Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Datang dari latar belakang dunia keuangan, yang ketat dengan tradisi kecermatan, Agus Martowardojo merefleksikan semangat itu secara konsisten dalam satu wawancara ”maraton”—berjam-jam—dengan Tempo. Bicaranya hati-hati, setiap kalimat ditimbangnya dengan saksama, dan hampir selalu dilengkapi data. Toh, Menteri Keuangan berusia 56 tahun ini juga punya ”titik lumer”. Ajaklah dia membicarakan kasus yang mengacak-acak sektor keuangan negara. Maka suasana akan beralih lebih ”panas dan meriah”, mirip musik berirama staccato yang mengentak-entak. ”This is a tough statement,” ujarnya saat berbicara tentang divestasi saham Newmont dan batalnya kenaikan harga bahan bakar minyak.
Posisi Menteri Keuangan sekaligus menjadikan Agus Marto Bendahara Umum Negara. Salah satu aset yang tengah dia perjuangkan untuk menjadi hak negara adalah 7 persen saham Newmont. ”Saya sudah menyampaikan closing statement di Mahkamah Konstitusi pada 8 Mei. Apa pun putusan MK akan kami hormati sepenuhnya,” ujar Agus.
Mengawal kasus Newmont hanya satu mata rantai kecil dari tugas-tugasnya. Agus seolah-olah berkejaran dengan jadwalnya sendiri setiap hari. Selain berkantor di gedung utama Kementerian Keuangan di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, dia membuka ”cabang” di gedung Direktorat Jenderal Pajak di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Memang banyak hal memerlukan keputusan dan kehadirannya.
Maka bergeraklah Agus dari rapat kabinet, kementerian, hingga pertemuan menteri keuangan mancanegara di luar negeri. Di tengah jadwal superpadat itu, dia menerima majalah ini untuk dua kali wawancara. Pertama, satu jam sebelum dia terbang ke Manila untuk pertemuan tahunan Asian Development Bank. Kedua, sesaat setelah ia menghadiri sidang Mahkamah Konstitusi tentang sengketa kewenangan lembaga negara soal PT Newmont Nusa Tenggara.
Menteri Keuangan Terbaik se-Asia-Pasifik 2012 versi majalah The Banker, London, ini menghadirkan dua belas pembantunya—dari level direktur jenderal, inspektur jenderal, hingga direktur—dalam kedua pertemuan itu. Merekalah yang membantu menyiapkan semua data yang diperlukan sang Menteri dalam menjawab pertanyaan wartawan Tempo Hermien Y. Kleden, Andari Karina Anom, Istiqomatul Hayati, Ali Nur Yasin, dan Akbar Kurniawan.
Apa perbedaan mendasar pemahaman Kementerian Keuangan versus DPR dan BPK dalam ihwal pembelian 7 persen saham Newmont oleh pemerintah?
Pemerintah ingin menjalankan haknya melakukan investasi di Newmont sesuai dengan kontrak karya, berdasarkan Undang-Undang Perbendaharaan Negara Nomor 1 Tahun 2004. Menteri Keuangan punya kewenangan melakukan investasi jangka panjang nonpermanen. Nah, DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan menghalangi kami melakukan pembelian ini, dan mengatakan kami harus minta persetujuan DPR. Mereka merujuk pada UU Keuangan Negara Pasal 24 ayat 7. Di situ memang disebutkan perihal penyertaan modal negara di perusahaan swasta dalam keadaan ekonomi darurat atau tertentu. Misalnya tahun 1997-1998, pada saat krisis, negara masuk untuk mengambil alih sejumlah bank.
Apakah kita sekarang berada dalam situasi ekonomi darurat?
Inilah yang menurut kami tidak benar. Kami melakukan investasi jangka panjang nonpermanen. DPR menganggap kami akan melakukan penyertaan modal negara, sehingga pembelian ini diminta harus dengan persetujuan mereka.
Seharusnya bagaimana, menurut Anda?
Tidak boleh begitu. Paling tidak yang punya hak harus dipanggil. Kami juga minta DPR jangan menjadi lembaga yang memberikan persetujuan berlapis. Sudah menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, masih ingin menyetujui (yang lain) lagi, yang sudah masuk wilayah eksekutif.
Selama ini pemerintah juga pernah punya saham di kontrak karya lain, tapi kenapa tidak bisa berbuat apa-apa?
Saya tidak mau berkomentar tentang (kebijakan) yang lalu. Tapi, dengan komitmen dan visi bahwa negara akan masuk Newmont, kami akan menjaga itu. Sekarang ini, kalau negara masuk, ada Yusuf Merukh (pemilik Merukh Enterprises, pemegang 17,8 persen saham Newmont) sebagai perwakilan swasta nasional, ada pemerintah daerah 24 persen dan pusat 7 persen. Ini suatu hal yang baik, yang bisa menjadi model kita menata (tambang) di Sulawesi, Maluku, dan daerah lain. Nantinya akan ada banyak sekali pengalihan (saham) asing ke nasional.
Apa sih pentingnya saham 7 persen Newmont terhadap posisi pemerintah?
Kami tidak sependapat dengan kalimat: ”Oh, hanya 7 persen, mana bisa mengelola secara strategis?”. Saham 7 persen ini adalah swing share yang menentukan ke-51 persen. Di situ kita bisa menentukan pula posisi komisaris, harga khusus, dan keutamaan-keutamaan lain.
Ada 24 persen saham Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, bekerja sama dengan Multi Capital—anak perusahaan Bakrie—yang dibeli dengan pinjaman ke Credit Suisse Singapura. Apakah pemerintah meminta BPK mengaudit pembelian ini?
Kami tidak punya fakta cukup tentang badan usaha milik daerah yang disusun pemerintah daerah dan swasta. Tapi pemerintah meminta BPK melakukan audit. BPK menjawab akan melakukan (audit) menurut waktu dan kesempatan. Tapi pengelola, struktur, dan pembiayaan 24 persen (saham) badan usaha milik daerah itu memang sesuatu yang patut diketahui demi keterbukaan informasi.
Apa alasan lain mengapa pemerintah berkukuh benar membeli 7 persen saham Newmont?
Begini. Indonesia sudah cukup lama merdeka tapi belum pernah berkesempatan menyaksikan pengalihan saham asing ke nasional secara baik dan tuntas. Kalaupun ada, sifatnya hanya sementara dan mungkin juga kembalinya ke asing atau pihak ketiga. (Dengan demikian), tidak bisa dianggap sebagai prestasi dalam pengalihan saham asing ke nasional.
Jadi Newmont akan menjadi semacam benchmark pemerintah dalam pengalihan saham asing ke nasional?
Newmont adalah salah satu landmark bidang tambang dan amat bernilai. Saham 7 persen ini adalah saham penentu. Bagi pemerintah, ini penentu ke jumlah 51 persen saham mayoritas. Bagi asing, ini penentu mereka bukan lagi mayoritas. Jadi, dengan masuknya kita di Newmont, jangan hanya dilihat saham 7 persennya, tapi dilihat bahwa Indonesia hadir di situ.
Seperti apa tekanan yang Anda terima dalam kasus Newmont?
Kami merasa semua tekanan adalah productive pressure. Jadi kami anggap sebagai sesuatu yang patut dihormati. Kami terus berusaha meyakinkan DPR kenapa pemerintah harus masuk. Kami merasa pertemuan dengan Komisi XI DPR berlangsung hangat, dan produktif. Yang kami perjuangkan ini adalah martabat sektor keuangan Indonesia.
Lalu apa pertimbangan Anda terhadap proses internal pihak pemerintah?
Kami memang perlu introspeksi. Transaksi ini bisa kami selesaikan bila kami mendapatkan kerja sama dari rekan kami di dalam pemerintah. Kami perlu penegasan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Bila ini sudah kami peroleh, kami akan melaksanakannya.
Bagaimana melaksanakannya bila konfirmasi official-nya pun belum Anda terima? Itu info yang kami dapat....
Andai semua pihak dapat memahami, tentu kami tidak perlu satu tahun menunggu dan sekarang pun belum ada kepastian. Mungkin ada pertimbangan sendiri di antara mitra kerja kami, Menteri Energi, BKPM, dan DPR. Mereka (bilang) masih dalam proses.
Komentar Anda?
Kalau kita yakin kewenangan kita sudah sesuai dengan undang-undang, kita yakin sudah melakukannya seturut prosedur yang benar, kita tidak punya conflict of interest, dan kita memutuskannya secara akuntabel, hal ini patut dijalankan tanpa ragu!
Apakah Presiden mendukung Anda?
Kami bisa membawa hal ini ke Mahkamah Konstitusi kalau kami memperoleh wewenang surat kuasa dari Presiden. Dari awal sampai sekarang kami mendapat dukungan penuh dari Presiden dan Wakil Presiden.
Tentang rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS). Kami mendapat info Anda ditekan melakukan blanket guarantee Rp 200 triliun. Ada komentar?
Begini. Ini proyek strategis dan (merupakan janji) Presiden. Visinya kami dukung karena akan membuat ekonomi Indonesia jauh berbeda. Dari disiplin keuangan, kami paham bila ada keinginan kerja sama antara pemerintah dan swasta atau public private partnership (PPP). Mekanismenya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005. Indonesia harus membangun infrastruktur tetapi tak punya anggaran cukup. Jadi kita mengundang swasta domestik ataupun asing.
Lantas apa problemnya?
Kerja sama pemerintah swasta itu memerlukan penjaminan pemerintah. (Ini yang harus kita waspadai), jangan sampai sektor keuangan mengulang pengalaman buruk di masa lalu.
Pengalaman buruk macam apa?
Ketika kita ingin membangun jalan tol, pelabuhan, atau pertanian, proses penunjukan, latar belakang, dan kelayakan usahanya tidak jelas. Yang terjadi adalah pemerintah bekerja sama dengan swasta yang sudah punya dokumen legally binding serta menyebutkan ada komitmen pemerintah terkait dengan penjaminan. Pada 1974, Pertamina bikin kontrak tanker dan akhirnya kita dituntut dan mesti membayar. Pada 1997, di Dieng-Patuha, kita harus membayar US$ 400 juta untuk proyek baru pipa yang belum ada investasinya.
Lalu apa yang ”tidak jelas” dalam proyek Jembatan Selat Sunda?
Khusus untuk JSS yang panjangnya 31 kilometer, nilainya Rp 100 triliun, lalu Rp 120 triliun, naik lagi menjadi Rp 200 triliun. Triliun itu nolnya 12, lho. Semua proyek besar yang datang ke pemerintah adalah prakarsa swasta. Rata-rata proyek strategis di dunia yang datang atas prakarsa swasta cenderung bermasalah.
Dalam rencana proyek Jembatan Selat Sunda, masalahnya apa?
JSS datang atas dasar pemrakarsa. Ketika datang, belum ada feasibility study ataupun pre-feasibility study. Definisi proyek tidak jelas tapi sudah mengundang insinyur untuk mendesain. JSS dikatakan tidak akan melibatkan pemerintah karena business to business. Saya bilang, dalam proyek ini, yang dibangun bukan hanya jembatan tapi akan ada kawasan di sekitar Jawa dan Lampung. Ada jaminan pemerintah atau tidak? Kalau business to business berarti tidak ada. Nah, proyek itu kan nilainya triliunan rupiah. Dari mana uangnya?
Apa isu yang paling Anda pandang prinsipiil?
Kalau tidak diatur, pengusaha mendapatkan keuntungan yang optimal, bahkan kalau bisa memperoleh insentif fiskal dengan mendapatkan semua konsesi. Prinsip saya, kalau mau membangun JSS, itu tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum untuk menyusun studi kelayakan. Definisi proyek harus ada dan harus berbeda dengan yang diajukan swasta.
Apa dampak bagi anggaran bila harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan?
Volume (pemakaian BBM) akan meningkat tajam, pelanggan Pertamax akan kembali ke Premium kalau harga Pertamax di atas Rp 10 ribu. Kalau tidak dikendalikan, volume pemakaian bisa sampai 47-49 juta kiloliter (dari target pemakaian per 2012 sebesar 40 juta kiloliter).
Jadi, harga BBM bersubsidi cenderung tak boleh dinaikkan?
Betul. Ternyata kita betul-betul negara demokrasi dan tidak diizinkan menaikkan Rp 1.500 itu. Sebetulnya, di APBN 2012, kami sudah merencanakan kenaikan listrik 10 persen dan pembatasan BBM bersubsidi se-Jawa-Bali, kemudian diperluas ke Sumatera, Kalimantan. Itu APBN yang benar-benar bagus karena pemilik mobil sudah masuk kategori atas. Sudah disepakati oleh DPR akan berlaku pada 1 April 2012. Ternyata implementasi Jawa-Bali tidak bisa dilakukan. Kalau itu tidak jadi dan harga listrik pun tidak bisa dinaikkan, ini berbahaya. Subsidi membengkak dan kita tidak bisa membangun infrastruktur, termasuk membuat puskesmas.
Adakah solusi yang tepat dari sisi politik tapi tidak membebani anggaran?
Kalau kita mengambil keputusan berat untuk jangka pendek ini, kita akan menikmatinya dalam jangka panjag. Kalau anggarannya terlalu banyak untuk subsidi, pembangunan infrastruktur bisa terhambat, padahal infrastruktur yang baik adalah kunci pertumbuhan ekonomi kita.
Apa inti closing statement Anda dalam persidangan kasus Newmont di Mahkamah Konstitusi dua pekan lalu?
Dalam sidang (8 Mei 2012), saya menyampaikan kepada MK agar dapat memenuhi permintaan pemerintah dalam sengketa kewenangan lembaga negara, agar investasi (pemerintah) di Newmont yang sudah tertunda sampai setahun bisa diizinkan.
Jika Kementerian Keuangan kalah di Mahkamah Konstitusi, apa yang akan Anda lakukan?
Kalau sampai tidak disetujui, artinya pemerintah kalah. Dan kalah bukan berarti salah. Ini berarti kita mencederai undang-undang yang sebetulnya sudah ada untuk pengelolaan keuangan Indonesia. Ini hak negara, demi negara. Pihak asing sudah tertarik menawarkan 7 persen, kenapa tidak kita ambil? Dan kita tidak mengambil for free, kita tunjukkan kepada dunia bahwa kita bayar. Saya sangat hormat kepada (apa pun nantinya) putusan Mahkamah Konstitusi. Tapi saya prihatin bila ada lembaga negara yang menginterpretasikan undang-undang padahal itu bukan tugas mereka. l
Agus Dermawan Wintarto Martowardojo Pendidikan:
Karier:
Tempat dan tanggal lahir: Amsterdam, Belanda, 24 Januari 1956
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo