Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=#FF0000>Sutanto</font><br />Ancaman dari Luar Harus Diwaspadai

25 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secara beruntun aparat keamanan Indonesia menghadapi tantangan dalam memelihara rasa tenteram di masyarakat. Belum reda hawa panas akibat kerusuhan di Cikeusik, Banten, dan Temanggung, Jawa Tengah, muncul teror bom buku di berbagai tempat di Ibu Kota. Kecemasan kian membekap masyarakat setelah terjadi bom bunuh diri di Masjid Az-Zikra di halaman Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon, Jawa Barat. Dan pekan lalu, muncul teror bom menjelang perayaan Paskah di Serpong, Banten.

Menghadapi tantangan itu, aparat intelijen seperti biasa menjadi sasaran kritik. Mereka dianggap kebobolan dalam mengantisipasi bahaya. Di sisi lain, aparat intelijen merasa tak dilengkapi kewenangan dengan dasar hukum yang kuat. Kewenangan main tangkap seperti di masa Orde Baru jelas tak lagi ditoleransi saat ini. ”Kami juga tak ingin mengulang trauma masa lalu,” kata Kepala Badan Intelijen Negara Jenderal Polisi (Purnawirawan) Sutanto.

Bekas Kepala Kepolisian Negara RI ini menekankan keinginannya agar BIN tak lagi bermain di wilayah ”gelap”. Wewenang hendaknya dibuat ”terang” lewat undang-undang. Dia menyayangkan kontroversi dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Intelijen di Dewan Perwakilan Rakyat, terutama tentang wewenang penyadapan dan pemeriksaan secara intensif.

Perspektif BIN, kata Sutanto, kini tak lagi melihat ancaman besar terhadap negara dari dalam negeri. ”Pelaku di dalam negeri tak akan lari ke mana-mana. Justru ancaman dari luar negeri yang mesti dicegah.” Dia juga menegaskan, bila terjadi makar, ”Itu porsi polisi, bukan BIN.”

Kamis dua pekan lalu, Sutanto menerima Nugroho Dewanto, Widiarsi Agustina, dan Yophiandi di kantornya di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan. Dia didampingi beberapa anggota staf, termasuk Sekretaris Utama Suparto dan Ketua Dewan Analisis Rubiyanto. Sutanto menjelaskan berbagai masalah keamanan, seperti teror bom, dan ancaman dari luar negeri secara lugas, dengan beberapa keterangan off the record.

Apa analisis intelijen terhadap kerusuhan yang menelan korban jiwa seperti di Cikeusik, Banten, dan Temanggung, Jawa Tengah?

Apa yang kami lakukan adalah mendeteksi. Ini kan sudah diserahkan ke pemerintah, soal Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri. Kami sedang memberi masukan tentang bagaimana mestinya instansi terkait bertindak. Termasuk ulama. Kami mesti menjelaskan intinya, karena kekerasan tak menyelesaikan masalah.

Bukankah tugas intelijen memberi peringatan untuk mencegah terjadinya kerusuhan?

Karena itu, kami perlu undang-undang. Kalau mereka cuma rapat, aparat tak bisa menindak. Mesti ada perbuatan dulu, baru menjadi tugas kami. Dan kami perlu undang-undang, supaya terbuka, dan publik melihat kerja kami.

Ada tudingan bahwa aparat pemerintah membiarkan terjadinya kerusuhan seperti di Cikeusik….

Logikanya begini. Siapa pun pemerintahnya tentu ingin suasana aman, ingin stabilitas, supaya dianggap berhasil. Kalau membiarkan kerusuhan, apalagi menjadi pelaku, bagaimana bisa dianggap berhasil?

Apa hasil penyelidikan tentang dugaan pelaku bom buku?

Menurut penelusuran kami, ini masih jaringan lama. Tak bisa saya sebutkan, tapi ini ada kaitan ke sana. Sekarang mereka menyatu. Dulu orang-orang dari Jamaah Islamiyah sendiri, sekarang bergabung dengan yang lain. Bukan organisasinya ya, tapi individu-individunya. Mereka tetap punya target yang sama, simbol Amerika, Yahudi. Meskipun itu individual.

Mengapa dalam Rancangan Undang-Undang Intelijen perlu ada wewenang menyadap dan menangkap?

Ancaman sekarang lebih banyak dari luar negeri. Kita perlu early warning system. Intelijen sekarang berbeda dengan dulu. Kita tak ingin hal seperti di masa lalu terjadi lagi. Karena itu, perlu kewenangan supaya kerja intelijen lebih efektif. Ada ukuran serta sanksinya bila melanggar. Kalau tak ada sanksi, bisa terjadi seperti masa lampau.

Intelijen seharusnya kan cuma mengumpulkan dan menganalisis informasi, tak perlu menangkap orang?

Kami tak mau melanggar hukum. Ini kan sudah masa reformasi. Perlu perbaikan di bidang pertahanan dan keamanan. Untuk itu, perlu payung hukum. Tanpa undang-undang, apa yang dilakukan intelijen jadi tidak terukur.

Publik khawatir intelijen menyalahgunakan wewenang menyadap dan menangkap orang itu….

Kami kan tak selamanya ada di sini (BIN), dan kami tak mau masa lalu terulang. Kami juga akan pensiun dan jadi rakyat biasa. Supaya anak-cucu kita tak jadi korban, perlu kita lindungi. Undang-undang menjadi jaminan kita ke depan. Dengan undang-undang ini, BIN bukan alat kekuasaan, melainkan alat negara. Tugasnya, bagaimana keamanan dan tegaknya konstitusi bisa terwujud. Yang mengganggu kedua hal itu mesti kita cegah.

Mengapa wewenang penyadapan diperlukan?

Negara yang kuat perlu intelijen yang kuat, profesional, didukung kewenangan yang terukur dan bisa dipertanggungjawabkan. Nah, kewenangan ini termasuk penyadapan. Ini untuk cegah-tangkal. Kewenangan ini tak khusus ada di Indonesia dan tidak baru. Di negara-negara lain dari dulu sudah ada, seperti Inggris, Kanada, Amerika, dan Australia. Kita yang baru menerapkan supaya dimasukkan ke undang-undang.

Apa beda antara penyadapan oleh intelijen dan oleh polisi?

Penyadapan polisi berpangkal dari kasus, untuk mencari pelaku. Misalnya teror. Karena sudah dicurigai A-B-C-nya, dilakukan penyadapan. Ibarat spiral, polisi memulai dari titik yang dalam, keluar mencari pelakunya. Kalau BIN kan mencegah, dari titik luar spiral.

Sebetulnya publik paham tujuan penyadapan, tapi harus meminta izin pengadilan….

Tugas intelijen adalah mencegah, maka kita tak tahu siapa yang mau dimonitor. Kalau dalam kasus teror, ada bahasa sandi tertentu, misalnya pengantin atau bidadari, ya itu yang kita monitor. Kita tidak bisa minta izin pengadilan karena belum tahu siapa yang diintersep (disadap). Kita dalami, kita monitor terus. Nah, kalau sudah terindikasi, ya kita serahkan ke kepolisian. Jadi polisi yang menindaklan­juti proses hukumnya dengan izin pengadilan.

Apa tujuan memiliki wewenang penangkapan?

Kami tak ingin ada wewenang penangkapan. Tapi, untuk suatu keadaan darurat, misalnya ada indikasi spionase, polisi kan belum bisa bertindak. Namun kami, demi kepentingan nasional, bisa. Dalam prosesnya kemudian segera kami serahkan ke kepolisian. Jadi, kalau 7 x 24 jam (seperti dalam rancangan undang-undang), bukan kami yang memeriksa, melainkan kepolisian. Tapi kami ikut memonitor, untuk kepentingan pendalaman me­nguak jaringan lain. Kalau bisa menangkap, bisa memeriksa, nanti kantor BIN malah terbuka. Kami kan lebih suka tidak diketahui.

Bagaimana mengetahui bukan agen BIN yang menangkap?

Penangkapan kan bersifat terbuka. Bila sudah terkuak, keluarganya atau dia sendiri bisa melapor ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, ke lembaga swadaya masyarakat, dan lain-lain. Kami tak ingin seperti itu. Makanya segera kami serahkan ke kepolisian, bila kami terpaksa bertindak. Sebab, itu tadi, dalam keadaan darurat.

Darurat ini seperti apa?

Misalnya, si pelaku mau lari. Dia sudah mau naik speedboat di laut. Kalau tak cepat, keburu hilang. Padahal dia kami butuhkan untuk mengungkap jaringan. Kami belum sempat memberi tahu kepolisian, jadi kami yang bergerak. Setelah itu, segera kami serahkan ke kepolisian. Tidak tunggu 24 jam atau sehari, langsung saat itu juga kami serahkan ke kepolisian. Kalau tak darurat, ya kami lebih suka polisi yang menangkap. Sebab, penangkapan itu kan sifatnya terbuka. Kami tak mau berisiko, kalau ada apa-apa dengan penangkapan, kami dibilang melanggar hak asasi manusia.

Kenapa tak dituliskan dalam RUU bahwa pemeriksaan oleh polisi? Asumsinya jadi melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana karena wewenang penangkapan bukan untuk intelijen….

Dalam Daftar Inventaris Masalah Rancangan Undang-Undang Intelijen, pemerintah sudah menegaskan itu di penjelasannya: bahwa aparat terkait, yaitu kepolisian, yang akan memproses pemeriksaan.

Penyadapan dan penangkapan ini dikhawatirkan ditujukan untuk bangsa kita sendiri.

Tidak. Kita jangan melihat ancaman ini selalu dari dalam negeri. Justru di era sekarang, ancaman dari luar yang mesti kita hadapi. Adanya infiltrasi asing. Negara kita ini makmur, kaya sumber alam. Dulu negara lain ingin menguasai dengan cara menjajah, sekarang tak perlu lagi. Bisa dengan kekuatan ekonomi, misalnya mempengaruhi pembuatan undang-undang. Contoh konkret yang terjadi beberapa waktu lalu, ada NGO (lembaga swadaya masyarakat) asing yang memprotes sawit. Katanya, demi lingkungan hidup. Tapi, ketika ditelusuri, ini ternyata perang dagang, tentang energi minyak sawit kita melawan negara lain. Begitu pula tentang kopi luak yang disebut haram.

Apa saja ancaman dari luar yang patut diwaspadai?

Seperti kemarin, soal Umar Patek yang ditangkap di Pakistan. Bagaimana jaringan dari luar negeri masuk ke Indonesia. Ini yang kami hadapi sekarang. Selain soal jaringan teror, kami mesti mendeteksi soal perompakan. Seperti kasus Somalia dan juga kerawanan di Selat Malaka. Nah, teman-teman di dalam negeri tak banyak melihat ini. Selain itu, ada ancaman separatis yang perlu dilihat, karena terdeteksi ada unsur dari luar juga.

Seberapa sulit membawa Umar Patek pulang ke Indonesia?

Terlebih dulu kita mesti memastikan itu Umar Patek melalui sidik jari dan sebagainya. Sekarang kita sedang membicarakan proses pemulangan dengan pemerintah Pakistan. Kita tunggu saja prosesnya.

Sesuai dengan prioritas, apa ancaman yang harus sangat diwaspadai?

Teroris tentu ya. Perlu kerja sama aparat keamanan dengan instansi pemerintah lainnya, termasuk lembaga pemasyarakatan. Setelah mereka bebas dari hukuman, bagaimana tetap membina mereka. Juga soal ideologi yang tidak prodemokrasi. Ekonomi juga harus diperhatikan, terutama penguasaan sumber daya alam kita, misalnya batu bara dan minyak.

Bagaimana koordinasi BIN dengan Badan Intelijen Strategis dan Badan Intelijen Kepolisian dalam mengantisipasi ancaman-ancaman itu?

Sekarang semua sudah berjalan baik. Dengan instruksi presiden, kami undang semua, kadang lengkap, kadang sebagian, tergantung kasus. Ini menjadi komunitas intelijen, dipimpin Kepala BIN. Supaya ada komunikasi terus di antara kami.

Dengan latar belakang polisi, bagaimana Anda memimpin BIN, yang dulu banyak diisi kalangan militer?

Di sini 80 persen sudah sipil. Sejak awal reformasi, sudah diminta begitu. Kami cuma melakukan penajaman. Publik tahunya selama ini kan yang di dalam BIN adalah tentara atau polisi. Padahal kader-kader kami berasal dari sekolah kami sendiri di Sentul. Sudah ada tiga angkatan sekarang.

Benarkah BIN juga merekrut politikus dan birokrat sebagai agen intelijen?

Enggak. Beberapa orang memang kami mintai informasi dan analisis. Hanya sebatas itu. Kami butuhkan kepakaran mereka untuk kepentingan penggalian informasi dan pemahaman.

Dulu Badan Intelijen Strategis menangkal ancaman dari luar, kepolisian dari dalam, BIN sekarang berpikir perspektif ancaman dari luar. Bagaimana pembagian tugas di antara ketiganya?

Tugas pokok Badan Intelijen Strategis untuk intelijen militer, polisi juga untuk instansinya. Kalau BIN kan nasional. Skopnya lebih luas dan strategis. Koordinasi tetap harus. Kami berpikir makro, bisa keamanan, juga pertahanan, wujudnya di wilayah-wilayah. Kami mesti bisa mengolah informasi ini. Sepintas suatu masalah bisa terlihat lokal, tapi ternyata sumber masalahnya di luar.

Jenderal Polisi (Purnawirawan) Sutanto

Tempat dan tanggal lahir: Comal, Pemalang, Jawa Tengah, 30 September 1950

Pekerjaan:

  • Kepala Badan Intelijen Negara, 2009-sekarang
  • Kepala Kepolisian Negara RI, 2005-2008

    Pendidikan:

  • Akademi Kepolisian, lulus 1973
  • Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, 1983
  • Lembaga Ketahanan Nasional, 2000
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus