sendiri tak mau memberi komentar kalau sekarang UU itu katanya sering ditafsirkan untuk menahan banyak orang. Saya hanya membaca komentar itu di koran saja. DEKAT DENGAN BK. Sekarang cerita lain, soal BK dan Dewi. Waktu itu di Front Nasional orang meributkan BK yang mau kawin dengan Dewi. Pak Yani ingin mengamankan BK, lalu memerintahkan saya menghadap BK. Saya bilang, ''Lo, kok saya, Pak Yani itu kan dekat sama BK.'' Pak Yani bilang lagi, ''Saya ini kan jenderal, kalau dipecat saya mau ke mana. Kamu itu kolonel, paling dimarahi.'' Protes sebenarnya sudah banyak sekali. Terutama organisasi wanita yang menuntut agar rencana perkawinan dibatalkan. Saya datang ke Tokyo dan saya ingin memperoleh waktu bicara empat mata dengan BK. Padahal saya bukan rombongan resmi kunjungan kenegaraan itu. Paginya, saya datang ke Hotel Imperial untuk sarapan di meja besar karena biasanya sarapan ramai-ramai. Saya tunggu di meja dan BK keluar dari kamar. ''Morning,'' kata BK. Saya jawab, ''Morning, Sir.'' BK tanya, ''Kapan datang?'' Lantas saya jawab, ''Tadi malam.'' BK tanya, ke mana menteri-menteri dan yang lainnya. ''Tidak tahu, Pak, mungkin punya acara sendiri- sendiri,'' jawab saya. Jadi, kami makan berdua. Selesai makan, BK bilang, ''Yang lainnya kok tak datang. Ya, sudah kamu temani saya dulu.'' Baru saya ngomong. Pertama-tama BK marah, ''Bocah cilik melu-melu, kowe iku sapa... kowe iku bayi (anak kecil ikut campur, kau itu siapa ... kau itu bayi).'' Saya diam saja. Saya kemudian cerita bahwa banyak yang protes. Reaksi BK, ''Coba, saya ini bisa apa. Mau belanja ke toko, seabrek-abrek yang ngantar. Dan saya dulu di penjara berapa tahun. I want to live my own life.'' Saya jawab, ''Can not, Sir. Bapak itu presiden, bukan hanya punya pribadi atau punya anak-anak. Tapi punya kita semua dan kita semua menempatkan Bapak di atas. Kami tak ingin Bapak jatuh. Dan dengan itu Bapak bisa jatuh.'' ''Itu urusan saya,'' kata BK. ''Saya pikir ini urusan bangsa juga. Lain-lainnya masih bisa dimaafkan, tapi yang ini tak bisa,'' jawab saya. Akhirnya BK mau mengurungkan niatnya mengawini Dewi, tapi minta supaya diatur. Saya usul, ''Bapak langsung pulang saja setelah acara-acara selesai,'' Lantas saya bilang, kalau Dewi mau masuk supaya bilang BK ada acara. Dan memang dalam kunjungan itu acara disusun supaya penuh terus. Begitu acara selesai, langsung pulang ke Indonesia. Tadinya, BK telah mengurungkan rencana perkawinannya. Namun, kemudian toh kawin juga. Ternyata saya gagal. Saya memang dekat dengan BK. Pertama kali saya melihat BK di Solo, waktu zaman revolusi. Beliau tinggal di Yogya, tapi suka keliling ke mana-mana. Dan saya juga tugas ke mana-mana. Setelah proklamasi, banyak diadakan rapat umum untuk menggerakkan manusia Indonesia. Di rapat umum itu, BK mengajak semua orang di lapangan untuk berteriak merdeka sekeras- kerasnya, katanya biar didengar oleh seluruh dunia. Saya ikut mengamankan, jadi tahu suasananya. Rakyat dari Yogya, Solo, dari mana-mana, berlomba berteriak merdeka puluhan kali. Saya ikut juga teriak: merdeka. Tapi waktu ikut teriak saya sempat juga berpikir, ''setelah merdeka lalu mau apa?'' Pertemuan pertama yang lebih dekat terjadi usai pengakuan kedaulatan, saat mengambil oper Istana Merdeka dari tentara pengawal istana Belanda. Sebagai wakil komandan batalion Jakarta (CPM), saya ditugasi mengambil oper dari Belanda. Untuk apel ganti penjaga pertama kali, saya perintahkan peleton Norman Sasono (mantan Pangdam Jaya ini, waktu itu masih letnan). Pergantian pasukan jaga istana ini simbol bahwa Istana Merdeka sudah di tangan kita. Lalu saya masuk. Istana praktis sudah kosong. Yang tinggal cuma lukisan mantan-mantan gubernur jenderal, beberapa lukisan biasa, zitje dan peralatan dapur. Semua didaftar dan diserahkan pada pengurus Istana selanjutnya. Keadaan Istana sudah cukup siap untuk ditinggali oleh Presiden. Kecuali Pak Nas yang datang menengok, tak ada yang boleh masuk selain kami, yang mengambil oper urusan Istana itu. Setelah yakin Istana dikuasai, beberapa hari kemudian BK datang. BK hanya menyapa saya. Tak ada omongan penting BK yang bisa saya ingat. Saya pulang dan BK untuk seterusnya tinggal di Istana Merdeka. Selanjutnya, walau sering bertemu -- apalagi semasa saya bertugas di Peperti -- hanya sekali-sekali BK bicara soal di luar tugas dengan saya. Begitu pun, biasanya saya tak banyak omong. Sewaktu menjaga Istana, saya ditawari BK jas putihnya yang dulu sering dipakai di Yogya. Beliau bilang, jas putihnya itu sudah kekecilan. Saya mau saja. Soal pakaian, saya punya pengalaman lain dengan BK. Begini. Sekitar awal Juni 1963, tiba-tiba saya harus ikut beliau keliling dunia. Rencananya, sesuai dengan tugas yang diberikan PM Juanda, selesai menyerahkan dokumen yang harus diteken Presiden di Jepang, saya harus pulang. Tapi selesai meneken, BK tanya, ''Melu ora? (ikut tidak?)'' Saya tak tahu harus menjawab apa. Saya tanya balik, ''Ke mana, Pak?'' BK bilang, ''Ke Wina.'' Saya belum pernah melihat Wina. Jadi, saya mau saja. Akhirnya saya ikut terus ke Wina, Roma, Paris, Yugoslavia, Pakistan, dan pulangnya mampir ke Bangkok. Di Roma yang paling lama: dua minggu. Saya kehabisan pakaian karena memang tak siap. Lalu saya diajak oleh orang sana ke sebuah penjahit terkenal. Saya lupa nama tokonya, yang pasti nama jalannya Via Barberini. Saya dibuatkan jas. Malamnya, jas itu saya pakai. Mulanya, saya tak sadar diperhatikan BK. Tapi, di tengah-tengah acara, BK mendekati saya, ''Jasmu kok bagus, beli di mana?'' Saya bilang lupa nama tokonya, tapi ingat di mana jalannya. BK minta saya mengantarnya ke sana. Bukan hanya keesokan hari, tapi juga tatkala BK harus ngepas pakaian. KONFRONTASI DENGAN MALAYSIA. Persiapan penyelesaian konfrontasi dengan Malaysia sebenarnya sudah dimulai Pak Harto secara diam-diam dengan memakai Opsus, staf intelijen di Kostrad dulu. Sedang kewajiban saya sebagai Ketua G-5 Koti adalah memberikan saran pada Pak Harto. Saya menyusun satu paper bersama dengan staf Koti, termasuk Sudharmono (saat itu menjabat sekretaris), Moerdiono, dan Kisman. Paper itu berisi konsep penyelesaian konfrontasi dengan Malaysia. Begitu Pak Harto ditunjuk jadi Kepala Staf Koti, saya ajukan paper itu. Atas dasar itu Pak Harto mulai bekerja. Kabinet menerima strategi ini, tapi Soebandrio ingin membuat penjelasannya, yang menurut saya banyak yang menyimpang dari paper asli saya. Saya lupa apa saja yang menyimpang itu. Namun, saya oke saja dengan syarat tiap kata dalam dokumen tak ada yang diubah, hanya penjelasannya yang diubah. Dokumen itu jadi dokumen resmi pemerintah sebagai strategi penyelesaian masalah krisis. Kalau dokumen itu dipelajari betul, konsekuensinya konfrontasi harus diselesaikan. BK meneken dokumen itu, tapi kalau dia tahu pasti tak disetujui. Saya tak tahu dia sadar atau tidak, pokoknya BK tak berkomentar apa-apa. Pak Harto juga diam saja. Sampai akhirnya saya dipanggil Pak Harto. ''Konfrontasi harus diselesaikan,'' kata Pak Harto. Saya bilang memang itu konsekuensinya. ''Kau adalah wakil Koti yang bisa saya pertanggung jawabkan, jadi kau nanti yang akan berunding. Sukses atau gagal, kau yang tanggung,'' kata Pak Harto. Ali Murtopo diperintahkan memberikan brifing pada Koti mengenai prinsip-prinsip yang telah tercapai dalam penyelesaian konfrontasi. Sedang Benny Moerdani dan A.R. Ramly ditugasi mempersiapkan pertemuan kedua delegasi yang berlangsung di Bangkok. Dalam pertemuan hari pertama dengan delegasi Malaysia di Bangkok itu, perundingan berjalan alot karena memang saya buat alot. Saya harus meyakinkan diri saya sendiri sebagai orang yang diberi tanggung jawab bahwa, setelah perundingan, persetujuan bisa dilaksanakan dengan baik. Perundingan alot antara lain karena kita menuntut di Sarawak dan Sabah diadakan pemilihan umum. Kalau bisa, malah referendum untuk menanyakan kemauan rakyat di sana apakah mereka mau bergabung dengan Malaysia atau tidak. Referendum tidak bisa diterima. Itu bisa dimengerti, tapi dalam pemilihan umum referedum dijadikan platform. Kalau disetujui, dari Indonesia akan dikirim wakil-wakil untuk ikut meneliti apakah pemilihan umum didasarkan pada keputusan bersama itu. Kalau tidak sesuai, hubungan diplomatik tidak akan ada. Delegasi Malaysia dipimpin oleh Ghazali, julukannya King Gaz karena di Deplunya dia itu seperti raja yang ditakuti. Malam itu saya laporkan semuanya pada Menlu. Dari pihak Malaysia, ada usulan yang, kalau disimpulkan, terlihat ada keinginan pihak Malaysia untuk memungkinkan mereka jalan searah dengan Indonesia. Hari berikutnya delegasi dipimpin oleh duta besar kita di Thailand, B.M. Diah. Dia kan seorang diplomat, jadi bisa ngomong lebih halus, tapi arahnya sama saja. Akhirnya dapat seperti yang dikehendaki. Kita harus juga menyelamatkan muka Indonesia, dan ini tidak gampang. Kita tidak mau mengakui bahwa kita kalah dalam konfrontasi karena kalah menang ditentukan oleh tercapai atau tidaknya tujuan konfrontasi itu. Meskipun dalam hati kita dulu berpikir juga, konfrontasi ini maunya apa sih? Begitu perundingan selesai, ada acara resepsi. Saya duduk di hadapan Ghazali. Dia berbisik, ''Jenderal, saya mohon jangan usik monarki kami.'' Saya balikkan pertanyaannya, ''Lo, apa situ pernah berpikir saya akan mengusik kalian?'' Dia khawatir karena tahu Indonesia tidak punya raja-raja lagi. Padahal Malaysia masih ada raja karena dalam garis pemikiran Malaysia orang Melayu harus dipertahankan kekuasaan politiknya. Malaysia itu negara Melayu, maka harus dipertahankan pula institusi Sultan dan Raja. KE TAIWAN DAN CINA. Terhadap dua Cina, kita berpendapat yang diakui adalah yang berkuasa di mainland. Taiwan hanya satu provinsi walau Taiwan justru menganggap mainland sebagai wilayahnya. Masing-masing mengklaim wilayah yang sama dan rakyat yang sama. Yang kita akui adalah yang benar-benar menguasai sebagian besar wilayah dan penduduknya. Tapi kita juga ingin menjalin hubungan dengan Taiwan. Tahun 1967 saya dikirim ke Taiwan untuk membuka hubungan dagang dalam kedudukan saya sebagai Ketua Panitia Negara Penyelesaian Masalah Cina. Saya ketemu sama Chiang Kai Sek. The one and only jenderal Indonesia yang bertemu dia. Taiwan berharap besar agar Indonesia mau mengakui Taiwan. Tapi dari semula saya sudah bilang tidak mungkin Indonesia bisa mengakui Taiwan karena Indonesia mengakui satu Cina saja. Kecuali kalau kembali ke Beijing. Jadi, Indonesia tidak menempatkan diplomatic mission di Taiwan. Mereka malah minta saya supaya jadi duta besar pertama di sana. Saya bilang, ''Maaf, tidak mungkin.'' Mereka mengharapkan ada hubungan diplomatik dengan Indonesia. Jadi, waktu saya ke sana sambutannya baik sekali. Begitu saya datang, langsung dijemput dari kapal terbang oleh semua kepala staf angkatan, kepala intelijen, dan menteri luar negeri. Dari situ saya melihat, wah, kita betul-betul diharapkan. Saya bertemu semua kepala staf angkatan, menteri dalam negeri, menteri luar negeri, dan sebuah biro dalam Partai Kuomintang yang mengurus Overseas Chinese yang tingkatnya sama dengan menteri. Mereka harus memisahkan Overseas Chinese dengan warga negara Indonesia. Tadinya Taiwan malah menempatkan warga negara Indonesia dalam parlemen mereka. Saya bilang praktek itu salah dan kalau tidak dihentikan saya akan cabut kewarganegaraan mereka. Warga negara Indonesia yang duduk di parlemen Taiwan biasanya dua orang. Tapi prinsipnya, mengapa warga negara Indonesia duduk di parlemen asing? Saya bilang, ''Saya juga tidak akan mendudukkan warga negaramu di parlemen Indonesia.'' Mereka setuju. Yang dua orang itu kita putuskan kewarganegaraannya. Bagaimana kita bisa percaya pada orang yang diam-diam menempatkan diri sebagai anggota parlemen negara asing. Mereka itu pengusaha dan kedudukannya cukup berarti di kalangan masyarakat Cina. Taiwan pasti tidak memilih orang yang tidak berpengaruh. Saya sudah lupa nama-nama mereka. Selesai pembicaraan resmi, saya bilang ingin ketemu Presiden Chiang Kai Sek. Saya diberi tahu bisa diterima selama 10 menit. Ternyata lebih dari 10 menit. Orang yang tadinya tegap sudah jadi bongkok, rambutnya tinggal sedikit dan pendek-pendek, sudah banyak botaknya. Terus saya membicarakan hal-hal yang biasa, senang melihat Presiden masih sehat, kagum melihat Taiwan yang di bawah pimpinannya jadi satu kekuatan ekonomi yang boleh diandalkan. Beliau juga ingin tahu banyak mengenai kita. Saya ceritakan sedikit tentang G 30 S/PKI. Jadinya pembicaraan hampir satu jam. Akhirnya dia minta dicoba hubungan perdagangan yang dimulai hari itu bisa dipertimbangkan dan dikembangkan jadi hubungan diplomatik. Saya bilang, ''Maaf seribu maaf, itu tidak mungkin.'' Akhirnya, belakangan memang yang terjadi hanya hubungan dagang dengan dibukanya perwakilan dagang di kedua negara. Kadin, misalnya, membuka perwakilannya di Taiwan tahun 1971. Kalau dengan Cina mainland kita punya pengalaman sejarah yang cukup lama. Dari semua unsur asing yang pernah ke Indonesia dan akhirnya jadi warga negara, yang paling banyak sebetulnya Cina. Kita melihat mereka sebagai warga negara yang baik untuk cari duit. Banyak WNI keturunan Cina yang berjasa, ikut perang kemerdekaan dan sebagainya. Jadi, tidak seperti anggapan banyak orang: orang Cina itu bisanya menyogok, menyelundup, melarikan uang bank, dan sebagainya. Hubungan dengan RRC kita mulai dengan perdagangan karena memang perlu berdagang. Lebih dulu saya mengadakan rapat koordinasi, dan akhirnya disetujui prinsip-prinsipnya dan cara pelaksanaannya. Kami putuskan agar Kadin yang pergi supaya terkesan inisiatif swasta dan pemerintah tidak ikut campur. Hasilnya sebenarnya baik, tapi ada yang tidak bisa dimaafkan. Waktu itu, delegasi Kadin hanya ditugaskan berkunjung ke Kanton saja, tidak usah pergi ke mana-mana. Jadi, kesannya memang betul-betul urusan dagang. Kalau memang ada yang harus ke Beijing, cukup dalam kelompok kecil. Mereka keblusuk. Mereka diundang ke Beijing dan semua delegasi pergi ke sana. Bertemu lagi dengan Deng Xiaoping. La, kok keblusuk sama taktik RRC. Ini kan jadi berkesan politik. Kejadian itu, saya lupa kapan persisnya. Tapi sekitar awal tahun 1980-an. Ketua Kadin masih dijabat Pak Suwoto Sukendar. Harapan saya dia itu bisa memahami, dan ternyata paham. Tapi anggota delegasi sukar dikendalikan. Ya, sudah, bertahun-tahun hubungan dengan Cina lantas tidak diapa-apakan. Belakangan Deplu yang pegang meskipun saya masih memberikan saran dari belakang. Prinsipnya, hubungan kedua negara yang dirintis masih bersifat perdagangan. MEMILIH PENSIUN. Suatu saat, ketika saya masih menjabat sebagai duta besar di Singapura, saya makan malam bersama anak-anak -- suatu hal yang jarang saya lakukan karena kesibukan masing-masing. Sewaktu saya ngobrol itulah ternyata saya ''tak mengerti'' omongan anak-anak. Omongan saya pun tak bisa ditangkap anak-anak. Saya pikir, ini lantaran saya terlalu lama meninggalkan mereka. Sebagai bapak saya salah. Lalu saya memutuskan untuk pensiun saja. Saya tak mau jadi apa-apa lagi. Namun, setelah jabatan duta besar itu saya tinggalkan, 1972, saya terima juga tawaran untuk memimpin Kantor Urusan Masalah Cina sampai tahun 1985 karena ini merupakan sebagian dari ''nation building'' Indonesia. Setelah meletakkan jabatan sebagai pemimpin Kantor Urusan Masalah Cina, saya hanya di PT Jarum. Bukan perusahaan rokok tetapi ''jaga rumah'' alias tidak bekerja. Saya hidup dari uang pensiun dan simpanan zaman masih makmur, juga bantuan anak-anak saya yang berjumlah tujuh orang. Saya bangga semua anak saya sudah sarjana walau sekolah saya tidak tinggi. Tadinya sempat ikut-ikutan bisnis, tapi karena telanjur tidak terdidik ke sana, jadi bolak-balik ditipu orang. Saya tak punya bakat bisnis. Setelah pensiun saya sering uring-uringan, marah-marah. Maklum, dari biasanya sibuk tiba-tiba tak punya kegiatan apa-apa. Lalu, putri saya yang tertua membawakan kanvas dan cat minyak. Saya tanya, ''Buat apa?'' Dia bilang, ''Terserah saja mau diapakan.'' Saya coba-coba melukis, tapi susah sekali. Akhirnya saya bisa juga menggambar burung-burung. Setelah selesai saya plong. Itulah lukisan saya pertama setelah pensiun. Sekarang saya sudah terbiasa lagi melukis, kegemaran yang sebenarnya sudah saya miliki ketika sekolah di masa muda -- tapi terputus setelah saya menjadi tentara tahun 1944. Meski saya sempat dekat dengan lingkungan Istana, saya tak memiliki lukisan koleksi BK. Waktu Pak Harto jadi presiden, saya yang mengamankan lukisan koleksi BK. Banyak lukisan cewek telanjang. Kalau lukisan itu bernilai seni, pasti pilihan BK. Tapi kalau ''asal telanjang saja'', itu pasti pemberian orang. Lukisan-lukisan itu saya daftar dan disimpan di gudang. Waktu saya tinggalkan, saya pikir sudah cukup aman. Selain mengurusi lukisan, saya juga mengurusi keris, yang jadi bagian dari nasib saya sebagai orang Jawa. Setiap malam Jumat Kliwon, saya membersihkannya. Saat ini keris saya sudah banyak. Sebagian warisan, sebagian lagi pemberian kerabat-kerabat. Ada juga yang saya dapat begitu saja. Misalnya, saat saya berada di Kalimantan Barat, ada orang mencari saya dan menunggu sampai malam. Waktu ketemu saya ajak ke kamar. Lalu dia mengeluarkan keris. Dia bilang tak kenal saya tapi bermimpi kerisnya itu harus diserahkan pada seorang jenderal dari Jakarta. Saya buka, ternyata keris Jawa dari zaman Ronggo Lawe, Majapahit. Sebagai orang Jawa, saya percaya mistik. Tapi, sebagai tentara saya dididik untuk berpikir logis dan jelas. Dulu, bila ada masalah besar, biasanya saya berdiam diri di kantor. Secara intelektual, persoalan itu saya pikir dan olah, lalu saya endapkan di hati. Begitu di hati ini terasa ada tekanan, itu harus saya keluarkan. Baik melalui omongan maupun lewat tulisan. Kalau tak saya keluarkan, terasa sakit terus nantinya. Kini, kegiatan utama saya hanya senam pernapasan. Setiap sore. Kalau pagi tak bisa karena saya sendiri tidurnya dini hari dan bangun siang. Kesibukan lain? Tak ada. Walau saya tak kumpul dengan semua anak-anak, rumah tampak ramai karena ada 14 anjing dan dua kucing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini