Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Ada yang Mau Mendelegitimasi Kami

Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna:

6 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIDANG perselisihan hasil pemilihan presiden, 14-27 Juni lalu, menyedot perhatian masyarakat Indonesia. Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, lewat tim kuasa hukum sebagai pemohon, menggugat Komisi Pemilihan Umum, yang memenangkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam pemilihan presiden 2019. Mereka menyatakan sang inkumben melakukan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Prabowo-Sandiaga juga yakin memenangi pemilihan dengan perolehan suara 52 persen.

KPU sebagai termohon dan tim hukum Jokowi-Ma’ruf sebagai pihak terkait membantah dan menyebut dalil itu hanya asumsi. Detik per detik persidangan disaksikan publik secara langsung lewat televisi dan streaming. Hasilnya, Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan Prabowo-Sandiaga. Lewat putusan setebal 1.944 halaman, sembilan hakim konstitusi bulat menyatakan kubu Prabowo-Sandiaga gagal membuktikan dalil permohonannya. “Tidak ada alasan dissenting opinion (perbedaan pendapat di antara hakim),” kata hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna dalam wawancara khusus dengan Tempo.

Rangkaian persidangan tersebut menguras energi hakim. Enam kali sidang berlangsung seharian. Di luar sidang, para hakim terus memblejeti materi permohonan dan membahasnya dalam rapat dengan bantuan sepuluh panitera. “Satu hal yang saya syukuri, tidak ada dari kami yang sakit,” ujar Palguna, 51 tahun.

Seusai sidang terakhir, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dan rekan-rekannya punya waktu sepekan untuk mengambil napas sebelum berkutat dengan sidang seng-keta hasil pemilihan legislatif mulai Selasa, 9 Juli ini. Sebagian hakim pulang kampung, termasuk Palguna. Di sela waktu rehatnya, juru bicara hakim konstitusi itu menerima wartawan Tempo, Reza Maulana, di kediamannya di Gianyar, Bali. Sepanjang satu setengah jam Palguna bercerita tentang hal-hal yang tidak terlihat dalam tayangan sidang di televisi, perbandingan Mahkamah Konstitusi masa awal dan sekarang, sampai hubungannya dengan Presiden Joko Widodo.

Mengapa hakim konstitusi sampai bersuara bulat dalam putusan Mahkamah Konstitusi soal perselisihan hasil pemilihan presiden?

Tidak ada alasan untuk dissenting opini­on. Kami melihat fakta. Fakta itu sifatnya pasti, bukan berdasarkan penafsiran seperti dalam pengujian undang-undang. Dari dalil permohonan, kami melihat buktinya. Tidak cocok. Bagaimana mau dissenting opinion?

Bagaimana proses pengambilan putusan dalam sidang tersebut?

Sebelum sidang, setiap hakim melihat perkara. Kami mengkonstruksikan permohonan dengan melihat dalil, argumentasi, dan alat buktinya. Karena konstruksi itu, kami bisa mengajukan pertanyaan secara sistematis saat sidang. Seusai sidang kelima, Jumat, 21 Juni, petang harinya, kami menggelar rapat permusyawaratan hakim, berlanjut Sabtu dan Minggu. Ini untuk menyusun putusan. Dalam rapat itu hakim bergantian menyampaikan pendapat hukum masing-masing, brainstorming, berdiskusi. Kalau ada yang dissenting, biasanya dari awal curah pendapat sudah kelihatan.

Ada yang berbeda pendapat?

Dalam ingatan saya, sejak awal tidak ada yang menyetujui permohonan. Sepanjang menyangkut substansi permohonan, tidak ada perbedaan pendapat. Kami membahas dalil satu per satu. Kami melihat risalah sidang, bukti-bukti yang disodorkan untuk mendukung dalil, dan konstruksi dalil pemohon. Ini relatif lebih mudah untuk membuat putusan. Hampir semua dalil tidak perlu waktu lama untuk membahasnya.

Contohnya?

Dalil yang mempertanyakan kejom­plangan perbandingan suara pemilihan presiden dan Dewan Perwakilan Daerah, yang dibahas oleh ahli yang pemohon ajukan. Mereka mengambil hitungan berdasarkan formulir C1 dan meyakini formulir itu bisa diubah-ubah. Buktinya mereka ambil dari data sistem penghitungan KPU. Hakim bertanya mengapa membandingkan presiden dengan DPD, bukan Dewan Perwakilan Rakyat? Mereka beralasan tidak menemukan data suara DPR. Aneh. Sebab, sumber yang sama mencantumkan data suara pemilihan anggota DPR. Kami kompak bilang di rapat, “Wah, enggak masuk akal nih.”

Artinya, rapat permusyawaratan hakim berjalan tanpa perdebatan?

Tidak juga. Kami memakan banyak waktu untuk perdebatan membahas dalil-dalil kualitatif. Misalnya pemohon menyatakan Mahkamah Konstitusi jangan hanya melakukan kerja teknis soal hitung-hitungan suara, tapi juga mengadili konstitusionalitas pemilu. Pasal 22 huruf e ayat 1 Undang-Undang Dasar menyatakan pemilu harus dilaksanakan dengan jujur dan adil. Kalau asas ini tidak terpenuhi, sementara pemilu adalah sarana untuk memilih pemimpin dalam rangka menegakkan demokrasi, berarti bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan demokrasi. Begitu kira-kira konstruksi yang dibangun pemohon. Kami butuh beberapa jam hanya untuk membahas poin itu.

Hasilnya?

Sempat terjadi dissenting dalam pembahasan dalil itu. Akhirnya kami menyepa­kati bahwa argumentasi seperti itu tergolong argumentasi pengujian undang-undang. Tidak cocok digabungkan dengan argumentasi sengketa hasil pemilihan presiden. Kami sepakat menjawab semua dalil yang diajukan meski tidak langsung berkaitan dengan hasil pemilihan presiden. Supaya tidak menjadi masalah. Persoalan bagaimana para pihak menerima jawaban, itu soal lain.

Pemohon menganggap batas waktu 14 hari kerja terlalu singkat untuk membuktikan dugaan kecurangan….

Itu relatif. Dalam pemahaman saya, pemohon menganggap waktu itu terlalu singkat karena mereka ingin Mahkamah tidak hanya menangani sengketa hasil, tapi seluruh proses pemilihan presiden. Untuk sengketa hasil, 14 hari cukup.

Mengapa Mahkamah membatasi saksi 15 orang?

Kalau pemohon menghadirkan ­puluhan saksi tapi memberikan keterangan sama, buat apa? Maka kami serahkan kepada pemohon untuk memilih saksi yang paling relevan. Menurut kami, 15 saksi sudah cukup untuk dikaitkan dengan dalil pemohon. Jika tidak kami batasi, melanggar desain persidangan sengketa hasil pemilu yang merupakan speedy trial, peradilan cepat. Pertimbangan kedua, para saksi sebenarnya untuk menunjuk poin perselisihan suara saja.

Ahli juga dibatasi?

Sesungguhnya keterangan ahli tidak terlalu dibutuhkan dalam sengketa hasil pemilu. Ahli sangat dibutuhkan dalam permohonan pengujian undang-undang. Dalam kasus ini, apa yang mau mereka terangkan?

Sidang ketiga, 19 Juni, berlangsung sampai subuh. Kok bisa?

Ha-ha-ha…. Ya. Itu kesempatan pemohon untuk membuktikan dalilnya. Kalau itu molor, besok akan memotong waktu termohon. Andaikata termohon meng­ajukan saksi sepanjang pemohon, ya harus kami lakukan hal yang sama. Untungnya tidak, ha-ha-ha….

Mengapa Anda mencecar saksi yang mengaku terancam?

Bagi saya, itu penting untuk diberi pe­negasan. Seolah-olah ada orang terancam karena memberikan keterangan di Mahkamah Konstitusi. Kesannya bersidang di Mahkamah Konstitusi menakutkan. Itu tidak bagus. Sejak Mahkamah berdiri pada 2003, belum pernah ada orang yang merasa terancam ketika memberi keterangan. Mereka menginginkan pendampingan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, tapi kami tidak melihat relevansinya. LPSK itu untuk perkara pidana. Kalau Mahkamah menganggap betul ada ancaman yang nyata, kami yang meminta pengawalan polisi. Kami pernah melakukannya dalam suatu sengketa pemilihan kepala daerah 2015.

Ada kabar saksi diperlakukan bak ­tahanan yang terisolasi selama di ­Mahkamah….

Terisolasi, memang, ya. Tapi tidak seperti tahanan. Dikatakan mirip tahanan karena tidak boleh bawa telepon seluler. Jangankan saksi, karyawan kami juga tidak boleh bawa ponsel saat di ruang sidang atau menangani perkara. Nanti baru dikembalikan saat selesai jam kantor. Begitu standarnya. Di ruang tunggu itu pula banyak menteri menunggu saat sengketa undang-undang. Cuma, kemarin terasa berbeda karena menunggu lama dan banyak orang. Kami serba salah. Ada saja yang dikritik.

Mengapa putusan tidak setebal putusan sengketa hasil pemilihan presiden 2014, yang mencapai lebih dari 5.000 halaman, padahal petitum kali ini lebih banyak?

Dalam putusan 2014 itu lebih banyak lampiran, isinya tabel suara. Pertimbang­an hukum lebih banyak yang sekarang dan tidak ada tabel.

Hakim sengaja tidak memberikan lampiran?

Karena memang pemohon tidak menyer­takan tabel. Masak, kami yang membikin tabel, he-he-he….

Hamdan Zoelva, Ketua Mahkamah saat pemilihan presiden 2014, menganggap persidangan itu sebagai yang terberat. Para hakim sekarang merasakan beban serupa?

Yang sekarang juga seperti itu. Masyarakat kita seperti terbelah antar-pendukung calon presiden. Itu memberi dorongan kepada kami agar semua dalil permohonan terjawab dengan jelas dan fakta-fakta persidangan harus terlihat betul secara obyektif serta mudah diakses masyarakat. Selain siaran televisi, beberapa hari sebelum sidang, kami bikin aplikasi sehingga sidang bisa diikuti lewat YouTube. Kami ingin sidang berjalan obyektif dan transparan, terutama ketika independensi, imparsialitas, dan integritas kami dipertaruhkan. Sebab, sejak awal ada orang-orang yang mau mendelegitimasi kami, seperti yang juga dilakukan terhadap KPU. Kami tidak boleh terpancing.

Apa dasar Mahkamah memajang An-Nisa 135 (yang berisi seruan agar manusia menegakkan keadilan) di depan ruang sidang?

Ayat itu dipasang menjelang Ramadan. Kami masih dalam suasana Syawal saat masuk persidangan. Belum sempat dicabut. Saya juga ndak mengerti materialnya apa sehingga seperti permanen.

Bukan dipasang untuk sidang sengketa pemilihan presiden?

Tidak. Ruang belakang itu dipakai karyawan untuk buka puasa dan tarawih. Pemohon membaca sambil melihat tulisan itu. Jadi pas, ha-ha-ha…. Kronologinya seperti itu. Jangan ada tafsir macam-macam.

Pernah mendapat ancaman selama persidangan lalu?

Tidak. Saya sempat ingin ganti nomor ponsel sebagai antisipasi. Tapi ternyata tidak ada apa-apa. Teman-teman juga tidak mendapat ancaman. Banyak surat masuk yang berisi harapan memutuskan ini atau itu. Buat saya, itu baik-baik saja.

Walaupun isinya hujatan?

Sepahit-pahitnya suara yang masuk, itu lebih baik daripada diapatiskan.

Tekanan massa pendukung calon presiden membebani hakim?

Kebetulan saya termasuk hakim konstitusi pertama. Saya teringat kata-kata senior saya, Doktor Maruarar Siahaan, bahwa kita jangan pernah takut memutus suatu perkara sepanjang kita tulus. Itulah yang kami pegang. Seberat apa pun, kalau kita tidak ada kepentingan apa-apa, bisa memutus dengan tulus. Hakim konstitusi harus melepas semua kepentingan dan hanya tunduk pada Undang-Undang Dasar. Kalau tidak, terjadilah kasus yang pernah mencoreng Mahkamah Konstitusi itu.

I Dewa Gede Palguna saat sidang perdana perselisihan hasil pemilihan presiden di Jakarta, Juni 2019. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Suap Akil Mochtar dan Patrialis Akbar?

Itulah. Ndak perlu saya sebut lagi. (Tersenyum)

Anda kembali bertugas saat Mahkamah Konstitusi terpuruk akibat kasus Akil Mochtar. Sejauh mana perbaikan citranya sekarang?

Kalau saya yang menilai, subyektif. Tapi, menurut survei, tingkat kepercayaan masyarakat kepada Mahkamah Konstitusi berada di 75 persen. Nomor tiga di bawah Komisi Pemberantasan Korupsi dan polisi. Tapi, dibanding saat anjlok itu, sudah naik. Kami tidak boleh berpuas diri. Kami harus meningkatkan kualitas putusan, baik kon­ten maupun proses.

Banyak pakar hukum tata negara menilai mutu putusan masa awal Mahkamah lebih berbobot. Sebagai hakim yang juga bertugas pada periode 2003-2008, Anda sependapat?

Ya dan tidak. Baik-buruknya pertimbang­an hukum dalam putusan sebagian besar ditentukan oleh permohonan. Dulu siapa yang menyangka Undang-Undang Ketenagalistrikan dimohonkan pengujian, langsung dikaitkan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar, dan akhirnya seluruhnya dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Ini kan sangat fundamental.

Sedangkan sekarang Mahkamah lebih banyak berkutat pada kasus sengketa pemilihan kepala daerah....

Ya. Argumentasi apa lagi yang kami tunjukkan. Di samping ada juga persoalan style. Tidak setiap orang bisa menulis yang “enak dibaca dan perlu”, ha-ha-ha…. Andaikan, ini belum pernah terjadi, dua hakim ditugasi membuat putusan atas kasus yang sama, narasinya bisa berbeda. Di dunia sastra, ada kritik menulis cerita pendek seperti undang-undang. Bahasanya kering. Kami ingin sebaliknya, membuat putusan hukum seperti novel. Itu tantangannya.

Bagaimana Anda bisa terpilih menjadi hakim konstitusi lewat jalur presiden?

Masa kerja pertama, 2003-2008, saya dipilih lewat jalur DPR. Saat itu saya anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat utusan daerah. Sebenarnya kami mengusulkan Pak Harjono, yang sekarang memimpin Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum. Eh, di hari terakhir, Pak Harjono diusulkan sebagai calon hakim konstitusi pilihan Presiden Megawati. Jadi kurang satu calon dari DPR. Saya terpilih bersama Pak Jimly Asshiddiqie dan Pak Achmad ­Roestandi. Setelah tugas berakhir pada 2008, saya memilih meneruskan studi doktoral di Universitas Indonesia. Pada hari raya Galungan 2015, saya sedang bersembahyang di pura keluarga di Bangli. Ada telepon dari Sekretariat Negara. Yang menelepon namanya Cecep. Saya enggak kenal, bahkan enggak tahu nama panjangnya. Dia meminta saya ikut seleksi hakim konstitusi.

Menggantikan Hamdan Zoelva?

Ya. Masa tugas beliau selesai dan tidak mau ikut seleksi lagi. Saya ikuti. Dua pekan kemudian, saat sedang menguji tesis, ada pesan pendek dari Pak Pratikno, Menteri Sekretaris Negara, minta izin menelepon. Saya menelepon balik. Saat itu saya lupa ikut seleksi. Saya pikir Pak Menteri ingin berkunjung ke Udayana. Ternyata dia ­mengabarkan sepuluh menit lalu Pak Presiden memutuskan memilih saya sebagai hakim konstitusi.

Sebelumnya kenal dengan Presiden Jokowi?

Ndak. Pak Pratikno pun saya tidak kenal. Saya tidak tahu alasan dia memilih saya. Pertama kali ketemu saat pelantikan.

Bicara apa saja saat pelantikan?

Presiden menanyakan pandangan saya soal hakim konstitusi. Saya bilang, begitu jadi hakim, sudah tidak ada lagi sumber jalur DPR, Presiden, Mahkamah Agung. Cuma ada hakim konstitusi. Saya cuma tunduk pada konstitusi, bukan kepada pihak lain, termasuk Pak Presiden.

Apa reaksi Presiden?

Dia jawab, “Itu yang saya mau,” sambil ketawa, he-he-he….

Perolehan suara Jokowi di Bali mencapai 90 persen dalam pemilihan presiden lalu. Anda termasuk suara mayoritas?

Ah, saya ndak bisa bicara itu. Soal pilihan tetap rahasia.

Bagaimana cerita Anda bermain film Noesa Penida pada 1988?

Itu cuma figuran. Waktu itu saya masih calon pegawai negeri sipil sebagai dosen. Sutradaranya, Pak Galeb Husein, bikin film di Bali dan cari orang lokal lewat kelompok teater Sanggar Putih. Kami dulu rutin berpentas teater. Ndak tau bagaimana, saya yang masuk. Jadi teman Ray Sahetapy dan Gusti Randa.

Diikuti Beyond the Ocean karya Ben Gazzara asal Italia pada 1990….

Di situ saya tukang bantu-bantu. Saya diminta stand by jadi figuran sebagai tukang pompa bensin, tapi ndak jadi masuk.

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman juga pernah bermain film dan teater. Apa hubungan hakim konstitusi dan akting?

Ha-ha-ha…. Ilmu teater dipakai. Di teater, dilatih suara perut. Saat mengucapkan putusan dan sedang flu, pakai suara perut, sehingga tidak kedengaran sedang sakit. Intonasi terjaga. Pemain teater juga dilatih cepat menangkap persoalan saat proses interpretasi naskah. Sama ketika hakim menerima suatu perkara. Lebih cepat paham menangkap maksudnya. Itulah kalau mau dihubung-hubungkan, ha-ha-ha….

 


 

I Dewa Gede Palguna

Tempat dan tanggal lahir: Bangli, Bali, 24 Desember 1961

Pendidikan: Sekolah Menengah Atas 1 Saraswati, Denpasar (1981), Sarjana Hukum Universitas Udayana (1987), Master Hukum Universitas Padjadjaran (1994) Doktor Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (2011)

Pekerjaan: Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana (1987-sekarang), Anggota MPR (1999-2004), Hakim Mahkamah Konstitusi (2003-2008 dan 2015-2020)

Penghargaan: Bintang Mahaputra Utama (2009)

Publikasi, di antaranya: Pengaduan Konstitusional (2013), Mahkamah Konstitusi (2008), Saya Sungguh Mencemaskan Bali (2008).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus