Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Belajar Bahasa Belanda

MAWAR Eva de Jongh, 17 tahun, harus belajar bahasa Belanda untuk memerankan Annelies Mellema dalam Bumi Manusia, film yang diadaptasi dari novel dengan judul sama karya Pramoedya Ananta Toer.

6 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Annelies adalah putri pria asal Belanda, Herman Mellema, dengan perempuan asli Indonesia, Nyai Ontosoroh. Karena itu, dalam beberapa adegan film yang akan tayang pada 15 Agustus nanti tersebut, Mawar diharuskan menggunakan bahasa Belanda.

Lahir di Harleem, Belanda, dari ayah orang Belanda, Mawar ternyata tidak menguasai bahasa negeri kelahirannya. Sejak kecil, ia menggunakan bahasa Indonesia karena ibunya orang Batak. “Aku Indo tapi enggak bisa bahasa Belanda,” ujar Mawar di sela peluncuran trailer film Bumi Manusia di Jakarta Selatan, Kamis, 4 Juli lalu.

Mawar menuturkan, orang tuanya tidak mengajarkan bahasa Belanda kepadanya karena saat ia berusia tiga tahun keluarganya pindah ke Indonesia. “Pas dibawa ke sini, aku memang baru bisa ngomong,” kata Miss Celebrity Indonesia—ajang pencarian bakat di salah satu stasiun televisi swasta—2015 itu.

Agar lancar berbahasa Belanda, tiga bulan sebelum pengambilan gambar, Mawar bersama pemeran lain belajar bahasa Belanda kepada seorang guru yang disiapkan tim produksi. “Benar-benar dimatengin supaya enggak gugup pas syuting,” tuturnya.


 

Abimana Aryasatya. TEMPO/Nurdiansah

 

Langsung Robek

UNTUK memerankan pahlawan super Gundala dalam film garapan sutradara Joko Anwar, Gundala: Negeri Ini Butuh Patriot, Abimana Aryasatya mesti mengenakan kostum yang ngepas badan. Saking ketatnya, kostum yang dia kenakan robek saat ia beradegan kelahi. “Saat take hari pertama, langsung robek,” ujar Abimana di Jakarta, Sabtu, 15 Juni lalu.

Abimana, 36 tahun, mengaku tidak ingat sudah berapa kali kostumnya robek saat adu fisik dengan lawan mainnya. “Enggak terhitung, tapi itu normal karena adegannya berantem,” kata aktor yang terkenal lewat perannya dalam sinetron Lupus pada 1990-an itu.

Kostum Gundala juga membuatnya sulit bergerak dan bernapas. Ia pun mesti bermandi keringat karena syuting film yang bakal tayang mulai 29 Agustus 2019 itu tidak dilakukan di dalam studio yang berpenyejuk udara. “Gue pernah sampai mesti memakai bantuan oksigen di salah satu lokasi karena panas banget,” ucapnya.

Menurut dia, kostum Gundala dibikin oleh pembuat kostum film Watchmen dan serial televisi Daredevil yang bermarkas di Los Angeles, Amerika Serikat. Abimana pun sampai harus terbang ke Negeri Abang Sam untuk menjalani proses molding agar kostum itu sesuai dengan bentuk dan ukuran tubuhnya. “Seluruh badan di-scan,” katanya.

 


 

Irwan Prayitno. TEMPO/Gunawan Wicaksono

 

Nama Bersejarah

SEBELUM menjadi Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno kerap disebut sebagai orang Jawa. Padahal pria 55 tahun itu asli Minang. Ada sejarah di balik pemberian nama tersebut oleh kedua orang tua Irwan, yang berasal dari Kota Padang.

Irwan mengungkapkan, ia lahir di Yogyakarta ketika kedua orang tuanya tengah menempuh studi di sana. Sebagai kenang-kenangan karena suatu saat pasti akan kembali ke Padang, nama Prayitno mereka berikan sebagai nama belakang Irwan. “Prayitno adalah nama yang memang khas Jawa. Tidak seperti nama orang Padang, yang huruf belakangnya ‘o’, misalnya Pinto,” ujar Irwan di gedung kantor Tempo, Rabu, 26 Juni lalu.

Nama itu pula yang menghambat langkah Irwan saat bertarung dalam pemilihan Gubernur Sumatera Barat 2005. Saat itu santer beredar isu bahwa Irwan orang Jawa. Isu itu dikuatkan dengan fakta bahwa Irwan lahir di Yogyakarta. Apalagi kala itu ia belum menguasai bahasa Minang. “Kalaupun dipaksa, malah medok Jawa,” kata pria yang pernah tinggal di Cirebon, Jawa Barat, sebelum kembali ke Padang itu.

Beruntung, dengan lebih kerap tampil di hadapan publik selama kampanye, ia makin dikenal oleh masyarakat Sumatera Barat. Isu bahwa Irwan orang Jawa pun tidak lagi laku saat ia maju dalam pemilihan gubernur pada 2010 dan 2015. “Apalagi saya sudah dikasih gelar ‘datuk’, gelar dalam adat keluarga Minang,” tuturnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus