Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jackie Chan is a myth."
—Jackie Chan
Tapi Jackie Chan bernapas. Ia makan, tidur, tersenyum, berak, lari, berakting, melakukan loncatan akrobatik, dan menikmati seks. Tapi seperti kebanyakan orang dengan kemasyhuran tertentu, ia punya bayang-bayang. Hampir tiap saat bayang-bayang ini, dalam bentuk Jackie Chan tapi dengan ukuran yang kadang lebih besar, berada rapat di belakangnya. Atau di depannya.
Yang membuat bayang-bayang itu hadir tentulah ulah dan kerja Jackie Chan sendiri; jangan dilupakan: itu bagian esensial dunia film. Namun lebih penting lagi si bayang-bayang ada di sana karena orang lain, baik pengagum maupun pencerca, telah memproduksinya—sebagai ikhtiar "menangkap" Jackie Chan yang senantiasa luput dari definisi.
Yang istimewa dari diri tokoh ini (atau bayang-bayangnya, atau citranya) adalah geraknya yang cekatan, kelenturannya untuk lepas dari perangkap, sikapnya yang sedikit bego dan sedikit bermain-main, tapi tahan banting dan menunjukkan daya tahan yang luar biasa.
Tentu bukan karena itu ia mengatakan dirinya "sebuah mithos". Tapi bagaimanapun, satu sisi mithos adalah "gerak": sebuah mithos, seperti Jackie Chan dalam film, tak pernah terpacak mandek. Itu sebabnya, seperti saya katakan tadi, ia selalu luput untuk disimpulkan. Sebuah mithos tak pernah jadi sumber kebenaran yang sudah tak bisa diubah, terpaku di luar waktu. "Kebenaran" sebuah mithos bukanlah cocoknya secara penuh antara "dongeng" dan "fakta"; bobot naratifnya mengapung dari satu pengalaman ke pengalaman lain manusia.
Tapi justru dengan demikian mithos tak terpisah dari kehidupan sehari-hari. Ketika Marlene Dietrich, bertentangan dengan Jackie Chan, mengatakan bahwa ia bukan mithos, ia benar dan juga keliru. Seperti banyak orang, ia mengira lawan dari mithos adalah kehidupan nyata. Tapi ia lupa, yang "nyata" selamanya tampak dalam gerhana, dengan penumbra—terang yang juga menunjukkan tak seluruhnya terungkap, seperti Marlene sendiri dalam Blue Angel.
Di waktu kecil, saya pernah melintasi Pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Plateau yang merupakan lantai kaldera 2.000 meter di atas permukaan laut itu sejak tiga milenia yang lalu agaknya sudah memancarkan aura yang tak lazim. Nama "Dieng" berasal dari kata "di Hyang", tempat Dewa bersemayam. Siapa yang pernah mengunjungi tanah tinggi ini akan melihat delapan candi Hindu berukuran kecil berderet. Tapi waktu itu saya percaya—seperti juga orang yang menemani saya percaya—bahwa jumlahnya hanya lima. Dikatakan bahwa kelima bangunan itu adalah ruang tempat lima kesatria Pandawa dari kisah Mahabharata datang bersemadi di malam-malam tertentu, merenungkan dosa mereka dalam perang dan kekuasaan.
Setelah dewasa, saya menertawai dongeng itu. Para arkeolog menegaskan candi-candi kecil yang dibangun sekitar tahun 750 itu adalah delapan konstruksi yang semula berjumlah 400, didirikan untuk memuja Shiva. Ada ukiran topeng muka jahat dan gergasi laut pada arsitektur itu, yang mungkin merintis keindahan Prambanan hampir 200 tahun kemudian. Tak ada tanda-tanda cerita Mahabharata.
Tapi Mahabharata, di daerah masa kecil itu, bukan sekadar sebuah epos. Meskipun penduduk umumnya muslim, nama para dewa Hindu, para kesatria yang baik dan berani dalam wiracarita itu, juga para sosok jahat, hidup dalam laku dan bahasa sehari-hari. Jarang sekali ada pertunjukan wayang kulit yang mementaskan adegan perang terakhir keluarga Bharata itu, di mana orang-orang besar dikisahkan gugur dalam kemuliaan ataupun kekejian. Bagi penduduk desa yang saya kenal, lakon pertempuran dahsyat itu harus disertai upacara yang khidmat. Orang takut akan sesuatu yang mungkin menghadang di hari esok, jangan-jangan imbas kekerasan, dukacita, dan kesia-siaan Bharatayudha.
Sekitar akhir tahun 1960-an ada sebuah pementasan wayang kulit sebulan penuh yang menampilkan riwayat para Pandawa dan Kurawa sejak mereka muda belia sampai dengan saat mereka tewas di dalam dan setelah pertempuran. Di ujung pementasan itu satu upacara menyusul: jasad Sengkuni (yang tak lain adalah bentuk yang diukir dari kulit kerbau) diangkut ke Lautan Hindia untuk dilarung. Sengkuni adalah tokoh paling keji dalam lakon. Ia sudah terbunuh. Ia harus dibuang dan tak boleh kembali ke kehidupan.
Tampak, mithos bukan cuma sebuah fantasi, melainkan bagian kehidupan yang menjawab hasrat manusia melampaui keterbatasan dan kegelapan. Mithos, kata Karen Armstrong, menatap ke dalam "jantung sebuah kebisuan agung", the heart of a great silence. Kebisuan tentang datang dan hilangnya rasa bahagia dan murung, kebisuan tentang sangkan paraning dumadi, asal dan arah dari semua yang terjadi dan menjadi.
Menatap ke dalam kebisuan itu, manusia merasa mendapatkan sesuatu: sebuah pengalaman yang tak terkatakan. Di gua-gua manusia Neanderthal ditemukan kubur dengan kerangka tubuh yang terletak seperti fetus dalam kandungan. Konon itu ungkapan pengalaman mereka tentang teka-teki kematian dan ketakjuban kelahiran. Apa pun arti gambar-gambar hewan di gua-gua Lascaux yang berumur 17.300 tahun itu, mereka tampak mencoba menangkap kembali apa yang mempesona dalam hidup dari musim ke musim. Manusia adalah makhluk yang terpesona dan mengutarakan keterpesonaannya. Dari situ juga lahir mithos.
Sekian puluh milenia kemudian—di masa Jackie Chan—keterpesonaan itu ternyata tak berakhir. Juga rasa takjub dan gentar kepada kebisuan agung. Ada yang menyangka ilmu & teknologi telah menghapusnya sebagaimana mereka kelak akan mengalahkan agama. Tapi, seperti Jackie Chan dalam film, mithos bergerak terus, memberi arti kepada hidup yang tak seluruhnya jelas.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo