Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Aktivisme ‘Orang Film’

Abduh meyakini betul film adalah produk budaya. Ia produser andal, dan lebih dari itu.

6 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASIH banyak wajah tak percaya di Taman Pemakaman Umum Tanjung Barat, Jakarta Selatan, Senin, 1 Juli lalu, pukul 11 siang. Lasja F. Susatyo, sutradara, dengan senyum miris menggelengkan kepala. Seharusnya pada pukul 6 sore hari itu ia mengadakan rapat dengan Abduh. “Terlalu cepat” atau “Kan, sedang mau bikin ‘ini’…” adalah gumam yang berulang kali muncul di permakaman itu. Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid turut menurunkan jenazah Abduh ke liang lahad. Lalu ia memberikan pidato singkat kepada keluarga dan para pelayat. Matanya merah. Ia tampak terpukul.

Mohamad Abduh Aziz lahir pada 10 Oktober 1967, putra Betawi asli. Abduh adalah budayawan-aktivis yang mengakarkan diri pada bidang perfilman. Paduan unik aktivisme dan karier sebagai “orang film” membuat Abduh menjadi sosok langka dalam perfilman nasional ataupun gerakan kebudayaan di Indonesia. Keunikan ini terbentuk sejak ia kuliah di Jurusan Sejarah Universitas Indonesia pada 1986.

Dalam wawancara dengan Jurnalfootage.net pada 2010 Abduh bercerita, saat ia kuliah, Ong Hok Ham, sejarawan UI, memutarkan film Max Havelaar untuk melihat model kolonialisme di Jawa. Sejak itu, ia memandang film bisa menjadi salah satu acuan untuk “membaca konteks sosial dalam sejarah kita”. Ia lulus pada 1992 dengan penelitian tentang perfilman pada masa Hindia Belanda, 1926-1945. Sejak itu, dunia film lekat dengannya.

Pada masa kuliah itu pula ia menjalin persahabatan dengan teman seangkatannya, Hilmar Farid, dan beberapa aktivis mahasiswa lain. Dunia aktivisme politik yang kritis, di wilayah kerja kebudayaan, turut membentuk watak kiprah Abduh dalam perfilman. Kapasitasnya sebagai manajer produksi dan produser terasah saat ia bekerja dengan Garin Nugroho. Abduh turut dalam produksi film televisi Garin yang eksperimental, Angin Rumput Savana (1996). Ia intens bekerja sama dengan Garin hingga awal 2000-an di Yayasan SET.

Sebagai produser, Abduh memahami segi sosial, kultural, juga komersial produksi film. “Mas Abduh itu yakin betul bahwa film adalah produk budaya,” kata Salman Aristo, penulis dan sutradara, yang merasa terinspirasi oleh kepercayaan Abduh tersebut. Abduh banyak memproduksi dokumenter penting. Salah satunya Tjidurian 19 (2009), yang ia buat bersama Lasja. Pada 2004, ia juga memproduksi Impian Kemarau (The Rainmaker), sebuah film liris sekaligus kritik politik tajam, karya panjang pertama sutradara Ravi Bharvani. Itu salah satu film terbaik Indonesia pada 2000-an.

Abduh juga banyak membidani film kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat atau lembaga negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi untuk kampanye sosial tanpa mengorbankan profesionalisme pembuatan film. Tapi semua itu belum memadai bagi kerisauan Abduh terhadap perfilman kita. Bersama Alex Sihar, pendiri Konfiden atau Komunitas Film Independen, Abduh menyusun pemahaman tentang ekosistem perfilman nasional, mengadvokasikannya ke banyak pihak. Inilah yang membuat Abduh secara alami masuk ke lembaga seperti Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) selama dua periode (2006-2012).

Selama di DKJ pula Abduh harus “mengurusi” bidang-bidang kesenian lain. Pencandraan Abduh tentang kesenian meluas ke seni rupa, tari, teater, sastra, juga musik. Selepas dari DKJ, pada 2013, ia turut mendirikan Koalisi Seni Indonesia dan terpilih sebagai ketua pengurus harian. Lewat Koalisi Seni, Abduh bekerja sama intensif dengan Hilmar untuk mengawal kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, juga kebijakan dana abadi kesenian.

Di tengah semua itu, pada 2016 ia dilantik sebagai Direktur Utama Produksi Film Negara (PFN). Setelah vakum selama 26 tahun, PFN di bawah Abduh kembali memproduksi film komersial: animasi 3D Si Unyil dan Kuambil Lagi Hatiku (2019). Lebih dari menjalankan produksi, PFN dicitakan Abduh menjadi wahana perjuangan sipilnya. Salman Aristo, dalam dukanya, menulis di Facebook: “…visi Mas akan industri film yang lebih berpihak pada publiknya, akan coba terus gue gulirkan.”

Selepas magrib pada 30 Juni lalu, Abduh merasakan sakit di dada, dan berkendara sendiri ke Rumah Sakit Harum, Kalimalang, Jakarta Timur. Ia pergi pada pukul 23.05. Sumber kekuatan utama Abduh sebagai budayawan-aktivis adalah istrinya, Heni Wiradimaja, dan anak-anak mereka: Erik Agra, Vipassati Varra, Karaniya Poeta.

HIKMAT DARMAWAN, KETUA KOMITE FILM DEWAN KESENIAN JAKARTA 2016-2019

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus