Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih dari 25 tahun berkarier sebagai wartawan di Radio Nederland Wereldomroep (RNW), Aboeprijadi Santoso tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya terhadap keputusan pengelola radio itu untuk menghentikan siaran berbahasa Indonesia. ”Penghematan memang tak terhindarkan. Tapi cara yang dilakukan Belanda adalah yang terburuk,” kata pria yang biasa dipanggil Tosi oleh teman-temannya itu, Rabu pekan lalu.
Krisis ekonomi yang mengancam Eropa memang menjadi alasan utama. Penutupan dilakukan setelah parlemen Belanda meloloskan rancangan yang mengurangi anggaran untuk radio itu hingga 70 persen. Dari biasanya US$ 46 juta, tinggal sekitar US$ 14 juta per tahun.
Bukan hanya siaran berbahasa Indonesia yang dipangkas. RNW juga menghentikan siaran berbahasa Belanda untuk para pendengarnya di seluruh dunia. Pangsa siaran ini adalah imigran yang tersebar di berbagai negara—umumnya bekas jajahan, seperti Indonesia, Suriname, dan Afrika Selatan—serta sopir truk Belanda yang bekerja di jalan-jalan di seluruh penjuru Eropa.
Siaran dalam bahasa Belanda resmi diakhiri pada Jumat, 11 Mei lalu, ditandai dengan siaran maraton selama 24 jam sampai hari berikutnya. Perayaan perpisahan itudihadiri oleh para mantan karyawan dan karyawan yang menyaksikan peristiwa bersejarah ini.
Ini adalah tahap awal dari keseluruhan perombakan di RNW, yang kemudian akan diikuti penghentian siaran berbahasa Indonesia pada 1 Juli mendatang. Mulai 2013, RNW hanya akan memfokuskan pada program yang mereka sebut free speech, yakni di negara-negara yang dianggap masih belum memiliki kebebasan berbicara, terutama di Afrika, Timur Tengah, dan Asia Timur. ”Mereka menganggap Indonesia sudah tidak punya masalah dengan kebebasan. Hal yang tidak sepenuhnya benar,” kata Tosi.
Mulai dipancarkan sejak 1 Mei 1947 dari studio mereka di kawasan Hilversum, atau dua pekan setelah siaran dalam bahasa Belanda diluncurkan, program berbahasa Indonesia ini awalnya ditujukan sebagai bagian dari propaganda perang. Itu adalahmasa antara agresi militer Belanda yang pertama dan yang kedua di Indonesia. Namun arah itu bergeser seiring dengan berubahnyaangin politik setelah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia Serikat di Amsterdam pada 27 Desember 1949.
Pada masa Orde Baru yang represif, RNW bersama siaran serupa dari BBC World dan Deutsche Welle juga menjadi media alternatif bagi pendengar di Indonesia. Mereka bisa berbicara jauh lebih bebas tentang apa yang terjadi di Indonesia—hal yang hampir mustahil dilakukan media di Tanah Air. ”Periode 1990-an adalah masa yang paling penting,” Tosi, yang memutuskan pensiun dini dalam usia 60 tahun pada 2007, mengenang.
Lalu datanglah era reformasi, ketika semua orang tak lagi takut mengungkapkan pendapat. Suara berani yang dipancarkan dari jauh itu perlahan meredup perannya. ”Secara kebetulan, krisis datang di Eropa. Di Belanda sendiri angin politik mengalami perubahan. Mulai muncul kelompok kanan yang mengkampanyekan gagasan inward looking, nasionalisme, dan sedikit banyak ada ketakutan terhadap Islam,” kata Tosi.
Pemimpin Redaksi RNW Rik Rensen ada di antara yang paling kecewa pada situasi ini. ”Negara-negara lain tetap melanjutkan siaran, seperti BBC World Service, Deutsche Welle, dan Voice of America. Sebagian besar produk nasional bruto Belanda berasal dari luar negeri. Seharusnya Belanda mempunyai ”wajah” dan suara sendiri di bagian lain dunia,” kata Rensen dalam situs resmi Radio Nederland.
Dengan rasa haru, pemimpin redaksi program bahasa Belanda, Peter Veenendaal, uga menyampaikan perpisahannya dalam siaran terakhirnya dari Hilversum. ”Dengan bangga, tapi juga dengan menyesal, kita berpisah di sini. Sekali lagi, terima kasih….”
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo