DI sebuah bangunan tua sekitar pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta,
Ny. Sita Wachjo, 60 tahun, sedang menyambung tradisi seiarah
bahari di negeri kita. Dia membuat kapal - satu pekerjaan yang
amat langka bagi kaum wanita - yang dilakukannya sejak 30 tahun
berselang. Di mancanegara pun lapangan ini masih merupakan
'kapling laki-laki'. Seperti diungkapkan Richard Cameron seorang
arsitek dan pemilik kapal dari Australia: "Sita adalah wanita
pertama pembuat kapal yang pernah saya jumpai".
Kantornya yang dijuluki para pekerjanya 'kamar komando'
berukuran hanya empat kali empat, disekat dengan papan
kayulapis. Sehari-hari ia biasa mengenakan celana panjang dan
kemeja lengan panjang. Dengan ini memungkinkan dia bergerak
bebas, hingga meniti selembar balok untuk masuk kamar kerjanya,
ia nampak tak pernah gamang. Laut sewaktu-waktu pasang, maka
lantai papan "kamar komando" itu pun tak perlu dilapisi karpet
beludru.
Dari tempat itu pula cahaya merembes. Tak perlu lampu lagi,
memang. Jangan pula ditanya parfum pewangi ruangan. Yang ada
cuma aneka ragam semerbak hawa laut Pasar Ikan.
Direktris PT"Indonesia Craft" ini selalu menggunakan bis kota
pulan peri ke kantornya. Di luar galangan ia dikenal para
sahabatnya tetap sebagai wanita biasa: suka berdandan, suka
perhiasan, hangat dalam pergaulan sosial. Tiap saat ia bisa saja
berada di halaman kantornya, menyertai tukang-tukangnya.
Devaluasi barusan tak terelakkan membikin galangannya jadi oleng
juga. "Kalau rupiah naik, saya ikut. Kalau sedang jatuh, saya
pun plok - ikut terhenyak". Dari sekitar 30 pekerja tetapnya
kini hanya separuh yang masih bertukang. Ia menambahkan: "Tapi
dalam sebuah galangan kapal selalu ada saja yang dikerjakan.
Tidak kapal, kami bikin kursi, meja atau perabot rumah tangga,
dan itu masih bisa dijual," ujarnya sambil melirik kerangka
kapal pinisi yang saat ini terbengkalai. Pembuatan pinisi ini
merupakan proyek idamannya untuk mengawinkan teknologi
perkapalan mutakhir Prancis dengan dasar pertukangan tradisional
Indonesia.
Pernah punya sekitar seribu buruh dengan galangan seluas sepuluh
hektar, Ny. Sita telah membuat ratusan kapal. Di antaranya
seratus speedboat pesanan Kostrad pada waktu Operasi Dwikora.
Juga TNIAL dan Palang Merah Indonesia memesan kapal sebanyak itu
dari Ny. Sita. Sedangkan dari Amerika, Prancis, Inggris dan
Jerman datang pesanan kapal-kapal pesiar (yacht).
Setelah beberapa kali pindah tempat, sejak sepuluh tahun ini
masuk di tempat sekarang, di Gudang Setan, kata orang di sana.
Areal seluas 1.300 m2 itu dikenal penduduk seantero Pasar Ikan
dan Sunda Kelapa sebagai bekas peninggalan Murjangkung - sebutan
untuk Jan Pieterszoon Coen (1857-1929). Namun ke mana pun Ny.
Sita pindah, senantiasa diikuti pekerja yang sama.
Tapi rahasia kesetiaan itu mungkin terletak pada gaya
kepemimpinan Ny. Sita juga. Ia terjun menguasai seluk-beluk
teknis pembuatan kapal, sampai pada urusan sekrup terkecil.
Ny. Sita Wachjo berasal dari keluarga ningrat Jawa, anak ke
empat dari delapan bersaudara. Ayahnya seorang insinyur teknik
sipil yang sering berpindah tugas. Ia sendiri menjalani
pendidikan hukum di Negeri Belanda, berdiam di sana 7 tahun dan
menikah dengan orang sono - tanpa anak, sampai bercerai. Masa
kecilnya pernah di Wonosobo, di Jambi dan ia lahir di Palembang.
Itu sebabnya, wanita yang tetap menjanda ini mengutip pemeo
sekali orang minum air Musi, dia akan selalu dekat air.
Tak lama setelah Indonesia merdeka ayahnya mendirikan galangan
kapal untuk alat angkutan sungai di Kalimantan. Sita langsung
ditunjuk menjadi direktris. "Dengarkan saja Herr Vos - insinyur
Jerman ahli kapal. Lakukan apa yang dia bilang. Pakai otakmu,
kalau kau punya," cerita Ny. Sita mengutip ayahnya. Waktu itu
usianya 29 tahun. Ternyata kepala sang putri memang tidak
kosong. Ketika insinyur Vos meninggalkan galangannya tahun 1972,
Ny. Sita sudah mahir merangkap pekerjaan sekalian sebagai
direktur teknik.
Pengalaman wiraswasta di kalangan kaum wanita hingga mencapai
tingkat 'pengambil keputusan', mungkin tak selamanya karena
digiring langsung oleh orangtua. Seperti kisah sukses Ny. Hajjah
Mariani Sudirman, 55 tahun, pemilik dan pemimpin perusahaan
pakaian jadi, PT "Caldera Garment Factory" di Tanjung Priok,
Jakarta. Pekerjanya sebanyak 350 orang - 300 di antaranya
wanita. Dari 13 pengusaha industri garment di kawasan Tanjung
Priok, ia merupakan satu-satunya wanita.
Sejak sebulan mi ia menambah usaha baru, di bidang pafiwisata,
yaitu PT Solok Indah. Usaha ini meliputi hotel, bungalow kolam
renang dan padang golf di areai seluas dua ribu hektar, di tepi
danau, di Solok, Sumatera Barat.
Marie, panggilan akrabnya, lahir di Medan sebagai anak ketiga
dari sepuluh bersaudara, punya latar belakang pendidikan
kebidanan di St. Carolus, Jakarta. Ayahnya pegawai negeri dan
berasal dari ranah Minang. Juga ibunya. Tak lama setelah menikah
dengan Sudirman di tahun 1951, ia segera sadar sang suami lebih
direbut oleh organisasi keolahragaan. Maka Ny. Sudirman dengan
sigap mengambil keputusan pentin. "Saya terjun ke dunia bisnis,
karena sadar Mas Dirman suatu ketika akan menjadi milik
masyarakat," tuturnya. Terbukti kemudian Sudirman memang ditelan
organisasi perbulutangkisan (PBSI) selama hampir seperempat
abad.
Berbagai usaha, sebelum itu, pernah ia coba. Real estate,
industri mebel dan mendirikan padang golf. Kandas semua.
"Padahal harta sudah dipertaruhkan, namun kredit investasi yang
didapat hanya 10%," Ny. Sudirman mengenang dengan suara dalam.
Dengan tinggi 1,75 meter dan berat 73 kilo, punya pembawaan
tenang, wanita berkulit kuning langsat itu tak mudah patah
semangat. "Mungkin karena saya berasal dari keluarga besar yang
menuntut saya untuk punya semangat berdikari," ujarnya "dan itu
pula yang saya tanamkan kepada anak-anak agar berkecimpung
menjadi wiraswasta." Ibu dari 6 oran anak yang semua sudah
"jadi orang" ini kini memiliki 10 cucu.
Belajar dari serangkaian kegagalan itulah akhirnya wanita yang
pernah berjuang di daerah Malang waktu zaman Jepang itu sampai
pada keputusan lain: "Saya lalu join dengan Hongkong di bidang
garment ini," katanya. Dari perkongsian ini, menurut Ny.
Sudirman, ia sekaligus belajar menata perusahaan secara lebih
genah. Hingga ia membuat keputusan baru lagi. "Sejak tiga
tahunini saya melakukan usaha ini sendiri," tuturnya kepada
Yulia Setiawati dari TEMPO. Produksinya berupa jeans dan jacket
yang diberi label Jacques de NoiT diekspor ke Amerika, Eropa dan
Kanada. Sebulan rata-rata meliputi 7.000 potong.
Bagaimana dia mengendalikan perusahaannya? "Biasanya saya
rundingkan dengan anak saya," jawabnya "kemudian dibawa kepada
staf manajer PT Caldera. Sedangkan suami saya, memberikan
petunjuk-petunjuk, karena dia memang ahli di bidang ekonomi."
Di tingkat atas pabriknya yang bertingkat dua itu, para pekerja
sedang sibuk membuat pola, memotong bahan, menjahit dan
merapikannya. Di lantai bawah untuk pengepakan. Ruang kerja Ny.
Sudirman sendiri terletak di sebuah sudut, komplit dengan alat
pendingin.
Sebagai pemegang tampuk pengambil keputusan, ia harus sering
bepergian. Untukmenghadiri resepsi maupun pertemuan-pertemuan
bisnis di luar kota atau di luar negeri. "Untuk urusan bisnis
sedapatnya saya lakukan siang hari," katanya "dan kalaupun
harus malam, saya didampingi suami atau anak saya." Hal itu
dilakukan Ny. Sudirman, "untuk menghindari gunjingan masyarakat.
Sebab sebagai wanita pengusaha saya tak sebebas kaum pria,"
tambahnya.
Nyonya Rukmini Abidin, 59 tahun, juga selalu didampingi
suaminya, Zainal Abidin. Pergi pulang kantor, berbelanja, maupun
dalam perundingan-perundingan dengan para relasinya. Tapi awal
mulanya dorongan orangtua juga yang memacu semangat Nyonya
Rukmini, hingga muncul sebagai salah seorang wanita pengusaha
terpenting saat ini. "Sejak kecil saya sudah didorong ayah saya
untuk berdiri sendiri," katanya suatu ketika kepada TEMPO.
Dorongan itu, tambahnya, diarahkan pada pekerjaan yang sarat
dengan amal dan dapat meringankan penderitaan orang lain.
Bersama suaminya, Zainal Abidin, awal tahun 1950-an Rukmini
mendirikan apotek pertama milik pribumi ketika itu - dan karena
itu dinamakan Apotek Tunggal. Tapi apabila sekaran wanita
kelahiran Padang itu memiliki sekaligus mengendalikan pabrik
obat-obatan, dan industri alat-alat kecantikan, dicapainya
dengan tidak mudah. PT Tunggal didirikannya dengan modal nol dan
hanya dapat bergerak dengan cara meminjam sebagian setoran para
peseronya. Baru 8 tahun kemudian uang para pesero ini dapat
dibayar kembali.
Untuk mengendalikan PT Tunggal berikut cabang-cabang dan
anak-anak perusahaannya dengan hampir 1.000 karyawan, Rukmini
biasa bekerja dari pukul 8 pagi hingga 16.30. Di rumah, setelah
bercengkerama dengan Gibran, cucunya, dan anggota keluarganya
yang lain disekitar waktu magrib dan isya, ia melanjutkan
pekerjaanpekerjaan sampai larut malam. Suatu saat, tuturnya,
"saya pernah membawa pulang 9 koper laporan dari berbagai
perusahan".
Perusahaannya bekerja sama dengan berbagai pabrik obat terkenal
di daratan Eropa maupun Amerika. Untuk itu ia mendidik beberapa
karyawannya untuk mengenal manajemen modern. Ia menyekolahkan
beberapa stafnya, selain mendatangkan ahliahli untuk mengajar
berbagai aspek perusahaan kepada karyawannya. "Karena itu saya
sekarang mulai lebih banyak melepaskan tanggung-jawab kepada
staf, meskipun keputusan prinsipil tetap di tangan saya,"
ungkapnya.
Mungkin karena itu Rukmini masih tetap muncul di berbagai
kegiatan sosial. Setelah mendirikan Yayasan Mitra Budaya (1967)
yang banyak memperkenalkan berbagai aspek kebudayaan dari
seluruh Nusantara, pada 1970 ia dan suaminya turut pula menjadi
pendiri Ganesha Society. Badan terakhir ini kemudian sering
melakukan kegiatan yang berkaitan dengan benda-benda kebudayaan
kuno.
Ia memang penggemar barang-barang antik, khususnya keramik. Di
sudut-sudut rumahnya, di belakang Apotek Tunggal di Jalan
Salemba Raya, terlihat benda-benda berharga itu. "Semua itu kami
kumpulkan secara berangsur-angsur," tuturnya. Di ruang-ruang
rumahnya yang besar itu pula setiap hari terlihat vas-vas berisi
kembang sepatu segar yang dipetik dari halaman rumahnya. "Semua
isi rumah, berikut halamannya, teratur rapi, sebagaimana halnya
Nyonya Rukmini yang selalu berpakaian rapi," kata seoang
sahabatnya yang sering berkunjung ke rumah itu. Di kolam renang
yang terdapat di rumah itu, Rukmini hampir setiap hari berenang
- satu-satunya olah raga yang tetap ia lakukan sampai sekarang.
Di rumah itu pula diskusi sering berlangsung antara suami-istri
Zainal Abidin dan kedua putri mereka. Persoalan terutama
berkisar pada perusahaan. Suatu ketika, misalnya, suami-istri
itu melaporkan rencana untuk membuka cabang perusahaan baru di
suatu tempat. Karena itu keuntungan yang baru didapat akan
ditanamkan ke usaha baru itu. Anak-anak umumnya menyetujui,
sambil tak lupa menambahkan kata-kata yang sudah terkenal di
lingkungan keluarga itu: "Ditelan gelombang Tunggal".
Seperti diakuinya, selain pendidikan formal, ia juga mengarahkan
kedua putrinya agar mengenal soal-soal rumah tangga. "Sebab saya
dulu juga dididik ibu saya begitu," ungkap Rukmini. Tapi
barangkali juga sering membawa Gibran ke kantornya. Selain, juga
karena "saya tak mau pendidikan Gibran sehari-hari hanya diawasi
pembantu di rumah".
Bagi Ny. Abidin, sukses sebagai pengusaha dan keberhasilan
sebagai bu rumah tangga, selalu saling berkait. "Dengan
kurangnya pengertian dari keluarga, ada kalanya usaha tidak
tercapai, bahkan bisa mendatangkan malapetaka," ungkapnya. Sebab
bagi dia, seorang ibu tetap merupakan kedudukan yang khusus
dalam kehidupan keluarga, sehingga di antara orang-orang yang
bersangkutan harus ada saling mengerti.
Kunci kesuksesan Ny. Rukmini tak hanya pengertian dari seluruh
anggota keluarganya--terutama suaminya yang memegang salah satu
anak perusahaan. Tapi juga karena Nyonya ini ta pernah berhenti
pada satu tujuan. "Saya menetapkan citacita yang tinggi dan saya
menetapkan cita-cita yang baru bila yang lama telah tercapai,"
unkapnya suatu ketika kepada majalah Eksektif. Saya juga,
tambahnya, senantiasa mencoba untuk lebih baik dari
perusahaan-perusahaan saingan. Untuk itu dalam jangka waktu
tertentu, "saya bandinkan rencana dan hasil-hasil yang telah
dicapai, menganalisa perbedaan dan menyesuaikan kebijaksanaan
perusahaan demikian rupa hingga tercapai hasil yang
diinginkan'.
Saling pengertian di antara keluarga juga mendukung keberhasilan
Ny. Danarsih, 36 tahun, sebagai pengusaha batik. Bersama
suaminya, Haji Santoso, 41 tahun, tiap selesai sembahyang
maghrib, ia mendiskusikan batik, tentu saja. Sepotong kain
batikdigelar di lantai. Mereka bicara ihwal mutu, motif, warna,
garapan dan harganya bila kelak dilepas ke pasar. "Sering kami
saling debat," kata Ny. Danarsih. Selesai diskusi, ia membuat
catatan untuk pegawainya, misalnya, ada segi lemah dari
penggarapan batik itu.
Dari rumah mereka yang besar di Jl. Dr. Rajiman, Sala,
perjalanan batik "Danarhadi" diatur. Merek. usaha berasal dari
nama Danarsih dan Hadi - nama sang ayah? Hadipriyono - yang iuga
terkenal sebagal pengusaha batik. Lalu untuk lengkapnya
dibubuhkan lagi nama sang suami, Santoso, hingga komplit menjadi
Batik Danar Hadi Santoso.
Ibu empat anak ini, lahir di Sala, dan sejak kecil sudah bergaul
dengan seluk-beluk perbatikan. Namanya menjulang sejak awal
1970-an, ketika batik sablon menguasai pasaran. Konsumen menjadi
jenuh. Ny. Danar memutuskan untuk tampil dengan batik tulis
lagi. Dengan mori halus lagi.
Tidak sia-sia. Di rumahnya sekaligus kantor merangkap ruang
pamer, tiap tiga menit telepon berdering: kontak langsung dengan
segenap tokonya di berbagai kota di Indonesia. Isi pembicaraan:
keadaan harga dan pasar. "Saya perlu mengetahui tiap saat apa
motif yang digemari dan mana yang seret," katanya kepada Kastoyo
Ramelan dari TEMPO. Hubungan bisa pula berlangsung lewat teleks
yang juga ada di rumah itu.
Di tempat lain, masih di Sala, Ny. Danar mempunyai tiga pabrik
batik selain toko batik. Lalu sebuah pabrik mori di Karanganyar,
15 km dari Sala. Perusahaannya mempekerjakan sekitar seribu
karyawan, di luar ribuan buruh cap dan buruh pembantik.
Produksinya kini 500 sampai 1.000 koli kain batik sehari. Dari
jenis tradisional, semitradisional dan yang bercorak mutakhir
Sebagian batiknya diekspor ke Negeri Belanda, Jerman, Australia
dan juga Afrika.
Suami istri itu nampak sudah berbagi tugas: Ny. Danar mengurus
pemasaran, dan sang suami mengurus proses pembuatan batik,
termasuk urusan pabrik mori.
Hari Minggu selalu tersedia untuk keluarga. Mereka meluncur ke
Tawangmangu, tempat wisata yang sejuk di !ereng Gunung Lawu.
Wanita berkulit kumng langsat dan berhidung mancung ini
berperawakan semampai (tinggi 1,64 meter dan berat 54 kg), juga
tak mengabaikan perawatan dirinya. Begitu selesai sembahyang
subuh, "Saya masuk kamar lain, senam," cerita Ny. Danarsih. Agar
tetap sehat dan cantik.
"Kecantikan sejati, tak hanya memancar dari lahir tapi juga
batin," itu kata BRA Mooryati Soedibyo, pemilik dan Direktur
Utama PT 'Mustika Ratu'. Tatiek, nama panggilan perempuan
berdarah keraton (dari ibu) dan masih famili R.A. Kartini (dari
ayah) ini, pada usia 55 tahun kini membuktikan ucapannya.
Usahanya memang mendatangkan uang dari urusan mempercantik diri.
'Mustika Ratu' sebagai industri lahir dari kegemarannya pada
jamu dan tata-kecantikan tradisional yang diwarisinya dari
lingkungan keraton. "Saya dididik secara kuno," kata ibu 4 anak
ini. Di dalam tembok keraton itulah sejak usia 3 sampai 28
tahun, saat ia menikah - ia mendapat keterampilan menari,
nembang Jawa, membatik, merias menyanggul, membuat jamu serta
kosmetika tradisional.
Kepandaian itu semula hanya diterapkan pada teman dan keluarga.
Oleh dorongan suaminya, Ir. Soedibyo Poerbo Hadiningrat, hobi
itu berkembang menjadi bisnis. Itu terjadi tahun 1973, dengan
berdirinya Tat's Beauty Secret, sebuah industri rumah tangga
yang "berpabrik" di rumahnya, Jl. Sawo 31, Jakarta. Produksinya
lalu diperkenalkan ke salon-salon kecantikan. Ternyata
permintaan membludak.
Empat tahun kemudian ia mendirikan Pusat Perawatan Kecantikan
dan Pusat Pendidikan Tradisional "Mustika Ratu". Ada 40 karyawan
bekerja di situ. Pusat ini telah mendidik tiga ribu siswi ahli
kecantikan yang kini tersebar di seluruh Indonesia.
Pada 1979 ia melangkah sebagai industrialis: pabrik "Mustika
Ratu" dibangun di Ciracas, antara Jakarta-Bogor. Di areal seluas
satu hektar dengan bangunan 7.000 m2, lengkap dengan lab modern,
pabrik itu kini mempekerjakan 200 karyawan.
Dari pabrik itu muncul 80 macam jamu dan 70 macam kosmetika
tradisional. Barang itu dipasarkan melalui 1.500 salon
kecantikan yang tersebar di seluruh Indonesia. "Juga melebar ke
Malaysia, Singapura dan Bangkok," kata Mooryati yang gemar
menonton film horor itu.
Dalam bisnis katanya ia tak terlalu menekankan aspek komersial.
Tapi, "Ibu tak sembarang mengeluarkan duit," komentar Djoko
Ramuadji, MSc, anak sulungnya yang kini bekerja di Dep. PU.
Bahkan sewaktu Djoko di luar negeri, sang ibu enggan membelikan
mesin ketik baru. "Ibu membawa mesin ketik lama dari Jakarta,"
tutur Djoko. Alasan: untuk apa beli yang baru, kalau memang
sudah punya.
Ny. Sisi Soetrisno, 45 tahun, yang kini Direktur Utama PT "Tiara
Royale" -bergerak dalam usaha catering - juga memulai usahanya
dengan dorongan suaminya. Ibu tujuh anak ini semenjak awal
1960-an mencoba usaha katering buat menambah penghasilan atas
anjuran suaminya yang pegawai negeri. Waktu itu suaminya bekerja
sebagai inspektur penerbangan.
Ketika suaminya kemudian pindah menjadi Direktur Merpati
Nusantara Airlines, Ny. Sisi merintis usahanya dalam bentuk
yayasan untuk melayani kebutuhan makanan di perusahaan itu.
Karena maju pesat, ia mendirikan PT Tiara Royale. Modal pertama
satu juta dan perusahaan diurus dengan tenaga inti empat orang.
Kini jumlah karyawan menjadi 400 - termasuk mereka yang ada di
cabang Bandung dan Surabaya. Tahun lalu saja omsetnya meliputi
Rp 1 milyar lebih. "Omset memang naik sekitar 70% per tahun,"
kata Ny. Sisi. "Kelihatannya saja uang tambah banyak, tapi harga
kan juga naik".
Tiap hari dari dapurnya di Jl. Melawai, Kebayoran Baru, harus
siap hidangan menu Indonesia sekitar 8.000 porsi, sesuai dengan
pesanan tetap langganannya dari berbagai kantor pemerintah.
Anak sulung dari delapan bersaudara, kelahiran Pamekasan ini,
pernah mengecap pendidikan psikologi di New York, 1956-1959.
"Kehidupan saya waktu itu saya rasa banyak membantu keadaan saya
sekarang," katanya sambil mengenang lagi pengalamannya tinggal
di asrama di sana. Ia harus ikut di dapur, ikut di kamar cuci,
harus menerima telepon.
Tak heran bila ia terbiasa mengambil keputusan sendiri.
Misalnya, semula dapurnya menggabung di rumahnya - sebuah rumah
luas di bilangan Kemang. Namanya usaha masak-memasak, terJadi
iuga sampah bertaburan di halaman, termasuk kulit udang. Baunya
bukan main. "Suami saya marah," Ny. Sisi bercerita kepada
wartawan TEMPO, Minuk Sastrowardoyo. "Akhirnya saya putuskan
dapur harus pindah," ujarnya mengungkapkan riwayat dapurnya di
Melawai itu.
Kantornya pun jauh dari rumah, yaitu di Jl. H.O.S Cokroaminoto,
Jakarta Pusat, di ruang seluas 600 m2, yang merangkap untuk
menyimpan perabot hiasan pesta. Di meja kerjanya penuh tumpukan
kertas. Juga sebuah foto anaknya yang sekolah di Paris. Tiga
anaknya yang lain bersekolah di Amerika. Untuk mengongkosi
anak-anaknya itu, menurut Ny. Sisi, sumbernya bukan diambil dari
hasil usaha katering, melainkan dari dividennya di sebuah
perusahaan penerbangan patungan dengan Australia, yang juga
dirintisnya sejak 1964. Akan halnya keuntungan perusahaan
kateringnya, menurut Ny. Sisi diinvestasikan lagi untuk
mengembangkan usaha. Bagi Nyonya ini urusan memasak lebih tampak
sebagai hobi saja.
Bila pekerjaan sudah menjadi hobi, semua urusan tak dirasa
sebagai beban. Seperti Ny. Kartini Mulyadi, notaris terkemuka di
Jakarta. Bekas hakim pada Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta itu
menceritakan: "Sejak sekolah saya tidak mempunyai waktu
bersantai dengan teman-teman, karena saya juga kerja part-time".
Ketika masih kuliah, ia menjadi guru SMA dalam mata pelajaran
tatanegara, pengantar ilmu hukum dan ilmu pesawat badan. "Saya
menggunakan waktu senggang untuk bekerja, hingga boleh dikatakan
bekerja adalah hobi saya," tuturnya.
Di kantornya kini di Jl. Hayamwuruk, sejak sepuluh tahun ini
sebagai Notaris/Penjabat Pembuat Akta Tanah, Ny. Kartini
membawahkan sejumlah sarjana hukum. "Jumlahnya tak usah saya
sebut. Pokoknya banyak," kata ibu 4 anak yang punya acara olah
raga jogging secara teratur.
Ia juga menolak menyebutkan jumlah kliennya, yang konon termasuk
besar. "Saya ini hanya satu dari 120 notaris yang ada di
Jakarta," jawabnya merendah. Namun menurut sebuah sumber kantor
notaris ini yang pertama menggunakan sistem komputer dan itu
pertanda bisnisnya bukan kecil-kecilan. Ia juga terbilang tokoh
dalam perusahaan "Revlon" serta punya hak suara juga di
perusahaan farmasi PT "Tempo".
Anak tertua dari empat bersaudara ini tak melihat adanya
halangan bagi wanita menduduki pos eksekutif di Indonesia. "Tapi
pandangan saya mungkin karena saya kelahiran Surabaya. Di Jawa
Timur, wanita yang terjun dalam dunia usaha itu sudah
mendarah-dagmg," ujarnya.
Kalaupun ada kesukaran bagi wanita profesional atau eksekutif
adalah dalam hal membagi waktu antara pekerjaar dan keluarga.
"Ini memang tak mudah, karena menyangkut prioritas," katanya.
Buat dirinya sendiri, baik keluarga maupun pekerjaan sama berat.
"Kaseimbangan ini harus dihadapi seorang profesional,"
tambahnya.
Tapi di rumah, katanya tetap "tak bisa ada dua kepala keluarga.
Dan saya beranggapan yang menjadi kepala keluarga seyogyanya
pihak pria. Dalam sistem organisasi yang layak, kita harus dapat
memberi pengakuan akan wewenang yang lebih tinggi dari pribadi
kita sendiri."
Tapi tanpa seorang suami sebagai kepala keluarga, Siti Rahayu
Sumadi, 46 tahun, yang sampai sekarang belum berkeluarga, bisa
berbangga hati sebagai Direktris PT Deraya Air Taxi. Ia
mengelola perusahaannya di mana saja, di kantor, di rumah. "Dua
puluh empat jam waktu saya untuk perusahaan, kecuali saya
tidur," katanya.
Perusahaan ini berdiri 8 Mei 1967. "Saya tertarik pada dunia
penerbangan, bukan hanya sebagai hobi, tapi yang dikomersilkan,"
kata Siti Rahayu. Sekarang PT Deraya memiliki 21 pesawat carter
dari berbagai type. Ada jenis gelatik, cessna, piper dan casa.
Atas izin khusus pemerintah ia juga memiliki satu pesawat jet
bekas Pelita Air Service.
Dua tahun setelah perusahaan itu berdiri, Siti Rahayu berangkat
ke Belanda. Ia mempelajari seluk-beluk penerbangan dan sekaligus
belajar mengemudi pesawat. Tahun 1970 ia berhasil memperoleh
Commercial Pilot Licence (CPL).
Bagaimana ia memimpin perusahaan? "Semua keputusan saya yang
mengambil setelah berdiskusi dengan staf," ujarnya. "Saya tak
pernah melepaskan tanggung jawab begitu saja, walaupun sudah
melimpahkan kepada orang lain."
Siti Rahayu selalu mengambil sikap tegas terhadap 70
karyawannya. "Saya tak bisa memperlakukan karyawan dengan
lembut," katanya. Kekerasan dirinya itu juga terpantul di
wajahnya yang-bulat telur dan eratnya menggenggam waktu
bersalaman.
PT Deraya Air Taxi kini punya omset Rp 2,9 milyar. Perusahaan
ini banyak dimanfaatkan oleh kalangan perminyakan untuk operasi
di Kalimantan dan Sumatera. Selain itu, PT Deraya juga
mendirikan sekolah penerbangan sejak 1970, berpangkalan di
Kemayoran. Sudah banyak meluluskan PPL (Private Pilot Lisence).
Sekolah ini didirikan kareni "banyak pesawat kecil kurang
efisien untuk pesawat carteran," kata direktris yang mengaku tak
suka berorganisasi ini.
Tanpa suami juga bisa menggiring wanita menjadi pengusaha. Itu
dialami Ny. Djokosoetono, 60 tahun. Ia memutushn masuk dunia
bisnis sepeningal suaminya tahun 1965. "Didorong naluri
orangtua untuk memajukan anaknya," cerita Ny. Djokosoetono
kepada Rini PWI Asmara dari TEMPO. Ia memilih usaha taksi kota
karena waktu itu, "Peninggalan bapak ada beberapa mobil bekas
pemberian UI dan perguruan tinggi Akademi Hukum Militer." Prof.
Dr. Djokosoetono, SH memang guru besar semasa hidupnya, juga di
PTIK.
Kediamannya yang merangkap sebagai markas besar taksi Blue Bird
ada di Jl. H.O.S. Cokroaminoto, Jakarta. Di sana bermula ada
sejumlah mobil bekas. Tahun 1972, Blue Bird resmi mendapatkan
dukungan bank. Kini armadanya meliputi 500 mobil. Belakangan
diperkuat pula dengan 80 bis yang diberi nama 'Big Bird', untuk
pengangkutan karyawan dan anak sekolah. Usaha ini menampung
sekitar 800 tenaga kerja. Putrinya dr. Mintarsih, 36 tahun duduk
sebagai direktur personalia. Sedangkan dr. Purnomo Prawiro,
anaknya yang bungsu menjadi direktur operasi.
Ibu 3 orang anak yang semua jadi dokter ini juga aktivis
berbagai organisasi bisnis, seperti Kadin, Iwapi (Ikatan
Pengusaha Wanita Indonesia). Namun sejauh ini tak pernah
terlintas dalam pikirannya untuk mempekerjakan wanita juga
sebagai sopir taksinya. "Pada prinsipnya, saya cari makan tidak
dengan merendahkan kaum saya," ujarnya, "Karena berbahaya sekali
wanita menjadi sopir".
Memang masih banyak wanita pengusaha yang cukup menonjol.
Misalnya, putri ke lima dari enam anak Prof. Roosseno, Dra.
Amalia Mulyono-Roosseno, yang memimpin satu usaha jasa
perlindungan di bidang merk dan hak paten. Itulah Biro Oktroi
Roosseno yang beralamat di Kompleks Permata Hijau, Jakarta
Selatan.
Di rumah kediaman bergaya Spanyol itu, Ny. Amalia, ibu 4 anak
ini, sejak 15 tahun ini meneruskan usaha keluarga yang sudah ada
mulai 1952 itu. Ia mengkoordinasi 15 pekerja, enam di antaranya
wanita. "Klien saya hampir seribu perusahaan," kata Ny. Amalia
menyebut beberapa merk terkenal. Meski terbilang wanita
pengusaha, Ny. Amalia tak pernah ikut Iwapi. "Tak ada
hubungannya dengan usaha saya, jadi saya lantas kurang sreg,"
ujarnya.
Iwapi dewasa ini tumbuh sebagai organisasi wanita usahawan
terbesar di Indonesia, dengan cabang di 23 provinsi. Ny. Tien
Soeharto menjadi pelindungnya. Pesatnya pertumbuhan organisasi
yang bertiri sejak 1976 itu ternyata membawa 'nasib buruk' bagi
karir Ny. Dewi Motik sebagai peragawati. Sebab di tahun 1979 ia
didaulat sebagai ketua.
Gelarnya sebagai Top Model Indonesia tahun 1974, melicinkan
jalan baginya memasuki dunia bisnis. Ketika akhirnya dia
bersungguh-sungguh: dua tahun kemudian, ia mendirikan PT Rulan
Jaya bersama keluarganya. Perusahaan yang bergerak di bidang
ekspor impor semen ini pada 1980 lebih menaruh minat
mengembangkan usaha konveksi. Untuk yang terakhir ini ia
mendirikan PT Arrish Rulan Garment Factory yang sempat menyerap
sekitar 500 tenaga kerja.
Ibu dua anak ini membagi waktu untuk keluarga dan pekerjaan
dengan cara selalu memberikan acara hariannya kepada semua
anggota rumahnya - termasuk pembantu. "Sehingga semua orang di
rumah tahu di mana saya berada," ujarnya. Agenda hariannya padat
sepanjang minggu. "Saya bahu-membahu dengan Yu Mala," katanya.
Maksudnya, kakaknya, Kemala Motik, yang juga dipandangnya
sebagai sahabat, konco bisnis dan sekaligus penasihatnya.
Tapi ada orang lain yang disebut Dewi: suaminya, Pramono, yang
bekerja di Dept. Pekerjaan Umum, seorang yang lebih suka tak
menonjol. "Saya menganggap suami saya adalah orang yang
membentuk saya," Ny. Dewi bercerita. Sang suami juga biasa
mendampingi bila ia harus menghadiri acara di luar. "Kalau dia
tidak sempat, saya akan bepergian dengan mengajak pembantu.
Karena terus-terang, saya paling tidak suka jadi bahan
pergunjingan," ujarnya bersemangat.
"Saya harus menghindari konflik dalam keluarga saya," katanya
lagi, dan masih dalam semangat yang sama ia mengutarakan
pendiriannya: "Meskipun saya merasa dapat berbuat banyak tanpa
bantuan orang lain, saya tetap merasa . . . I need a man, I need
a husband"
Dari Sita yang sorangan, sampai dengan Dewi yang perlu
berdampingan, Kartini 1983 hadir - para wanita Indonesia yang
menonjol bukan karena nunut suami - di dalam bisnis yang
menjulang tinggi. Zaman pergerakan politik memang tak ada lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini