BAGI Dr. Arie Johannes Plekaar, melihat Aceh bagaikan orang
pulang kampung. Dia ini orang Belanda. Jabatannya sekarang:
Ketua Lembaga Kerajaan untuk Bahasa & Pengetahuan Bangsa-Bangsa
di negerinya. Plekaar juga duduk sebagai anggota Dewan Nasional
yang bertugas luar biasa untuk masalah tertentu (di luar dari
tenaga departemen yang ada).
September kemarin, ketika Universitas Syiah Kuala berhari jadi
yang ke-16, Plekaar dan isteri dan Prof. A.A. Teeuw diundang ke
sana. Kesempatan ini tentu saja tidak dilewatkan begitu saja,
karena mengandung nostalgia. Plekaar bahkan berpidato dalam
bahasa Indonesia yang masih lancar dan penuh dengan
petatah-petitih Aceh. Judul ulasannya: Pengetahuan dan
Masyarakat, (aslinya bahasa Belanda dan diterjemahkan oleh Dr.
Iskandar).
Setelah Snouck Hurgronje Plekaar adalah orang Belanda yang
banyak menaruh perhatian tentang adat istiadat dan seluk beluk
kehidupan orang Aceh. Biarpun dia pernah jadi kontrolir dan
aspiran kontrolir di Langsa dan kemudian jadi Sekretaris pada
Asisten Residen Aceh dan daerah takluknya Kutaraja. Tahun 1942,
dia tidak sempat menyelamatkan diri ketika Jepang mendarat. Dia
lalu diinternir di Lawe Sigalagala, Aceh Tenggara. Untung
nyawanya tak sampai hilang bahkan dia sempat membuat sebuah buku
selama internirannya dengan judul Aceh, en Oorlog met Japan.
Seperginya Jepang. Plekaar duduk sebagai Komisariat Tinggi
Belanda di Indonesia dan berkedudukan di Jakarta, sampai 1949.
Sarjana Hukum yang kini usianya telah 67 tahun, menikah dengan
Annie Mary van der As, anak angkat Gubernur Belanda terakhir di
Aceh, van Akken. "Bagi kami sangat sulit untuk melupakan Aceh,"
kata Plekaar. "Di sinilalI nyonya Plekaar dibesarkan," kata
gubernur Muzakkir Walad, ketika mengajak tamu itu memasuki
kembali rumah gubernuran. Plekaar berniat untuk meninjau
pelosok-pelosok Aceh, setelah acara di Syiah Kuala usai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini