Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cuaca buruk selama beberapa bulan terakhir ini membawa imbas kepada Eddie Widiono Suwondho, 54 tahun. Direktur Utama PT PLN ini nyaris tak pernah bisa beristirahat. Jadwalnya dipadati berbagai pertemuan. Maklum, cuaca tak bersahabat itu mengirimkan beban berat. Perusahaan setrum yang dipimpinnya mengalami paceklik bahan bakar.
Kapal pengangkut batu bara terombang-ambing di tengah laut dan tak bisa merapat ke dermaga. Akibatnya, pasokan batu bara untuk pembangkit listrik di Jawa pun terhenti. Sudah diduga, seluruh jaringan interkoneksi Jawa-Bali dinyatakan dalam kondisi darurat. Pemadaman bergilir terpaksa dilakukan.
Ini krisis ketiga dalam satu tahun terakhir. Sebelumnya, Desember 2007, PLTU Tanjung Jati B berhenti beroperasi karena kurangnya pasokan bahan bakar. Pada tahun yang sama, dua PLTGU, yaitu Muara Karang dan Tanjung Priok, terancam overload karena kenaikan beban.
Krisis ini menyulut berbagai protes. Apalagi, persoalan listrik sejatinya sudah berlangsung sejak 1999. Muaranya, selain persoalan pasokan bahan bakar, juga konsumsi yang bertambah, tarif listrik yang naik, dan kapasitas pembangkit yang terbatas. Belum lagi, menurut undang-undang, posisi PLN menjadi tanggung dan tak memungkinkannya bergerak dari hulu ke hilir untuk mengamankan pasokan energi.
Kamis pekan lalu, di tengah kabar kencang pergantian dirinya, Eddie Widiono menerima Widiarsi Agustina, Grace Gandhi, Heri Susanto, dan Bayu Galih dari Tempo di kantornya, kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk berbincang-bincang seputar keruwetan listrik yang melanda negeri ini. Berikut nukilannya.
Lagi-lagi, pasokan listrik Jawa-Bali mengalami krisis sehingga PLN melakukan pemadaman bergilir. Apa yang sesungguhnya terjadi?
Kondisi itu terjadi karena cuaca buruk yang menyebabkan keterlambatan teknis pengiriman bahan baku batu bara. Akibatnya, terjadi keterbatasan pasokan. Kondisi itu lumayan parah sehingga kami melakukan pemadaman bergilir, namun tidak lama karena semuanya sudah teratasi.
Krisis seperti ini kan sudah sering terjadi.
Tunggu. Kalau krisis pasokan batu bara, ini yang kedua. Pada 2006, PLTU Suralaya mengalaminya karena pasokan dari PT Bukit Asam terganggu akibat jalur transportasi kena banjir.
Apa masalah yang lebih mendasar di sektor listrik?
Begini, sektor listrik tak ubahnya sektor lainnya yang terus tumbuh. Pertumbuhan ini didorong kebutuhan masyarakat. Masalah muncul ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Nomor 20/2002 soal kelistrikan. Listrik jadi sektor hilir di bidang energi yang regulated. Hulunya adalah sektor energi primer seperti batu bara dan gas, yang pasar dan mekanismenya sudah ada. Salah satunya UU Migas tahun 2001 yang sangat propasar. Akibat pembatalan itu, PLN dihadapkan pada kondisi tarif dasar listrik PLN diregulasi oleh pemerintah. Sementara PLN dihadapkan pada masalah hulu, pasokan energi yang harganya terus meningkat.
Posisi PLN terjepit?
Ya, tapi bukan kami yang menghendaki begini. Ini amanat UU yang harus ditanggung PLN. Akibat pembatalan UU Listrik itu, peran membangun fasilitas kelistrikan seperti pembangkit bukan lagi peran utama kami. Selain itu, kami juga harus menerjemahkan regulasi di hilir dengan melihat sektor hulu.
Maksudnya?
Pada akhirnya, kami harus berjuang mati-matian jika pemasok berniat mengubah harga. Meski kami pembeli terbesar dalam pasar batu bara, kami tak bisa mengendalikan harga. Walau pembeli terbesar, kami harus menghadapi kenyataan pasar batu bara dalam negeri dan luar negeri itu sudah menjadi satu. Kami juga harus bersaing dengan pembeli dari luar negeri yang mata uangnya lebih kuat dan lebih cepat mengambil keputusan karena tak ada urusan dengan birokrasi. Inilah yang membuat posisi kami pelan-pelan ditinggalkan oleh pemasok.
Posisi tawar PLN lemah?
Itu tak hanya untuk batu bara, tapi juga gas dan solar. Harusnya di pasar ada regulator, apakah harga yang dicapai dalam kontrak itu sustainable atau tidak. Selain itu juga kami mengalami kendala di sektor pengangkutan. Urusan pelayanan listrik tak hanya semata urusan transmisi; tapi kalau energi primer tidak tertata, semua sia-sia.
Dalam kasus PLTU Tanjung Jati B, sebenarnya manajemen persediaan itu tanggung jawab siapa?
Khusus Tanjung Jati B, ini soal korporasi. Di situ ada benturan dalam rencana pasokan batu bara. Apakah sepenuhnya kami serahkan kepada pemasok? Kami terima di pagar kami dalam bentuk CNF (cost and freight)? Atau, kami beli batu bara dan angkut dengan kapal yang kami sewa?
Akhirnya apa yang dipilih?
Kenyataannya, di Tanjung Jati B itu adalah FOB (Free on Board) plus pengangkutan kapal atau pola kontrak terima di tempat. Masalahnya, saat tender, kami kurang memahami konsekuensi model seperti ini. Repotnya lagi, ada aturan yang mewajibkan kita harus menggunakan kapal berbendera Indonesia. Sementara kapal pengangkut berbendera Indonesia sangat terbatas dan tak hanya digunakan untuk mengangkut batu bara saja. Nah, ketika cuaca buruk dan kapal terbatas, mau tidak mau pengiriman pasokan batu bara terganggu. Kami akhirnya minta izin Departemen Perhubungan untuk memakai kapal berbendera asing untuk pengangkutan. Izin diberikan sampai bulan April untuk waktu pendek sekali. Setelah itu, izin akan dicabut lagi.
Artinya stok pasokan itu tak mencukupi?
Pasokan itu biasanya dikirim setiap bulan untuk cadangan sebulan. Biasanya di PLTU Suralaya dan Tanjung Jati B sekitar 330 ton untuk satu bulan. Tapi karena cuaca selama Desember dan Januari terus memburuk, tinggal untuk dua minggu, karena terus dipakai menghidupi pembangkit. Cadangan yang tinggal dua minggu ini juga terus menipis. Khusus Tanjung Jati B, kami sudah menaikkan stok sampai satu bulan ke depan. Kami juga membuat kontrak baru pasokan batu bara dengan 60 pengembang baru. Ini dilakukan karena 10 pengembang batu bara yang sudah ada tidak mampu memenuhi kebutuhan pasokan.
Kondisi ini rawan sabotase….
Jangan terburu-buru berpikir sejauh itu. Saya kira tak ada motif sabotase. Kami kan kontrak supplier untuk jangka waktu dan harga tertentu. Sementara di luar, harga itu naik terus. Sangat wajar kalau pemilik barang mengurangi sedikit-sedikit. Saya kira ini bisnis.
Memangnya seberapa besar disparitas harga di dalam atau di luar negeri?
Tergantung harga kontrak jangka menengah dan kontrak harga spot. Di luar US$ 70 (sekitar Rp 630 ribu), sementara harga jangka panjang US$ 50-56 (sekitar Rp 450-494 ribu) per metrik ton.
Mengapa PLN diam saja saat ada pemasok yang tak menepati janji?
Kami sudah melakukan berbagai cara. Dari menyurati, mengajukan gugatan—tapi itu semua makan waktu, sementara kebutuhan batu bara itu tiap hari. Jadi, antara kami menuntut dan membutuhkan harus ada titik optimumnya. Apalagi, mengingat batu bara adalah suppliers market, bukan buyers market.
Apa tidak bisa membuat klausul yang lebih mengikat mereka dalam perjanjian?
Justru ada klausul yang membuat mereka bisa lolos. Force majeure, misalnya. Ini kan tak bisa dikatakan sebagai sabotase atau kelalaian. Begitu pula kerusakan dermaga. Ini menyebabkan mereka bisa under performance yang membuat kita tak bisa tuntut. Karena itu, kami akhirnya berhitung kemampuan bahan bakar. Berapa yang harus diangkut dalam satu-dua bulan dan stok harus cukup. Ini memang keputusan berat karena, ujung-ujungnya, biaya produksi naik.
Melihat harga batu bara yang terus naik, agaknya ini akan menjadi persoalan panjang bagi PLN. Apakah akan tetap melakukan pemadaman?
Situasi saat ini tak ubahnya seperti makan kacang kedelai. Menekan ujung agar bijinya keluar. Masalah pembangkit sudah kami tekan, muncul masalah lainnya. Tapi kalau urusan hulu, yaitu energi primer, masih seperti ini, kami hanya bisa bertahan. Karena itu, kami meminta masyarakat menghemat energi. Kalau tidak menghemat, terpaksa kita padamkan.
Bukankah kebutuhan rumah tangga lebih kecil dibandingkan industri?
Cukup besar, sekitar 40 persen, kira-kira 45 miliar kwh per tahun. Kalau 1 kwh menghabiskan 0,3 liter, ya kira-kira 3-4 juta kiloliter. Masalahnya, urusan penghematan ini terkait dengan gaya hidup masyarakat. Masyarakat belum sepenuhnya paham penghematan listrik itu artinya memberikan warisan energi bagi anak-cucu. Sebab, yang kita hamburkan itu adalah energi yang tidak diperbarui. Jadi, sekali hilang, wallahualam kapan bisa diganti.
Soal kebijakan insentif dan disinsentif, bukannya itu pembatasan?
PLN bukan membatasi. Kami hanya minta, turunkan konsumsi Anda. Kalau bisa menghemat dari batas yang kami berikan, kami beri insentif atau pengurangan. Jika tidak, ada sanksinya. Ini kan semacam shock therapy. Awalnya akan kaget, tapi lama-lama kita paham, ternyata kita telah memakai energi secara tidak wajar.
Bukannya ini upaya PLN menaikkan tarif listrik diam-diam?
Jangan berpikir seperti itu. Angka-angka itu secara logika menunjukkan kalau masyarakat menghemat listrik, ongkos produksi kami juga menurun dan pendapatan kami meningkat. Kalau tetap boros, kami cuma dapat Rp 8,6 triliun. Jadi, tidak ada alasan moril apa pun bagi PLN untuk menyatakan kami lebih suka masyarakat boros.
Bagaimana kondisi pembangkit PLN? Bisakah mencukupi kebutuhan?
Kapasitas pembangkit kita mencukupi. Bahkan kapasitas mesin kita jauh di atas itu, terutama jika dihitung pas beban puncak dan dioperasikan semua, ada pembangkit air, uap, panas bumi dan minyak. Hanya memang pembangkit minyak, biaya produksinya hampir empat kali biaya batu bara. Kami berharap yang minyak dihapus saja, tak perlu dipakai.
Bukannya dari dulu PLN lebih suka membangun pembangkit berbahan bakar minyak dan gas?
Ya, kalau itu dianggap dosa PLN. Sebenarnya, dengan harga BBM yang murah di masa lalu dan PLN bisa memasok kebutuhan masyarakat, itu konsekuensi logis. BBM disubsidi harganya murah, kenapa kita mesti susah-susah membangun pembangkit batu bara? Jadi, kebijakan hulu yang sebenarnya menentukan.
Kalau pasokan batu bara terkendala, semua pembangkit BBM akan diaktifkan?
Nggak. Bagaimana mau dioptimalkan? Wong BBM nggak boleh tambah. Makanya kami kembali ke masyarakat, tolong dong, hemat, please. Kalau tidak, apa boleh buat, kami terpaksa melakukan pemadaman. Dulu saya dimarahi, Dirut, tak boleh menyatakan listrik padam. Itu dianggap menyandera masyarakat. Karena itu, tolong hemat. Kalau tidak, PLN mati. .
Sampai berapa subsidi listrik?
Perkiraan kami, tahun 2008 sekitar Rp 67 triliun, tapi Menteri Keuangan minta kami berhemat, jadi dipotong Rp 10 triliun. Lalu dipotong lagi Rp 2 triliun. Sisanya Rp 55 triliun.
Sampai kapan pemerintah akan terus memberi subsidi?
Subsidi terbesar Rp 55 triliun. Itu adalah subsidi yang dicatat dalam laporan laba rugi, tapi cash flow tak sebesar itu. Ini konsekuensi logis dari kenyataan PLN tak dibenarkan memadamkan listrik jika mengalami defisit, karena BBM. Baru belakangan saja pemerintah berusaha menahan subsidi tersebut. Kami sebenarnya tak mau mengancam pemadaman, tapi, sejujurnya, kami melihat ada gap antara biaya pendapatan PLN dan biaya produksi. Jurang yang menurut UU seharusnya diisi pemerintah dengan subsidi tak pernah cukup dan akhirnya PLN merugi. Kemudian diumumkan ke mana-mana, PLN ini penyumbang rugi terbesar. Akhirnya masyarakat semakin sinis pada PLN.
Tapi PLN kan juga harus menghitung, kerugian akibat pemadaman juga tidak sedikit.…
Tapi apa itu dosa PLN? Saya menggugat media yang sering memberi stigma PLN tidak melakukan efisiensi. Dengan stigma itu, bila PLN menyuruh berhemat, masyarakat menjawab, “Hemat, hemat. Memangnya PLN hemat?”
Apa pilihan terbaik dalam jangka pendek untuk pembangkit baru PLN?
Batu bara.
Bagaimana dengan pembangkit tenaga nuklir?
Masalahnya bukan engineering, tapi sosiopsikologis. Masyarakat dihantui pertanyaan jika bocor. Pertanyaan berikutnya, apakah harga listrik hasil PLTN di Indonesia itu bisa semurah Korea nantinya? Jatuhnya mahal juga karena bahan bakar nuklir kan komoditas yang strategis.
Prediksi Anda, kapan PLN bisa untung?
Mungkin bukan PLN untung deh, tapi bagaimana PLN bisa melepaskan diri dari subsidi. Sebenarnya kami tinggal diberi target berapa harga jual listrik yang terjangkau? Pemerintah memberi kami patokan harga industri, kami menghitung mundur. Jika pemerintah minta kami memperbaiki efisiensi 10 persen, kami yakin bisa mencapainya.
Kabarnya, PLN beli BBM dari Pertamina dengan harga jauh lebih mahal?
Mahal sih mahal, tapi itu juga bukan keputusan PLN. Itu karena pasar migas dulu adalah pasar regulated dan hanya Pertamina yang masuk. Belakangan ini kami buka tender dan akhirnya menjadi masukan untuk menentukan pasar BBM. Lagian, Pertamina juga BUMN. Kalau tidak memasok atau BBM tak sampai, listrik juga bisa padam. Memang ada tata niaga yang regulated dan tidak, sesuai dengan UU Migas, sehingga mendorong pemain baru. Oke kami ikut, tapi ada juga faktor harga yang lebih baik, namun risiko meningkat. Semua kami perhitungkan.
Eddie Widiono Suwondho
Tempat dan Tanggal Lahir: Malang, 15 Mei 1953
Pendidikan:
- Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung, 1976
- Master dalam bidang sistem kontrol, University of London, Inggris 1989
- MBA pada Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya Mulya, 1994
Karier:
- Staf penguji pada proyek induk pembangkit termal PLN, Kepala Bagian Konstruksi, Kepala Bagian Perencanaan (1977-1987)
- Kepala Subdivisi Logistik dan Operasi Jaringan PT PLN (kantor pusat, 1990-1995)
- Direktur Usaha dan Pengembangan PT PLN PJB I (1995-1998)
- Direktur Marketing dan Distribusi PT PLN (1998-2001)
- Direktur Utama PT PLN (2001-sekarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo