SEBUAH edaran yang ditujukan pada semua pimpinan, unit utama di
lingkungan Dep. P&K, rektor universitas/institut negeri dan
semua Kakanwil Dep. P&K di seluruh Indonesia, bertanggal 27
September, menyatakan buku Bumi Manusia karangan Pramoedya
Ananta Toer dilarang beredar/dibeli/disimpan di lingkungan Dep.
P&K. Yang sudah telanjur memilikinya diminta supaya menyerahkan
buku tersebut kepada yang berwajib.
Pengarangnya, tentu saja bagaikan kena sengat. Apalagi karena
alasan pelarangan yang ditandatangani Sekjen P&K Soetanto
Wirjoprasonto itu menyatakan bahwa setelah ditcliti oleh yang
berwajib, ternyata buku itu mengandung isi "pertentangan kelas"
dan oleh karena itu dianggap merawankan. Disebutkan pula bahwa
Jaksa Agung pun sudah melarangnya.
"Saya benar-benar tersinggung," komentar Pramoedya pada TEMPo.
Ia tampak sangat penasaran. Ia betul-betul tak mengerti dan tak
menyangka buku yang ditulisnya di Pulau Buru yang cetakan
pertamanya sebanyak 10 ribu eks habis terjual dalam tempo tiga
minggu itu, akan diperlakukan seperti itu. "Malangnya," katanya,
"mengapa itu harus terjadi di lembaga keilmuan?"
"Buku yang dilarang adalah hukuman terhadap pengarangnya,"
katanya lagi. "Dan hukuman terhadap seorang pengarang haruslah
melalui pengadilan kalau kita merasa bahwa ini adalah negara
hukum." Tapi lepas dari itu Pram merasa berterima kasih. Sebab,
"dengan demikian saya tahu tingkat kebudayaan larangan itu
sendiri," katanya. Kecuali itu, dengan adanya larangan itu,
"saya akan dikenal secara internasional. Dan dunia internasional
akan menertawakannya."
Pram geleng-geleng kepala. "Itu adalah lelucon . . ., yang hanya
ingin mematikan penghidupan saya," ujarnya. Katanya seorang
produser film sudah ada yang ingin membeli novel itu dan Pram
meminta Rp 20 juta. Sedang dari penerbit buku itu Pram
memperoleh 20% dari harga jualnya. "Kalau memang di sini saya
dianggap sebagai duri," keluhnya, "saya bisa tinggal di luar
negeri . . ."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini