Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tunggakan Itu Begitu Besar

Tunggakan kredit bimas sangat besar. terjadi tunggakan akibat bencana alam, hama atau diselewengkan pejabat. pemberian kredit dilakukan selektif, hanya untuk petani yang kena puso.

8 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERBETIK berita resmi (20 September) darit Bina Graha: Banyak kredit Bimas jatuh di tangan pejabat. Sekian saja tanpa mendetil. Berapa? Bagaimana? Di mana? Kenapa? Banyak lagi pertanyaan yang belum terjawab, tak bisa diketahui umum. Namun soal kredit Bimas telah menjadi hangat lagi sebagaimana biasa setiap tahun. Mungkin selali ini, karena suasana Opstib, sorotan pemerintah akan lebih tajarn terhadap para pejabat yang menyelewengkan kredit Bimas. Hal yang sangat dikuatirkan pemerintah nampaknya ialah adanya musim kering dan hama wereng yang tentunya mengakibatkan berkurangnya jumlah pengadaan beras dalam negeri untuk dolog. Dari Karawang, umpamanya, Bulog tahun ini maximum cuma bisa mengumpulkan 1.200 ton beras, dibanding 20.000 ton tahun 1975 (lihat Dan Karawang pun Bergoyang). Jika dari dalam negeri kurang terkumpul, Bulog dengan sendirinya terpaksa meningkatkan jumlah impor bahwa impor beras akan meningkat, orang sudah bisa menduga. Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Mohammad Toha mengatakan impor itu tahun ini akan naik dari 1,2 juta ton tahun 1976 ke 1,6 juta ton tahun ini. "Sebab kalau persediaan beras kurang. (itu) bisa menggoncangkan politik." Toha berkata kepada Yunus Kasim dari TEMPO. "Maka tidak bisa lain kita harus memelihara stok beras secukupnya." Tak Pantas Lagi. Pihak donor terutama pendapat yang hidup di Congress Amerika mulai melihat ekonomi Indonesia makin baik, apalagi cadangan devisanya sudah mencapai titik-aman $ 2,5 milyar. Oleh karena itu Indonesia dianggap sudah tidak sepantasnya diberi lagi bantuan pangan, baik berupa grant/seperti dari Australia maupun pinjanman sangat ringan (seperti PL-480 Amerika). Jumlah impor pangan dengan bantuan luar negeri itu cukup lumayan besarnya. Jika bantuan terhenti atau berkurang, pasti devisa yang seyogianya dipakai untuk program penbangunan akan beralih ke konsumen sifatnya. Pihak donor memahami ini tapi, sebaliknya mereka menilai pemerinlah RI akan kurang serius menangani produksi pangan jika bantuan luar negeri masih berjumlah besar. Ketidak-sungguhan itu mungkin terbayang dari sikap yang santai terhadap penyelewengan kredit Bimas selama ini, Kredit Bimas! betujuan meningkatkan produksi. Jumlahnya membengkak terus, mencapai R 249,5 milyar tahun 1975, dibanding cuma Rp 20,4 milyar tahun 1968 tunggakannya juga makin besar. Jawa Barat, misalnya, ditaksir menunggak Rp 15 milyar sampai musim-tanam (MT) 57/76 yang meningkat lagi mencapai Rp 23 milyar sampai MT 76/77. Angka penunggakan Jawa Barat saja sudah mengerikan. Entah berapa pula pasti lebih menyeramkan -- penunggakan seluruh Indonesia (setinggi Rp 80 milyar -- $ 192,7 juta menurut catatan HKTI). Dari berbagai daerah belakangan ini masuk berita tentang penunggakan itu -- selalu dalam bilangan milyr. Contoh Jawa Tengah Rp, 20,6 milyar termasuk kabupaten Purbalingga lebih Rp 1 milyar. Di situ musibah persawahan, jika ada sekarang, tidak begitu besar. Karawang, daerah yang terberat dilanda musibah, Rp 2,7 milyar. Tapi Bandung yang tenang saja pun menunggak setinggi Rp 2 milyar. Penunggakan itu selalu dikaitkan dengan bencana alam, hama dan sebagainya - jarang karena penyelewengan. Setahun yang lalu: Presiden Soeharto memang pernah memperingatkan supaya penyelewengan kredit Bimas segera ditindak. Tindakan, jika ada, belum banyak terdengar sebelum adanya Opstib. Jika Semberono Penyelewengan oleh non-petani antara lain bisa terjadi karena tiap daerah diharuskan memperluas areal. Maka para pejabat berlomba mencapai target yang, bila perlu, adakalanya dengan membuat tanah fiktif. Ini berarti, suatu areal Bimas disebut ada di atas kertas saja. Karena jumlah PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) terlalu sedikit, pengawasannyu pun tak effektif. Selain itu bukan sedikit tuan-tanah yang absen. Tuan-tanah yang di Jakarta menerima kredit Bimas, umpamanya, tapi tak sampai ke penggarapnya di desa Jawa Barat. Tindak-tanduk para pejabat desa, katakanlah pungli, antara lain terungkap di Karawang akhir-akhir ini, juga bisa menghambat pemakaian kredit Bimas oleh petani. Pemerintah nampaknya akan melanjutkan kredit Bimas ini, meskipun penunggakannya tinggi. Kelonggaran akan diberikan pada para petani yang terkena puso (kerusakan tanaman dan kegagalan panen), sedikitnya Rp 7,6 milyar tunggakan pun berdasar keputusan Menteri Keuangan bulan lalu, akan dibebaskan wajlb bayar kredit Bimas. Tanpa kelonggaran itu, para petani diduga akan enggan menerima lagi kredit itu. "Mereka takut dan kuatir hutangnya bertambah banyak," kata Menteri Pertanian Tojib Hadiwijaya. Persoalan baru ialah apakah bisa dicegah kemungkinan pungli oleh pejabat dalam menentukan mana puso dan menaksir berapa prosentasi sawah yang rusak. Buat sementara pemerintah sendiri belum mengumumkan -- mungkin pula belum mengetahui pasti - berapa sesungguhnya yang terkena puso di berbagai daerah sampai MT 76/77. Maka kelanjutan kredit ini untuk MT 77/78 belum tentu akan dilaksanakan secara teliti seperti yang diharapkan. Jika semberono memberikan kredit, besar kemungkinan risik penunggakan akan meninggi terus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus