TERBETIK berita resmi (20 September) darit Bina Graha: Banyak
kredit Bimas jatuh di tangan pejabat. Sekian saja tanpa
mendetil. Berapa? Bagaimana? Di mana? Kenapa? Banyak lagi
pertanyaan yang belum terjawab, tak bisa diketahui umum. Namun
soal kredit Bimas telah menjadi hangat lagi sebagaimana biasa
setiap tahun. Mungkin selali ini, karena suasana Opstib,
sorotan pemerintah akan lebih tajarn terhadap para pejabat yang
menyelewengkan kredit Bimas.
Hal yang sangat dikuatirkan pemerintah nampaknya ialah adanya
musim kering dan hama wereng yang tentunya mengakibatkan
berkurangnya jumlah pengadaan beras dalam negeri untuk dolog.
Dari Karawang, umpamanya, Bulog tahun ini maximum cuma bisa
mengumpulkan 1.200 ton beras, dibanding 20.000 ton tahun 1975
(lihat Dan Karawang pun Bergoyang).
Jika dari dalam negeri kurang terkumpul, Bulog dengan
sendirinya terpaksa meningkatkan jumlah impor bahwa impor beras
akan meningkat, orang sudah bisa menduga. Sekjen Himpunan
Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Mohammad Toha mengatakan impor
itu tahun ini akan naik dari 1,2 juta ton tahun 1976 ke 1,6 juta
ton tahun ini. "Sebab kalau persediaan beras kurang. (itu) bisa
menggoncangkan politik." Toha berkata kepada Yunus Kasim dari
TEMPO. "Maka tidak bisa lain kita harus memelihara stok beras
secukupnya."
Tak Pantas Lagi.
Pihak donor terutama pendapat yang hidup di Congress Amerika
mulai melihat ekonomi Indonesia makin baik, apalagi cadangan
devisanya sudah mencapai titik-aman $ 2,5 milyar. Oleh karena
itu Indonesia dianggap sudah tidak sepantasnya diberi lagi
bantuan pangan, baik berupa grant/seperti dari Australia maupun
pinjanman sangat ringan (seperti PL-480 Amerika). Jumlah impor
pangan dengan bantuan luar negeri itu cukup lumayan besarnya.
Jika bantuan terhenti atau berkurang, pasti devisa yang
seyogianya dipakai untuk program penbangunan akan beralih ke
konsumen sifatnya. Pihak donor memahami ini tapi, sebaliknya
mereka menilai pemerinlah RI akan kurang serius menangani
produksi pangan jika bantuan luar negeri masih berjumlah besar.
Ketidak-sungguhan itu mungkin terbayang dari sikap yang santai
terhadap penyelewengan kredit Bimas selama ini, Kredit Bimas!
betujuan meningkatkan produksi. Jumlahnya membengkak terus,
mencapai R 249,5 milyar tahun 1975, dibanding cuma Rp 20,4
milyar tahun 1968 tunggakannya juga makin besar. Jawa Barat,
misalnya, ditaksir menunggak Rp 15 milyar sampai musim-tanam
(MT) 57/76 yang meningkat lagi mencapai Rp 23 milyar sampai
MT 76/77.
Angka penunggakan Jawa Barat saja sudah mengerikan. Entah
berapa pula pasti lebih menyeramkan -- penunggakan seluruh
Indonesia (setinggi Rp 80 milyar -- $ 192,7 juta menurut catatan
HKTI). Dari berbagai daerah belakangan ini masuk berita tentang
penunggakan itu -- selalu dalam bilangan milyr. Contoh Jawa
Tengah Rp, 20,6 milyar termasuk kabupaten Purbalingga lebih Rp
1 milyar. Di situ musibah persawahan, jika ada sekarang, tidak
begitu besar. Karawang, daerah yang terberat dilanda musibah, Rp
2,7 milyar. Tapi Bandung yang tenang saja pun menunggak
setinggi Rp 2 milyar.
Penunggakan itu selalu dikaitkan dengan bencana alam, hama dan
sebagainya - jarang karena penyelewengan. Setahun yang lalu:
Presiden Soeharto memang pernah memperingatkan supaya
penyelewengan kredit Bimas segera ditindak. Tindakan, jika
ada, belum banyak terdengar sebelum adanya Opstib.
Jika Semberono
Penyelewengan oleh non-petani antara lain bisa terjadi karena
tiap daerah diharuskan memperluas areal. Maka para pejabat
berlomba mencapai target yang, bila perlu, adakalanya dengan
membuat tanah fiktif. Ini berarti, suatu areal Bimas disebut
ada di atas kertas saja. Karena jumlah PPL (Penyuluh Pertanian
Lapangan) terlalu sedikit, pengawasannyu pun tak effektif.
Selain itu bukan sedikit tuan-tanah yang absen. Tuan-tanah yang
di Jakarta menerima kredit Bimas, umpamanya, tapi tak sampai ke
penggarapnya di desa Jawa Barat. Tindak-tanduk para pejabat
desa, katakanlah pungli, antara lain terungkap di Karawang
akhir-akhir ini, juga bisa menghambat pemakaian kredit Bimas
oleh petani.
Pemerintah nampaknya akan melanjutkan kredit Bimas ini, meskipun
penunggakannya tinggi. Kelonggaran akan diberikan pada para
petani yang terkena puso (kerusakan tanaman dan kegagalan
panen), sedikitnya Rp 7,6 milyar tunggakan pun berdasar
keputusan Menteri Keuangan bulan lalu, akan dibebaskan wajlb
bayar kredit Bimas. Tanpa kelonggaran itu, para petani diduga
akan enggan menerima lagi kredit itu. "Mereka takut dan kuatir
hutangnya bertambah banyak," kata Menteri Pertanian Tojib
Hadiwijaya. Persoalan baru ialah apakah bisa dicegah kemungkinan
pungli oleh pejabat dalam menentukan mana puso dan menaksir
berapa prosentasi sawah yang rusak.
Buat sementara pemerintah sendiri belum mengumumkan -- mungkin
pula belum mengetahui pasti - berapa sesungguhnya yang terkena
puso di berbagai daerah sampai MT 76/77. Maka kelanjutan kredit
ini untuk MT 77/78 belum tentu akan dilaksanakan secara teliti
seperti yang diharapkan. Jika semberono memberikan kredit, besar
kemungkinan risik penunggakan akan meninggi terus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini