Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertengahan tahun lalu, Dewan Perwakilan Rakyat meluluskan Muliaman Darmansyah Hadad dalam fit and proper test calon komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ia bahkan terpilih sebagai Ketua Dewan Komisioner secara aklamasi, dan dilantik oleh Presiden sebulan kemudian. Muliaman menjadi nakhoda pertama lembaga yang disebut sebagai superbodi keuangan karena rentang wewenang dan tanggung jawab yang luas itu.
Per 31 Desember lalu, OJK mengambil alih fungsi pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), yang berada di Kementerian Keuangan. Sektor yang diatur antara lain pasar modal, asuransi, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan. Setahun kemudian, giliran fungsi pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan Bank Indonesia yang melebur ke OJK.
Setelah enam bulan berfokus pada penguatan institusi, OJK mulai melaksanakan fungsinya. Hal ini ditandai dengan kehadiran Muliaman pada pembukaan perdagangan hari pertama Bursa Efek Indonesia 2013, Rabu pekan lalu. Seusai peresmian dan menggelar sejumlah rapat, Muliaman menerima Adek Media Roza, Purwani Diah Prabandari, Ali Nur Yasin, Martha Thertina, dan Natalia Santi dari Tempo di bekas kantor Bapepam-LK, Lapangan Banteng, Jakarta.
Selain konsolidasi dan memperkuat organisasi, apa prioritas Anda saat ini?
Kami ingin OJK melakukan pengawasan yang lebih baik dan terintegrasi. Ini sangat penting karena semua lembaga keuangan berada di bawah naungan OJK.
Yang dimaksud terintegrasi ini seperti apa?
Begini. Bank memiliki anak perusahaan asuransi, lembaga pembiayaan keuangan, dan lainnya. Selama ini kan regulasi dan pengawasnya beda-beda, sehingga tidak efektif. Akibatnya, ada yang disebut blind spot, yaitu daerah yang tidak menjadi perhatian para pengawas. Ini bisa merugikan masyarakat dan stabilitas ekonomi.
Apakah ini yang terjadi pada kasus investasi bodong Antaboga, yang merugikan nasabah Bank Century?
Kasus Antaboga salah satu contohnya. Hal itu terjadi karena tiap pengawas merasa hal tersebut bukan urusan mereka. Keberadaan OJK bisa mencegah hal itu terjadi karena mengawasi lembaga keuangan secara keseluruhan.
Di samping lemahnya pengawasan, kasus Antaboga menunjukkan minimnya perlindungan terhadap nasabah.
Bidang ini boleh dikatakan kurang menjadi fokus, padahal sangat penting. Nah, Undang-Undang OJK jelas menyebutkan bahwa kami harus mengedukasi dan melindungi kepentingan konsumen. Bila lembaga keuangan gagal menangani isu-isu konsumen, mereka akan kehilangan loyalitas dan ditinggalkan.
Lalu apa yang dilakukan untuk melindungi konsumen?
Akan ada aturan yang mengatur bagaimana lembaga keuangan berurusan dengan konsumen. Antara lain, konsumen harus merasa memiliki cukup informasi untuk mengambil keputusan. Jadi, ketika konsumen membeli sesuatu, dia paham betul produk dan risikonya sehingga nanti, ketika rugi, tidak ada yang merasa ditipu. Kami juga membuat call center untuk masyarakat yang ingin menanyakan apakah satu produk investasi, misalnya, resmi terdaftar.
Bagaimana kalau terjadi perselisihan, misalnya konsumen merasa ditipu?
Call center tadi juga menjadi tempat melapor. Akan ada aturan bagaimana menyelesaikan perselisihan. Dalam beberapa hal, aturan ini tersebar di banyak tempat, juga di bank, maka akan kami coba gabungkan.
Konsumen kecil biasanya pasrah dan memilih tak memperkarakan bank karena ruwet prosedurnya.
Kalau masyarakat kecil harus ke pengadilan kan repot dan mahal karena harus sewa pengacara dan sebagainya. Karena itu, nanti ada mediasi dan kami menyediakan fasilitator serta mediator. Ini lebih baik daripada nasabah menulis di surat pembaca.
Bila bank atau lembaga keuangan dianggap melakukan pelanggaran dan merugikan konsumen, apa yang bisa dilakukan OJK?
Ini kelebihan OJK daripada BI: OJK punya hak penyidikan. Kami juga berhak membekukan rekening dan menghentikan kegiatan lembaga keuangan. Soal penyidik ini, kami masih mencari formula yang tepat, mungkin dengan meminta bantuan penyidik polisi dan penyidik pegawai negeri sipil. Saat ini fungsi penyidikan sudah dilakukan, tapi dengan sumber daya dari Bapepam-LK.
Bagaimana OJK mengurusi lembaga pembiayaan ”kelas jalanan” yang posternya menempel di tiang listrik atau angkutan umum?
Mulai 2015, OJK akan mengawasi lembaga keuangan mikro (LKM). Perlu cara khusus untuk menangani yang mikro ini. Saya akan berkomunikasi dengan mereka yang selama ini mengawasi, termasuk Kementerian Koperasi, juga ahli di bidang keuangan mikro. Saya juga bekerja dengan universitas di daerah. Kalau untuk mengawasi lembaga keuangan yang buka cuma hari Rabu begitu, saya kira mahasiswa tingkat IV bisa melakukannya.
Itu kan baru 2015. Sekarang apa yang bisa dilakukan untuk melindungi masyarakat?
Dari sisi permintaan (masyarakatnya) kita didik supaya tidak berhubungan dengan lembaga keuangan yang izinnya tidak jelas. Jangan mudah tergoda oleh tawaran-tawaran mereka.
Tapi apa itu cukup? Masyarakat beralih ke lembaga keuangan yang tidak jelas ini karena akses perbankan yang sulit.
Ya, masyarakat kan mencari lembaga keuangan yang aksesnya mudah—walau mungkin harganya lebih mahal—karena ada keperluan mendesak. Akses itu menjadi penting. Nah, bagaimana membuka akses masyarakat kepada lembaga keuangan merupakan salah satu yang kami pikirkan. Di negara maju, akses masyarakat ke lembaga keuangan jauh lebih mudah. Di Indonesia, masih ada 60 juta lebih masyarakat yang belum punya akses ke bank. Mereka merasa lebih bagus menyimpan uang di bawah bantal atau di peti. Padahal, semakin terbuka akses itu, semakin sejahtera rakyatnya.
Beberapa bank besar juga latah mengirim pesan pendek secara terus-menerus lewat sales-nya untuk menawarkan kredit. Ini sangat mengganggu. Apakah akan ditertibkan juga?
Saya juga dikirimi SMS tawaran itu hampir tiap hari. Tidak tahu siapa yang kirim. (Muliaman menunjukkan salah satu SMS di telepon selulernya. Isinya: tawaran pinjaman tanpa agunan sampai Rp 250 juta)
Bisa diusut kan pemilik nomornya?
Gampang, ada nomornya. Kami bisa bekerja sama dengan provider dan lembaga lain. Ini harus kita tertibkan.
Ini juga terkait dengan kerahasiaan data nasabah. Apakah akan ada sanksi kepada bank yang menyebarkan nomor telepon nasabahnya?
Ketika membuat kartu kredit, biasanya kita ngasih nomor HP, kan? Kita rela enggak data kita itu disebarkan? Nanti akan ada aturan. Saat membuat kartu kredit, ada kolom persetujuan rela atau tidak data kita disebar. Kalau ternyata data kita keluar juga, harus ada implikasi hukum yang serius.
Selain mengawasi praktek lembaga keuangan, OJK akan ambil bagian dalam penanganan krisis. Padahal hingga saat ini Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (RUU JPSK) belum juga disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Bagaimana protokol krisis saat ini?
Idealnya memang perlu ada UU JPSK. Saya bersyukur karena sudah masuk agenda prioritas di DPR. Sementara ini tentu kami punya undang-undang yang memayungi kebijakan yang kami ambil. OJK punya, Lembaga Penjamin Simpanan punya, BI punya, Kementerian Keuangan punya. Jadi kita sepakati ini dalam Forum Stabilitas Sistem Keuangan, yang diketuai Menteri Keuangan. Dengan adanya forum itu, jelas siapa melakukan apa dan bagaimana caranya. Paling tidak kami sudah bisa mendeteksi sejak persoalan akan muncul dalam waktu yang dekat.
Tapi, tanpa payung JPSK, apakah anggota Forum bisa mengambil keputusan dengan tenang tanpa khawatir di-”Century”-kan?
Betul, saya ingin mengatakan UU JPSK perlu. Sesegera mungkin agar kami berani dan merasa kuat dalam mengambil keputusan. Kalau sekarang, kami mau ambil keputusan juga ketar-ketir. Kalau disalahkan, kami jadi susah.
Dengan tugas yang besar ini, berapa anggaran yang diperlukan OJK tiap tahun?
Sekarang anggaran kami Rp 1,6 triliun. Selain biaya pegawai, ada biaya operasional pendahuluan. Infrastruktur awallah. Nanti, setelah fungsi pengawasan BI berpindah ke OJK, tinggal ditambah saja, sekitar Rp 1,5 triliun. Kemudian, kalau tambahan tugas dari pengawasan LKM, saya belum tahu lagi angkanya. OJK juga diminta membantu pemerintah daerah, memberi izin bagi usaha kecil-menengah dan LKM itu. Saya tidak tahu angka akhirnya seperti apa, tapi saya berharap tidak ada angka yang luar biasa.
Selain dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, OJK akan memungut iuran dari lembaga keuangan. Kabarnya ini menjadi keberatan para pelaku bisnis.
Ini cuma persoalan sosialisasi. Ini adalah perintah undang-undang karena disebutkan bahwa sumber pembiayaan OJK adalah APBN dan/atau pungutan pelaku industri. Kalau ke APBN kok saya tidak tega, karena banyak keperluan lain. Karena itu, saya menyusun rencana jangka panjang. Jadi, pada lima tahun ke depan, dana APBN hanya sedikit yang dipakai. Misalnya sekarang antara APBN dan iuran berbanding 100 : 0 (100 persen APBN), tapi nanti menjadi 25 APBN, 75 persen pungutan. Dana yang ditarik itu kan juga digunakan untuk memajukan industri keuangan kita.
Kapan iuran mulai dipungut?
Pertengahan tahun ini.
Apakah besaran pungutan 0,03-0,05 persen dari aset lembaga keuangan itu sudah ditetapkan?
Itu kan range, jadi kita berharap semua akan mulai dari angka paling rendah. Lalu secara gradual empat tahun ke depan ke angka paling tinggi. Undang-Undang OJK mengatakan, kalau pungutan melebihi kebutuhan, harus diberikan ke APBN. Jadi malah nanti OJK menyumbang APBN. Sebab, industri keuangan ini terus berkembang. Sedangkan kebutuhan OJK itu-itu saja. Untuk bayar gaji, belanja, dan belanja investasi, misalnya ingin membangun gedung. Pengeluaran-pengeluaran extraordinary kan tidak ada.
Muliaman Darmansyah Hadad
Tempat dan tanggal lahir: Pendidikan:
Karier:
Bekasi, 3 April 1960
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo