Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Dari Harvard Tak Hanya Jalan Kaki

Sejumlah taipan Indonesia menjadi donor universitas asing. Bekerja sama dengan Universitas Harvard, Peter Sondakh mengusung program kebijakan publik.

6 Januari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kampus Harvard Kennedy School, pertengahan September 2012. Belasan orang yang saban pagi menyusuri kampus menembus udara sejuk musim gugur itu bukanlah mahasiswa biasa. Mereka adalah para bupati dan kepala badan perencanaan pembangunan daerah asal Indonesia yang tengah menimba ilmu di Negeri Abang Sam. Jarak 1,5 kilometer dari asrama menuju kampus di kawasan Cambridge, Massachusetts, itu mereka jalani dengan suka hati. "Setiap pagi kami jalan bersama. Cukup jauh, tapi menyenangkan," ujar Bupati Luwu Timur Andi Hatta Marakarma.

Saking menyenangkan, sesi jalan kaki sebelum belajar itu mungkin menjadi kenangan bagi para pemimpin daerah yang mengikuti Executive Education Training Program di Harvard Kennedy School tersebut. Tapi tentu saja tujuan program berbiaya total US$ 20,5 juta ini bukan sekadar memberikan kenangan indahnya jalan kaki bersama. Di sana mereka menimba ilmu kebijakan publik, yang diharapkan bermanfaat saat memimpin daerah.

Menariknya, para bos daerah tersebut tak perlu mengeluarkan dana pribadi atau kas daerah untuk berguru selama tiga pekan (sejak 17 September hingga 5 Oktober 2012) itu. Program senilai US$ 10-15 ribu per peserta itu sepenuhnya didanai Rajawali Foundation.

Dalam rilisnya, John F. Kennedy School of Government di Harvard University menyatakan program ini bertujuan mempromosikan penelitian, pendidikan, dan pengembangan kapasitas dalam mendukung pemerintahan demokratis. Juga membantu transformasi kelembagaan di Asia Tenggara. Darjoto Setyawan, Managing Director Mining & Resources Corporate Relations Rajawali Corp, mengatakan kerja sama dengan Harvard itu berasal dari ide bos Rajawali Corp, Peter Sondakh, yang tak mau program corporate social responsibility biasa-biasa saja.

Peter tak ingin menjalankan program corporate social responsibility yang sudah jamak dilakukan pihak lain. Dia ingin sebuah program yang memiliki dampak besar bagi Indonesia. "Ia melihat (pendidikan) public policy berpengaruh sangat besar saat ini," ujar Darjoto.

Adapun Harvard dipilih karena reputasi program pendidikan kebijakan publiknya diakui di dunia. Maka, "Bupati yang belajar di Harvard pengaruhnya tinggi sekali, sehingga dia berkomitmen melakukan apa yang diketahuinya," kata Darjoto.

Agung Binantoro, Direktur Rajawali Foundation, mengatakan kerja sama dengan Harvard dimulai pada 2010 dan akan berlangsung selama lima tahun. Menurut dia, program ini tidak hanya diterapkan bagi para bupati. Rajawali juga membiayai delapan orang Indonesia yang mengikuti research fellow setiap tahun. "Program ini juga terbuka untuk semua warga Indonesia yang terkait dengan kebijakan publik, baik peneliti, pejabat pemerintahan, maupun yang mengambil PhD/master."

Dana ada. Perguruan tinggi yang keren pun bersedia menjalin kerja sama. Lalu dipilihlah peserta yang dianggap mumpuni. Juru bicara Kementerian Dalam Negeri, Rey­donnyzar Moenek, mengatakan para bupati yang dikirim adalah orang terbaik hasil reorientasi Badan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Dalam Negeri.

Reorientasi dilakukan karena sebagian besar kepala daerah belum berpengalaman dalam pemerintahan. Maklum, di era keterbukaan ini, para pemimpin daerah bisa datang dari mana saja. "Ada artis, alim ulama, atau pengusaha," ujar Reydonnyzar. Jadi reorientasi dilakukan untuk memberikan pemahaman terhadap dinamika penyelenggaraan pemerintahan.

Di dalam kelas, secara pedagogis Harvard menekankan studi kasus, implementasi, dan rencana aksi. Para peserta, misalnya, mempelajari keberhasilan Bogota dan Beijing mengatasi masalah kemacetan.

Selain itu, ada sesi magang di negara bagian untuk melakukan pelayanan publik. "Mereka berinteraksi dan membuat rekomendasi kebijakan atau action plan," ujar Reydonnyzar. Para mahasiswa istimewa itu juga membuat kertas kerja tentang apa yang akan dilakukan di daerah. "Hal itu diperlukan untuk monitoring dan evaluasi oleh Kementerian."

Para peserta tentu tidak datang ke Harvard dengan bekal pengetahuan nol. Sebelumnya, mereka mendapat materi pengantar di Jakarta. Tiga fasilitator dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Brawijaya pun ikut mendampingi mereka saat di Amerika. Tugas orang-orang kampus ini adalah memberikan bahan-bahan konteks Indonesia.

Sepertinya, semua materi program bisa dilalui dengan baik. Apalagi, bagi yang belum lihai berbahasa Inggris, sudah ada penerjemah di kelas. Jadi mereka tak perlu galau, dan semua materi bisa diterima kumplit.

Maka kini, setelah pulang ke daerah masing-masing, para pemimpin itu ramai-ramai menunjukkan hasil belajarnya. Bupati Padang Pariaman Ali Mukhni mengungkapkan, saat kuliah, mereka diminta mencari keunggulan daerah masing-masing. Kini ia akan berfokus pada perbaikan irigasi plus pembuatan irigasi baru untuk pertanian masyarakat. Pemerintahnya juga akan memfasilitasi biaya kesehatan pada 2013. "Anggarannya sudah disetujui DPRD. Besarnya Rp 9 miliar," ujarnya.

Andi Hatta tak mau kalah. Untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Luwu Timur 2013, dia sukses memangkas Rp 40 miliar anggaran sejumlah dinas. Anggaran yang dipangkas itu adalah honor pegawai, ongkos perjalanan dinas, biaya kegiatan seremonial, dan belanja lain. Anggaran itu dialihkan untuk kebutuhan masyarakat, seperti pembangunan puskesmas dan sarana umum lain. "Ini oleh-oleh saya setelah belajar dari Amerika," ujarnya.

Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo melakukan langkah serupa. Mulai 2013, setiap satuan kerja perangkat dinas harus mengajukan permohonan anggaran yang dibutuhkan dengan memenuhi tiga komponen, yakni dukungan lingkungan dan politik, kompetensi sumber daya manusia dan sarana, serta asas manfaat publik. "Hasilnya, untuk pertama kalinya, belanja langsung Gowa untuk pembangunan tembus 42 persen," kata ketua alumnus Executive Education Training Program Harvard itu.

Oleh-oleh Ichsan bukan hanya berupa pemotongan anggaran. Kenangan jalan kaki bersama saban pagi pun ia tularkan kepada anak buahnya. Saat Tempo menyambangi rumah dinasnya beberapa waktu lalu, dia tengah mengajak jajaran pemimpin daerah dan pengusaha berjalan pagi mengitari kompleks rumah dinasnya sejauh satu kilometer. Tuk-wa, tuk-wa, tuk-wa….

Erwin Zachri, Febrianti, Irmawati, M. Adnan Husain


Ke Singapura Dana Mengalir

Sebenarnya tidak sedikit taipan Indonesia yang menggelontorkan dananya untuk universitas-universitas luar negeri. Selain Peter Sondakh dari Rajawali Corp, setidaknya dua pengusaha juga menyokong universitas di Singapura. Mereka adalah Tahir dan Mochtar Riady. Keduanya menjadi donor ratusan miliar rupiah untuk National University of Singapore (NUS).

Bos Grup Mayapada, Tahir, 59 tahun, di awal 2012 menggelontorkan Sin$ 30 juta atau sekitar Rp 237 miliar ke Yong Loo Lin School of Medicine, NUS. Dalam rilis di situs webnya, NUS menyebut sumbangan Tahir itu sumbangan alumnus terbesar terhadap universitas.

Kepada Tempo, Tahir mengatakan dana tersebut ditempatkan selama sepuluh tahun untuk membiayai riset sel punca (stem cell). Dana ini antara lain digunakan untuk mendatangkan ahli dari berbagai negara. "Penemuan itu nantinya bukan hanya menjadi milik Singapura," ujarnya.

Sel punca merupakan sel yang belum berdiferensiasi dan mempunyai potensi yang sangat tinggi untuk berkembang menjadi banyak jenis sel. Di dunia internasional, pengobatan stem cell banyak diterapkan pada pengobatan diabetes tipe 1 dan 2, sirosis atau penyakit hati yang sudah parah, sindrom ginjal, radang lupus ginjal, serta penyakit tulang.

Meski bertujuan riset, langkah Tahir mendapat kritik Tellie Gozelie dari Dewan Penasihat Pengurus Pusat Perhimpunan Indonesia Tionghoa. Menurut dia, penelitian sel punca sudah lama ada di negara maju dan mereka tidak kekurangan dana. "Bagi saya, Rp 240 miliar itu tidak kecil. Lebih baik dia berikan untuk riset pertanian dan kelautan di dalam negeri," ujar anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Bangka Belitung ini. Tahir menyatakan berinvestasi juga di rumah sakit dalam negeri.

Adapun Mochtar Riady menggelontorkan dana Sin$ 21 juta untuk NUS. Pendiri dan ketua Grup Lippo itu menyumbang untuk NUS Business School. Sumbangan itu ditandai dengan berdirinya sebuah gedung atas namanya: Mochtar Riady Building, yang diresmikan 24 September 2010. Kawasan ini sekaligus menjadi pintu gerbang selatan ke NUS.

Tahir menyatakan sumbangannya tidak ada kaitannya dengan sumbangan sang mertua, Mochtar Riady. "Kebetulan saya menantu beliau, tapi secara usaha kami independen. Dia nyumbang tidak kasih tahu saya. Saya nyumbang juga tidak kasih tahu dia," katanya.

Selain di kesehatan, Tahir aktif di bidang pendidikan dan olahraga. Dia menjadi Wakil Ketua Wali Amanat Universitas Pancasila serta ikut membantu Tanri Abeng University. Di bidang olahraga, Tahir selama sepuluh tahun menjabat Ketua Umum PB Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia. Ia kini juga aktif di Persatuan Judo Seluruh Indonesia.

Erwin Zachri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus