Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

I La Galigo, Setelah 15 Tahun

I La Galigo yang disutradarai Robert Wilson dipentaskan kembali di Ciputra Artpreneur. Posisi bissu, pendeta Bugis kuno, akibat wafatnya Puang Matoa Saidi, diisi seorang aktor.

6 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BISSU, pendeta agama Bugis kuno itu memasuki panggung. Ia mengenakan pakaian upa-cara berwarna kuning de--ngan penutup kepala ber-ben-tuk seperti tanduk. Ia menyilakan para pe-musik duduk bersila di pojok kanan bela-kang panggung. Adegan awal dimulai. Sejumlah orang  membawa barang melintas dengan langkah lambat. Sebuah adegan prolog yang memetaforakan pengisian dunia tengah—bumi yang tadinya kosong.

Sang bissu kemudian melantunkan doa Passalamakeng, doa keselamatan bagi umat manusia. Ia menggunakan bahasa To ri Langi, bahasa dewata, bahasa litur-gis upacara agama Bugis kuno. Man-tra terdengar seperti rangkaian kali-mat bernada. Penonton tidak menge-ta-hui bahwa sebetulnya mantra itu dilan-tunkan seorang pemusik. Bissu tersebut ha-nya berkomat-kamit berpura-pura men-daras. Bissu itu bukan bissu  asli, melain-kan diperankan aktor.

Posisi bissu penting dalam pentas I La Galigo yang disutradarai Robert Wilson. Duduk bersila selama lebih dari dua jam tanpa bergerak, ia mengawal per-tun-jukan sejak awal sampai akhir. Dia yang memberikan mantra pembuka dan penutup. Dia pula yang melantunkan man-tra dalam adegan-adegan penting. Di antaranya adegan Batara Guru tu-run menjadi manusia pertama di bumi; perkawinan Batara Guru de-ngan We Nyiliq Timoq; Sawerigading yang mencintai saudara kembarnya, We Tenribeng; dan perkawinan Saweri-ga-ding dengan We Cudaiq di negeri Cina yang membuahkan seorang putra bernama I La Galigo.

Struktur dan materi pentas I La Galigo di Ciputra Artpreneur, Jakarta, sama dengan pertunjukan awal I La Galigo di Esplanade, Singapura, Maret 2004. Hanya, durasi dipampatkan dari 3 jam menjadi sekitar 2 jam 15 menit. Dan beberapa pemain utama diganti, terma-suk Puang Matoa Saidi, pendeta bissu yang wafat pada Juni 2011. Di Singapura, pada 2004, pentas perdana digelar se-telah Robert Wilson selama tiga tahun bolak-balik mengunjungi  Sulawesi. Pada 2003, audisi aktor dilakukan di Bali.

Masih hangat dalam ingatan bagaima-na Wilson, yang memiliki latar belakang ar-sitek, mencatat semua ekspresi pe-serta audisi dari berbagai wilayah Nu-santara dengan cara menggambar di ker-tas. Di Singapura, pentas diawali de--ngan sebuah tirai bergambar aksara Bugis kuno menutupi panggung yang ke-mudian berangsur-angsur terangkat ke atas ketika musik mulai terdengar. Bissu Puang Matoa Saidi, yang  baru pertama kali ikut dalam suatu pertunjukan seni dan pergi ke luar negeri, terlihat bersila damai, tenang, mengalunkan pujian kepada batari dan batara.

Kematian Bissu Puang Matoa Saidi meru-pakan kehilangan besar. Bissu Saidi terlibat dalam pementasan dari Singa-pura, New York, Amsterdam, Barce-lona, Paris, hingga Italia. “Saat beliau wafat, kami merasa produksi I La Galigo sudah selesai,” kata Restu Iman Sari, produser. Ternyata tidak. Oktober tahun lalu, I La Galigo dipentaskan ulang di Nusa Dua, Bali, dengan banyak pemain baru, termasuk pemeran Batara Guru yang sebelumnya diperankan penari ter-kenal, I Ketut Rina. Restu mula-mula ke Sulawesi berusaha mencari bissu baru. “Tapi kami tidak bisa menemukan bissu yang cocok sebagai pengganti Bissu Saidi,” tutur Rhoda Grauer, dramaturg per-tunjukan. 

Yang kemudian menjadi bissu adalah Hamdan Maturrada, 23 tahun. Dia maha-siswa sendratasik Universitas Nege-ri Makassar. Dalam audisi di Bali, ia diang-gap Restu memiliki bentuk muka dan postur tubuh mirip Bissu Saidi. “Jujur, saat tes saya sama sekali tidak tahu soal I La Galigo. Saya asal Kabupaten Bantaeng. Di Bantaeng tidak ada bissu. Bissu hanya ada di Kabupaten Pangkep, Wajo, dan Boru,” ucapnya.

Hamdan mengatakan, untuk meng-gantikan Bissu Saidi, ia harus meminta izin kepada Puang Matoa Pajja, pemimpin bissu saat ini yang menggantikan Puang Matoa Saidi. Puang Matoa Pajja me-min-tanya menjalani beberapa ritual. “Saya mengunjungi Arajange, rumah kebe-sar-an bissu. Saya berdoa supaya saat memerankan bissu  dijauhkan dari segala marabahaya.” Hamdan juga berziarah ke makam Bissu Saidi di Pangkep. “Saya minta izin kepada beliau,” ujarnya. Ham-dan mengaku, sejak melakukan ziarah kubur itu, ia sering bermimpi tentang Saidi. 

Dalam pertunjukan, bahkan dia me-rasa Saidi duduk di sampingnya. “Keha-diran beliau kuat sekali. Terasa ada angin segar berembus terus di punggung saya sehingga saya sama sekali tak lelah bersila tanpa gerak selama kurang-lebih dua jam dengan mata berfokus ke satu titik,” katanya. Hamdan tak melafalkan mantra, tapi menghafalkan teks agar ucapan di bibirnya bisa tepat dengan suara yang dilantunkan pemusik. “Pe-musik yang merapal mantra memang keturunan pembaca Sureq I La Galigo di Wajo.” Digantinya pembaca mantra I La Galigo dari bissu asli menjadi aktor dan pemusik, menurut Rhoda Grauer, tidak ditentang para bissu di Sulawesi. “Ini seperti  banyak kalimat dari Injil diucapkan seorang aktor di panggung teater,” tuturnya.

Ciputra Artpreneur menganggap pen-tas I La Galigo sebagai sebuah alternatif se-telah selama ini dikenal sering menampilkan  pentas Broadway seperti Shrek, Annie, dan Sound of Music. “Saya   menonton I La Galigo di Bali. Ketuk palunya dengan Restu di sana,” ucap Rina Ciputra, menceritakan awal kerja samanya dengan  Bali Purnati yang di--pimpin Restu Iman Sari. Menurut Rina, strategi pemasaran pementasan I La Galigo lebih sulit dibanding pertunjukan Broadway. “I La Galigo tidak dikenal masyarakat, sementara pentas Broadway sudah sangat populer,” ujar Rina. 

Betapapun demikian, Rina menam-bahkan, biaya pentas I La Galigo jauh lebih murah daripada ongkos meng-un-dang teater Broadway. Di samping stan-dar honor aktor yang sama dengan per-tun-jukan di New York atau London, pe-men-tasan Broadway membutuhkan bia-ya tak terduga. “Saya, misalnya, harus mem-bayar biaya izin kerja bagi para aktor dan kru Broadway yang datang. Sema-cam visa kerja. Satu orang biayanya Rp 6,5 juta. Bayangkan bila ada 80 pe-main, itu sudah Rp 500 juta sendiri. Padahal biaya semacam itu tidak ada di Singapura atau Malaysia,” tuturnya.

“Sedangkan aktor I La Galigo orang Indo-nesia semua. Kostum dan properti I La Galigo sudah ada di sini. Bayangin, untuk pementasan Beauty and the Beast, properti dan kostum bisa dua kon-tainer besar. Itu mahal sekali,” Rina me-lanjutkan. Saat ini semua kostum I La Galigo disimpan Restu di Bali dan Jakarta. “Tatkala I La Galigo dipentaskan di New York dan keliling Eropa, semua kos-tum dan properti disimpan di Milan, Italia, di storage Change Performing Arts, yang menjadi mitra kami,” kata Restu. Menurut Restu, bahkan ketika I La Galigo  naik pentas di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Desember 2005; dan di Benteng Rotterdam, Makassar, pada 2011, kostum juga harus dikembalikan ke Milan.

Pementasan teater I La Galigo yang merupakan adaptasi dari sastra klasik Sulawesi Selatan, tentang mitos penciptaan suku Bugis di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta 3 Juli 2019. TEMPO/Nurdiansah

I La Galigo, yang memiliki 300 ribu larik, disebut sebagai epos terpanjang di dunia, melebihi  Mahabarata atau-pun Gilgamesh. Robert Wilson meng-am-bil  episode yang paling populer di masyarakat, yaitu kisah larangan perka-winan inses antara Sawerigading dan We Tenriabeng. Bagi banyak antropolog, larangan inses adalah dasar tumbuhnya peradaban.  Wilson sangat paham me--nge-nai hal ini. Wilson, misalnya, baru saja me-mentaskan Oedipus di teater kuno Epidaurus, Yunani, 21 Juni lalu, setelah di reruntuhan Pompeii. Oedipus, karya dra-mawan Yunani Kuno, Sophocles, ber-kisah mengenai Oedipus yang menga-wini ibunya sendiri, Jocasta, Ratu The-bes, yang menyebabkan Thebes runtuh.

Wilson sama sekali tak mengadaptasi I La Galigo. Semua adegan dikenal ma-sya-rakat, dari turunnya Batara Guru, pene-bangan pohon hayat Welenreng, sampai perjalanan Sawerigading menuju Cina untuk meminang We Cudaiq (dalam seminar internasional tentang I La Galigo di Singapura pada 2004 yang dihadiri para peneliti I La Galigo, seperti Christian Pelras, Roger Tol, Sirtjo Koolhof, dan Gilbert Harmonic, ditafsirkan bahwa Cina yang dimaksud bukan Cina seka-rang, melainkan salah satu pulau di per-airan Sulawesi).

Adegan-adegan tari yang ditata Andi Ummu Tunru (almarhum) mengambil kha-zanah tari dan upacara Sulawesi, se-perti tari pakarena; tari pajoge dari Bone; padekko, permainan tradisional menumbuk beras; ma lepa-lepa, per-main-an kapal-kapalan dengan mengena-kan sarung; teater tradisional kondo buleng (bangau putih) dari Desa Pa-ro-po di pinggiran Makassar; dan permain-an muda-mudi pabitte pussapu di Bulu-kumba.

Wilson meramu, menyambung, men-strukturkan, dan memoles adegan ber-da-sarkan bahan tari yang disajikan Andi Ummu. Ia terutama membingkai adegan dengan permainan warna ca-ha-ya yang menjadi kekhasannya. Pang-gung Wilson selalu punya unsur visual cahaya kuat sehingga ia disebut sebagai pelukis cahaya. Adapun musik yang ditata Rahayu Supanggah (dalam pementasan di Ciputra Artpreneur, Pang-gah—panggilan Rahayu Supang-gah—tak bersama para pemusik di pang-gung karena sakit dan ensambel di-pimpin Daeng Basri Baharuddin Sila) meng-gunakan berbagai instrumen dari daerah Sulawesi. Ada ganrang atau gen-derang pakarena, gendang Toraja,  kato-kato (genderang kayu), canang, gong, serunai (sejenis trompet), seruling ber-bagai ukuran dan bentuk, kesok-kesok (alat music gesek seperti biola berdawai ganda), serta kecapi.

Panggah juga menggunakan banyak instrumen ritual bissu. Menurut Pang-gah, dalam catatannya pada 2004, per-alatan upacara bissu penuh unsur bu-nyi menarik. Di antaranya bunyi lae-lae, alat musik perkusi yang dibuat dari potongan-potongan bambu yang diserut mulus di ujungnya sampai runcing; pui-pui; canang perunggu; seperangkat mangkuk, dan porselen-porselen kecil. Panggah sama sekali tak menggunakan unsur elektronik. Panggah dan Basri menyajikan permainan warna bunyi yang kaya, variatif, dan mengalir. Selang-seling kor para pemusik dan suara dua vokalis perempuan, Peni Candra Rini dan  Amratul Fitri, mampu mengikat ke-se-luruhan elemen panggung, dari gerak, warna, cahaya, sampai mantra.

Pada akhir pementasan, setelah La Galigo bertemu kembali dengan ibunya, sebuah tarian kesuburan ditampilkan. Dulu bagian ini disajikan Mak Coppong, maestro pakarena. Saat pementasan perdana di Esplanade pada 2004, umur Mak Coppong sudah 84 tahun. Tubuhnya yang ringkih bergerak sangat lambat dan halus, kontras dengan pukulan gen-derang  pakarena yang keras dan ce-pat. Ketika pertama kali melihat Mak Coppong menari pada 2001, Robert Wilson terpesona. Mak Coppong wafat pada 2010 saat berusia 90 tahun.   

Lima belas tahun sudah sebuah proses panjang dilalui I La Galigo. Pertunjukan ini turut menyebarkan I La Galigo ke penjuru dunia sebagai memory of the world. Di  Ciputra Artpreneur, 3, 5, 6, dan 7 Juli lalu, I La Galigo mempertahankan nyawanya.

SENO JOKO SUYONO, ISMA SAVITRI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus