Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=2 color=Brown>Dahlan Iskan:</font><br />BUMN Jangan Mau Diintervensi

7 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebetulnya Dahlan Iskan sudah berniat pensiun sebagai Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara pada 2012. Dia bertekad tak mau lagi "ikut campur" dalam urusan pemerintahan. "Enak jadi orang bebas," katanya sambil tersenyum Sabtu dua pekan lalu. Tapi niat itu harus dia tanggalkan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memintanya menjadi Menteri Badan Usaha Milik Negara dalam perombakan Kabinet Indonesia Bersatu II pada Oktober lalu.

Kendati singkat, kegesitannya mengelola perusahaan listrik pelat merah itu mengesankan banyak orang. Dia menggelindingkan kembali proyek listrik 10 ribu megawatt yang macet. Para pegawai di lingkungan perusahaan senang dengan gayanya yang santai tapi santun, dan selalu menyapa staf, bahkan office boy. "Dia sering duduk di sini, ngobrol dengan kami," kata dua resepsionis PLN. "Awalnya kami yang risi, masak bos duduk di sini."

Di PLN, Dahlan merintis komunikasi langsung—termasuk rapat singkat—dengan grup BlackBerry Messenger antara direksi dan manajer untuk mencari solusi atas berbagai masalah. "Banyak persoalan yang tak perlu ribet penyelesaiannya," kata dia sambil tersenyum. Semua pengalamannya di sektor swasta ditularkannya di BUMN, termasuk PLN yang dia buat "berlari cepat 100 kilometer per jam".

Dalam menangani BUMN, Dahlan memang berpandangan optimistis. Dia yakin birokrasi BUMN bisa berubah menjadi produktif dan mampu bersaing dengan swasta. "Saya berani bertaruh, direksi BUMN tak kalah dengan swasta," katanya. Syaratnya, mereka dipercaya. "Orang tak akan maju tanpa kebebasan kreativitas. Bila salah sedikit ditegur, itu justru mengunci kreativitas."

Sejak menjadi bos PLN, Dahlan giat pula menganjurkan penghematan dan dia sendiri memberi contoh. Dia kerap memakai mobil pribadi tanpa pe­ngawalan dan ajudan. "Cuma saya dan orang-orang yang sudah dia percaya selama ini," ujar seorang kepercayaannya yang mengiringi jalan pagi Sabtu dua pekan lalu. Tempo menyaksikan sendiri dia meminta penyejuk udara di kantornya dimatikan. "Sayang listrik, cuma satu orang, kok," ujar Dahlan kepada stafnya.

Seperti saat menjadi orang swasta, Dahlan tetap melakoni hobi jalan cepat. Dulu dia jalan pagi sejak pukul lima dari rumahnya ke kantor PLN setiap hari. Setelah menjadi menteri, kebiasaan itu diganti dengan jalan kaki di depan kantor barunya, Jalan Medan Merdeka Selatan. Pikiran dan badan, menurut dia, mesti sehat dalam bekerja.

Sambil berolahraga, dia menjawab sapaan masyarakat dan merangkul mahasiswa yang mengajaknya bercakap-cakap, termasuk dengan bahasa Mandarin yang sangat dia kuasai. Gaya bicaranya yang khas, meledak-ledak dan tegas, mewarnai pembicaraan dengan Yophiandi Kurniawan, Dianing Sari, Yogita Meher, Ishomuddin, dan fotografer Dwianto Wibowo dari Tempo dalam dua kali pertemuan.

Bagaimana kelanjutan restrukturisasi BUMN, termasuk privatisasi, di tangan Anda?

Saya tak mau membicarakan privatisasi dulu. Nanti malah terlibat pro-kontra. Seperti waktu di PLN, enam bulan pertama, saya tak mau berbicara tentang nuklir meskipun dipancing-pancing wartawan. Kalau saya membicarakan soal nuklir, pro-kontra akan luar biasa, dan waktu saya akan habis. Nah, setelah saya inventarisasi, ternyata beberapa BUMN siap untuk restrukturisasi. Saya sudah mengeceknya ke para direktur utama. Mereka siap jadi holding, dan sekalian saja, saya tentukan, misalnya tanggal 30 Januari, holding perkebunan sudah harus terbentuk dan efektif. Perhutani dan Inhutani juga sudah siap, pada 28 Februari sudah terbentuk. Juga farmasi, pada 30 Juni. Sisanya tinggal tunggu, lihat yang tiga ini dulu.

Apa yang akan Anda lakukan terhadap BUMN yang merugi?

Ini yang penting, mengurus BUMN yang merugi atau tak jelas masa depannya. Ada beberapa kategori, 12 perusahaan mendekati kamar mayat. Lalu 6 atau 7 perusahaan masuk unit perawatan intensif, dan yang rawat inap ada 10 perusahaan. Treatment-nya tak bisa dengan satu resep. Saya akan berbicara dengan mereka. Kebetulan BUMN yang besar-besar menginginkan anak perusahaan. Saya akan kritis melihat BUMN mana yang harus punya anak perusahaan, mana yang tidak. Saya tanya dulu siapa yang ngebet ingin punya anak perusahaan karena penting. Setelah itu, saya tawarkan mengambil yang sedang genting kondisinya, daripada mereka membentuk yang baru. Diselamatkan, kemudian dijadikan anak perusahaan. Perusahaan yang merugi silakan ubah namanya, ganti bidang bisnisnya, misi perusahaannya. Bisa saja, kalau nanti diambil, tadinya perusahaan tahu jadi perusahaan besi.

Banyak juga industri yang sekarat itu tergolong industri senja....

Memang ditolong seperti apa pun tak akan bisa. Untuk itu mesti berubah total. Sebetulnya ini bukan ide saya, karena ini best practices biasa. Dulu, pada zaman krisis, banyak perusahaan sepatu berubah jadi perusahaan elektronik. Dalam bisnis, hal seperti itu biasa, meski nanti di BUMN akan ada hal yang dipersoalkan, yakni meninggalkan sejarah, peninggalan Belanda, akan sangat emosional. Dulu bahkan satu anggota DPR bilang, ketika saya mengajukan konsep sendiri, "Lho, Pak, perusahaan itu kan didirikan Belanda. Enggak mungkin Belanda enggak pintar. Enggak mungkin Belanda tidak memikirkan masa depannya."

Apa saja perusahaan yang termasuk kategori genting?

Misalnya industri penerbitan. Nantinya penerbitan berubah menjadi penerbitan yang sifatnya berbeda. Apakah manajemen penerbitan yang dilahirkan pada zaman 45 bisa menjadi industri penerbitan sekarang? Berat. Pasti akan membutuhkan modal besar dan manajemen baru. Daripada capek merehabilitasi, lebih baik bermetamorfosis saja.

Sebaliknya ada berapa banyak BUMN yang sangat menguntungkan?

Kira-kira ada 20 BUMN yang sangat bagus. Bulan depan saya diskusi dengan mereka, adakah satu atau dua yang bisa digenjot lagi untuk masuk Fortune 500. Dalam waktu berapa lama, kalau ada, dan langkah-langkahnya seperti apa.

Berapa banyak dari 20 perusahaan ini yang bisa membeli perusahaan yang merugi?

Banyak. Misalnya Adhi Karya ingin membuat anak perusahaan bidang energi, mendirikan PLTU, bekerja sama dengan Pupuk Sriwidjaja. PLTU itu listriknya akan menghidupi pabrik pupuknya. Daripada bikin anak perusahaan, saya bilang, mending ambil yang sudah ada. Mereka mau. Kemudian Pembangunan dan Perumahan juga butuh anak perusahaan. Lalu Angkasa Pura I, yang belum punya anak perusahaan sama sekali. Karena bandara-bandara berkembang, dia ingin membentuk empat anak perusahaan. Saya bilang jangan, satu dulu, dan ambil dari yang sedang genting itu.

Bagaimana Anda melihat etos BUMN, mereka bisa seperti swasta?

Tentu saya melihat mana yang punya jiwa entrepreneur dan tidak. Jiwa entrepreneur itu juga punya kelemahan, biasanya kurang tertib. Di BUMN hal itu tidak boleh. Di swasta proses itu tak penting, yang penting hasilnya. Di BUMN prosesnya lebih penting daripada hasilnya. Nah, dua hal itu harus bisa digabungkan. Misalnya direktur PT KAI, Pelindo II, direktur utama bank-bank besar, mereka hebat-hebat. Malah Direktur Utama Bank BRI sebetulnya lebih layak jadi Menteri BUMN daripada saya.

Bagaimana dengan reformasi manajemen birokrasi?

Saya lama di swasta, dan kemudian masuk birokrasi. Saya melihat terlalu banyak surat-menyurat, terlalu banyak rapat yang menyita waktu kerja. Kesibukan membalas, mengonsep, mengarsip surat, luar biasa sibuknya. Kementerian BUMN, juga kementerian lain, kalau minta laporan, macam-macam jenisnya. PLN, misalnya, mesti kirim surat ke Menko Perekonomian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, BUMN, sibuknya bukan main.

Lalu apa yang akan Anda lakukan?

Nah, kemarin (pekan pertama pertemuan dengan pimpinan Kementerian dan direksi BUMN), kami sepakati surat-menyurat, laporan, rapat, kami kurangi lima puluh persen. Teman-teman eselon satu BUMN menyikapi cepat sekali soal itu. Mereka sudah membuat surat dan laporan apa saja yang tak perlu dikirim dan diminta, juga rapat apa saja yang tak perlu dilakukan. Dengan demikian, kesibukan direksi dan perusahaan tinggal berfokus pada bagaimana hasil pekerjaannya, tak perlu banyak berpikir tentang prosesnya.

Soal PLN, kenapa tahun ini masih juga melewati kuota pemakaian bahan bakar solar? Ada masalah dengan gas?

Suplai gas dipegang oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral. Target-target yang dijanjikan ke PLN tidak tercapai. Yang dulu diprogramkan mendapat gas sekian ternyata tak terjadi. Itu berperan besar dalam pemakaian BBM. Sampai-sampai, karena tak sabar, saya mau impor gas sendiri dari Iran. Gas dalam negeri itu banyak kok sebetulnya. Tapi alokasinya lebih banyak untuk ekspor, sedangkan keperluan dalam negeri tak tercukupi. Tapi saya mesti fair, banyak kesalahan PLN juga di masa lalu. Di masa lalu, banyak perusahaan gas besar menawarkan ke PLN, tapi PLN cuma mau dengan harga sangat murah. Tentu pemilik gas tak mau, akhirnya dijual ke swasta, termasuk ke Singapura. Kalau sudah dijual ke luar, ya kontraknya kan lama, sampai 20 tahun. Persoalan suplai gas ini sampai 60 persen dalam pemakaian BBM.

Berapa banyak PLTU yang tertunda dalam proyek 10 ribu megawatt dan menjadi tak beroperasi?

Tertundanya PLTU karena masalah yang kompleks. Saya tak bisa menyalahkan salah satu pihak. Ketika datang ke PLN, saya melihat PLN itu sudah sepuluh tahun tak punya proyek. Orang-orang yang menangani proyek dulu sudah pensiun. Akhirnya, ketika pertama kali punya proyek, sepuluh ribu megawatt itu, besarnya bukan main. Tenaga-tenaga yang berpengalaman sudah tak ada, mendapat proyek sekaligus besar sekali. Ini salah satu faktor. Kedua, proyek ini terlalu kesusu (tergesa-gesa) persiapannya, sehingga kontraknya, kontrol terhadap kualitas, tak sepenuhnya bagus. Tapi ini kan masa lalu. Saya tak mau menyalahkan masa lalu. Yang penting bagaimana ini digenjot. Tahun ini paling tidak sudah akan selesai 4.500 megawatt. Tahun depan akan lebih lagi. Selain itu, ada masalah sulitnya pembebasan tanah, juga kontrak. Selama tertunda kan harus menggunakan BBM, itulah kerugiannya. Tapi, ketika proyek jadi, tak lagi ada masalah.

Benarkah pembangkit yang dibangun dalam proyek ini kualitasnya rendah?

Iya, memang ada yang kurang memenuhi syarat. Tapi itu ada di akseleratornya, pendukung, yang kalau diperbaiki­ tak terlalu sulit. Kalau alat utamanya­ memenuhi syarat, termasuk turbin dan generator. Saya tak bisa menyalahkan mereka, tapi salah yang mengontrol juga. Kalau kualitasnya jelek, ya ditolak dong. Tapi mereka takut harus mengimpor lagi, tertunda lagi. Saya masuk ke PLN, saya sikapi dengan keras, peralatan yang di bawah standar tak boleh masuk.

Apa yang akan dilakukan terhadap Merpati yang terus merugi?

Merpati ini punya dua masalah. Pertama keuangan, penyelesaiannya kan sudah ada persetujuan DPR untuk menyuntikkan dana baru. Kemudian masalah bisnisnya, apakah harus bersaing dengan Garuda atau memilih khas Merpati, seperti Wings dan Susi Air kan bisa hidup. Logika umumnya, kenapa Merpati tak bisa hidup. Kedua, soal manajemen internal, apakah jumlah anggota direksi terlampau banyak. Saya akan mengevaluasinya. Apakah perlu ada wakil direktur utama, dan membuat proses manajemen berbelit? Saya sudah ketemu direktur utama. Saya minta ke dia, ini suntikan modal terakhir. Setelah ini tak boleh ada lagi. Kalau suntikan ini tak bisa menghidupkan, lebih baik tak usah. Saya lihat direktur utamanya masih sangat muda, energetik. Hanya saya perlu membantu dia, supaya ini semua berjalan, tak ada hambatan psikologis di dalam Merpati. Pilihannya, Merpati akan mengambil pasar propeller, jadi meninggalkan era jet, yang mungkin tidak cocok buat Merpati di era sekarang.

Mungkinkah rapat BUMN dengan DPR dikurangi? Cukup Menteri BUMN yang bertemu dengan DPR?

Saya dengar keluhan teman-teman BUMN. Tak cuma DPR, tapi kementerian lain, dewan komisaris juga sering memanggil. Yang paling bisa saya perbuat adalah di Kementerian BUMN, sesuai dengan kewenangan saya. Di DPR saya tak punya hak, karena Dewan punya hak konstitusi. Tentu saya berbicara dengan pimpinan komisi, bisakah ada sedikit perubahan. Misalnya, kalau memanggil mereka jangan Selasa pagi, karena hari itu adalah hari rapat mereka di tempat masing-masing. Juga kunjungan, bisa tak perlu direksi, tapi staf yang justru bisa menjawab masalah.

Akan ada BUMN yang tetap bertugas melakukan pelayanan publik?

Sejumlah BUMN diputuskan mencari laba, seperti batu bara dan perkebunan. Yang lain mencari laba plus menstabilkan ekonomi negara, seperti bank. Dulu orang bilang, supaya ekonomi negara stabil, harus privatisasi bank negara. Terbukti sekarang, bank BUMN sangat diperlukan. Saat krisis Eropa dan Amerika, seandainya kita tak punya bank BUMN, rupiah kita anjlok. Tapi, karena kita punya bank BUMN, mereka bisa dipakai untuk menstabilkan moneter. Ada juga yang diabdikan untuk pelayanan, misalnya Kereta Api, Perumnas, Angkasa Pura. Untuk Angkasa Pura, ruang kerja direksi tak boleh lebih baik daripada ruang tunggu penumpang. Ruang tunggunya harus dibuat lebih bagus. Kalau tak bisa juga, ya ruang direksinya harus diperburuk. Beda dengan bank, ruang direksi harus bagus. Karena itu masalah kepercayaan. Kalau penampilannya saja tak meyakinkan, bagaimana mau menyimpan uang di sana?

Mungkinkah BUMN kita seperti Temasek Holdings dan Khazanah Berhad?

Saya paham Temasek dan Khazanah. Pimpinan mereka saya kenal baik. Cina yang baru dibentuk juga bagus. Memang iklim sangat berbeda, tak bisa dibandingkan seperti itu. Malaysia dan Singapura tidak demokrasi, sedangkan kita demokrasi murni. Kita cari solusinya, iklim yang bisa diberikan, yaitu iklim kebebasan BUMN melakukan aksi korporasi. Saat ini tak besar aksinya karena banyak intervensi, sehingga intervensi itulah yang mesti dikurangi supaya aksi korporasi bisa lebih menonjol. Kalau tidak, BUMN hanya akan jadi instansi, bukan korporasi. Selama ini BUMN mirip instansi. Makanya sekarang 60 persen kewenangan Kementerian BUMN diserahkan ke manajemen korporasi.

Masalah lain BUMN adalah mereka sering dijadikan sapi perah....

Ya itu, saya akan mengurangi intervensi (tersenyum). Kalau saya bilang akan mengurangi intervensi, ada dua maksud. Pertama supaya dewan direksi bisa meningkatkan kreativitasnya. Kedua, saya akan bilang, "Kalau ada yang mau intervensi, saya saja tak bisa mengintervensi, kok Anda mau mengintervensi." Ketiga, saya akan bisa bilang ke dewan direksi, "Saya menterimu saja tak mau intervensi, ngapain kamu mau diintervensi?" Karena intervensi ini membuat direksi tidak kompak, kerja tak efisien, sibuk, tidak laba. Jangan-jangan pekerjaan BUMN nanti lebih besar untuk mengurusi intervensi.

Dahlan Iskan
Tempat dan tanggal lahir: Magetan, Jawa Timur, 17 Agustus 1951 Pendidikan: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Cabang Samarinda Karier: Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, 2011-sekarang | Direktur Utama PT PLN, Desember 2009-2011 | Pemimpin Jawa Pos Group | Direktur Utama Perusahaan Daerah PT PWU Jatim Group | Komisaris Power Plant PT Prima Electric Power | Direktur Utama Power Plant PT Cahaya Fajar Kaltim | Komisaris Kaltim Electric Power

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus