PERKAWINAN 'asu-pundung' telah berlangsung di Bali, tanggal 23
September lalu. Disebut asu pundung karena pengantin wanita dari
kasta lebih tinggi (Brahmana), sementara pengantin laki-laki
golongan Ksatria. Anak Agung Gde Raka MA, MPA, menikah dengan
Ida Ayu Astutie. Astutie, 4 hari sebelum hari pernikahan, harus
melakukan upacara "penurunan kasta" atau patiwulgi di Pura
Desa. Dia kemudian "dibuang" di Puri Agung Pemecutan Denpasar.
Namanya yang baru jadi Anak Agung Istri Agung Astutie.
Perkawinan yang penuh liku upacara itu tentu saja menarik
perhatian banyak orang. Terutama orang asing, dan tentu saja
teve asing. Apalagi perkawinan berjalan penuh kemewahan. Maklum,
orangtua pengantin pria juga orang terkenal: Ida Allak Agung Gde
Agung SH, yang pernah menjabat Menteri Luar Negeri, Menteri
Dalam Negeri dan duta besar empat kali di berbagai negara Eropa.
Jalan Denpasar-Klungkung macet. Karena ketika upacara lamaran,
dikerahkan 5.000 orang yang diangkut dengan 60 bemo, 10 buah bis
dan 50 buah truk. Selesai lamaran, Astutie diboyong ke (ianyar
yang jauhnya 2,5 Km. Pertama dia naik gayot (tandu) dari Puri
Pemccutan ke Lapangan Puputan Badung. Terus naik mobil mewah,
kemudiall ditandu lagi ketika menuju Puri Gianyar, puri tua yang
dibangun tahun 1771.
Dan jadilah perkawinan Gde Raka dan Astutie perkawinan terbesar
-- sejak raja tidak lagi bertahta di Indonesia dan Gianyar hanya
gemilang di zaman dongeng. Perkawinan diperkirakan menelan
ongkos Rp 30 juta. Baju pengantinnya saja berharga Rp 1,2 juta.
Harian Berta Buana menulis: 120 ekor babi telah disembelih.
Belum puluhan ekor kerbau, kambing dan ayam. Panitia inti
berjumlah 40 orang, dengan 200 orang staf.
Puncak upacara berjalan seminggu. Tapi puncak dari segala puncak
adalah jam 16.30 tanggal 23 Septembcr. Ketika kedua pengantin
keluar dari Gedong Joli, memakai pakaian kebesaran (pengantin
laki-laki mengenakan jas pendek putih dengan pinggiran dilapis
suara emas. Untuk pakaian adat pengantin pria tidak berbaju),
menuju Pemerajan. Jalan ke Pemerajan dilapisi kain putih dan
barisan tombak. Di tempat yang agak lapang mempelai ditandu.
Kiri-kanan jalan dihias janur hasil kreasi pelukis Ida Bagus
Tilem dan seorang kulit putih Warwick Purser dari biro
perjalanan Pacto. Disaksikan banyak tamu, antara lain Bung Hatta
dan Rahmi Hatta, Hasyim Ning, Jenderal Surono, Letjen Widodo,
Dr. Takdir ALisyahbana, Letjen Wijoyo Suyono, upacara sembahyang
berlangsung kurang dari satu jam. Setelah itu selama 3 hari
rakyat secara gratis bisa nonton film, wayang kulit, topeng,
gambuh, arja, dan sebagainya.
Kabarnya, banyak petinggi Hindu Dharma segan hadir - kalau tidak
mau dikatakan memboikot. Dengan hati-hati. biasanya mereka
menghindar untuk menilai perkawinan catur wangsa (kasta
berlainan) tersebut. I Gusti Ketut Kaler sebagai Kepala
Bimbingan Masyarakat Hindu Budha Propinsi Bali menyebutnya
sebagai "perkawinan yang biasa saja mcllurut adat dan tradisi" -
biar pun dia sendiri tidak hadir.
Gde Raka sendiri, mempelai pria, cukup terkenal. Dia adalah
dosen Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas
Udayana. Tinggi langsing, berkumis lebat, biasa mengenakan
kemeja gaya anak muda sekarang - dengan satu kancing dilepas
sehingga nyaris separuh dada tampak. Gde Raka juga duduk sebagai
pentolan Pacto di Bali. Mertuanya, Ida Bagus Kompyang, adalah
pemilik Hotel Segara Village di Sanur, hotel lama sebelum
bermunculan hotel-hotel modern seperti sekarang. Bersama
menantunya, Kompyang jadi direktur PT Dirgantara Air Service.
Astutie, si puteri Bali yang langsing kuning, pernah kursus
kecantikan di Paris. Gde Raka dan Astutie pernah jadi sorotan
orang di Bali. Bukan karena kisah kasih mereka. Tapi karena
keduanya sering muncul dalam sidang pengadilan penyelundup
ganja yang kemudian kabur, Donald Andrew dan kawannya itu.
Peranan mereka: cuma sebagai saksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini