Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Tentang Buku "Buku Manusia"

Pramudya Ananta Tur, tersinggung & merasa penasaran karena karanganya yang berjudul 'bumi manusia' dinyatakan dilarang beredar, dibeli, disimpan di lingkungan p & k, buku tersebut dicetak pertama sebanyak 10 ribu.(pt)

18 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH edaran yang ditujukan pada semua pimpinan, unit utama di lingkungan Dep. P&K, rektor universitas/institut negeri dan semua Kakanwil Dep. P&K di seluruh Indonesia, bertanggal 27 September, menyatakan buku Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer dilarang beredar/dibeli/disimpan di lingkungan Dep. P&K. Yang sudah telanjur memilikinya diminta supaya menyerahkan buku tersebut kepada yang berwajib. Pengarangnya, tentu saja bagaikan kena sengat. Apalagi karena alasan pelarangan yang ditandatangani Sekjen P&K Soetanto Wirjoprasonto itu menyatakan bahwa setelah ditcliti oleh yang berwajib, ternyata buku itu mengandung isi "pertentangan kelas" dan oleh karena itu dianggap merawankan. Disebutkan pula bahwa Jaksa Agung pun sudah melarangnya. "Saya benar-benar tersinggung," komentar Pramoedya pada TEMPo. Ia tampak sangat penasaran. Ia betul-betul tak mengerti dan tak menyangka buku yang ditulisnya di Pulau Buru yang cetakan pertamanya sebanyak 10 ribu eks habis terjual dalam tempo tiga minggu itu, akan diperlakukan seperti itu. "Malangnya," katanya, "mengapa itu harus terjadi di lembaga keilmuan?" "Buku yang dilarang adalah hukuman terhadap pengarangnya," katanya lagi. "Dan hukuman terhadap seorang pengarang haruslah melalui pengadilan kalau kita merasa bahwa ini adalah negara hukum." Tapi lepas dari itu Pram merasa berterima kasih. Sebab, "dengan demikian saya tahu tingkat kebudayaan larangan itu sendiri," katanya. Kecuali itu, dengan adanya larangan itu, "saya akan dikenal secara internasional. Dan dunia internasional akan menertawakannya." Pram geleng-geleng kepala. "Itu adalah lelucon . . ., yang hanya ingin mematikan penghidupan saya," ujarnya. Katanya seorang produser film sudah ada yang ingin membeli novel itu dan Pram meminta Rp 20 juta. Sedang dari penerbit buku itu Pram memperoleh 20% dari harga jualnya. "Kalau memang di sini saya dianggap sebagai duri," keluhnya, "saya bisa tinggal di luar negeri . . ."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus