Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tembakau warning.” Sebutkan nama itu bila Anda beranjangsana di kedai tembakau seperti Tobaccos Corner di Pasar Minggu atau toko-toko tembakau di Glodok, Jakarta. Penjaga pasti mafhum. Mereka cepat menyodorkan tembakau merek Van Nelle atau tembakau apa saja—yang dibungkus kotak kertas persegi.
Tapi, bila Anda mengunjungi pameran iklan enamel di Erasmus yang digelar mulai 14 April lalu sampai 17 Juni nanti, Anda bisa tersenyum, mengetahui mengapa tembakau bungkus seperti itu selalu disebut tembakau warning. Ada sebuah iklan tembakau merek Boelan Bintang dari tahun 1920-an bergambar seorang berpeci, bersarung, tengah melinting tembakau dengan kalimat: Warning, Ingat Ingat Tjoema Tembaco Shag. Tjap Boelan Bintang Njang Toelen. Huruf warning lebih besar dari kata lain. Itulah asal-muasal salah kaprah segala tembakau bungkus disebut tembakau warning. Orang kita lebih mengingat kata warning daripada merek tembakau spesifik.
Inilah salah satu hal yang bisa didapat dari pameran advertising board zaman bahuela di Erasmus Huis. Pameran ini menyajikan berbagai jenis papan iklan berbahan enamel yang dibuat antara 1920 dan 1940. Papan-papan iklan ini dulu dipasang di jalan dan toko di berbagai kota di Indonesia. Erasmus mampu menghadirkannya berkat koleksi yang dimiliki kolektor Hadi Sunyoto dan Hauw Ming.
Dari materi yang disajikan, kita segera melihat kota-kota kita tempo dulu itu sudah sedari awal menjadi pasar bisnis global. Kita juga bisa mendapat pemahaman mengapa ada merek dagang tertentu yang begitu meresap dalam kehidupan kita sehari-hari sampai kini.
Lihat saja serbuk cuci Sunlight, obat mata Rohto, bumbu masak Vetsin, mentega Blue Band, ban mobil Dunlop, oli mobil Texaco, susu cap Nona, cokelat Van Houten, lampu bohlam Philips, minyak rambut Brylcreem, ternyata iklannya sudah ada semenjak zaman itu. Kita juga bisa membayangkan pada zaman itu kita sudah menjadi sasaran beraneka merek yang kini tak lagi bertahan. Bir, misalnya, ada berbagai macam. Lihatlah ada merek Java-Bier. Juga obat njamoek. Lihatlah, ada merek Tjap Ajam.
Enamel adalah produk Eropa. Enamel adalah papan iklan yang pembuatannya bukan dari logam yang kemudian dicat. Tapi logam yang dilapisi keramik dan proses pembakarannya seperti keramik. "Teknologi pembuatan enamel sulit. Belum pernah saya dengar ada pabrik enamel di Indonesia," kata Hadi Sunyoto. Menurut Hadi, salah satu kelebihan papan iklan berbahan enamel adalah daya tahannya sangat lama. "Lapisan warna di enamel pembuatannya seperti porselen, yang harus menggunakan pemanasan sangat tinggi."
Yang menggugah rasa ingin tahu adalah bagaimana papan itu dibuat di Eropa tapi desainnya secara khusus disesuaikan dengan kondisi di sini. Biasanya di pojok bawah papan iklan ada nama manufacturer atau pabrik pembuatnya. Rata-rata, bila kita periksa, pabriknya berasal dari Jerman, Belanda, dan Inggris. Menarik membayangkan di Eropa sana mempengaruhi konsumen di Indonesia zaman lampau itu didesain gambar-gambar lokal kita. Misalnya iklan Badjoe Kaos no satoe Tjap Wajang. Dalam iklan itu ada gambar wayang. "Bayangkan, desain wayang ini dibuat di Eropa," kata Hadi Sunyoto.
Bagi kita, karena unsur kelokalan ini iklan enamel yang beredar di Batavia menjadi unik, dibanding iklan-iklan enamel di Eropa sendiri. Sebab, iklan-iklan ini mampu menyajikan kebudayaan Indiskebudayaan mestizo atau campuran. Perhatikan iklan sepeda. Kalimatnya berbahasa Belanda atau Jerman tapi gambarnya menampilkan orang berpeci pribumi. Strategi komunikasinya juga terkadang membuat kita tersenyum. Amati iklan sebuah pil bermerk Pink Pil: Pil Pink boeat Orang Poetjat.
Bila kita bandingkan dengan desain iklan kontemporer, desain dan komposisi warna enamel Batavia ini juga sama sekali tidak kalah. Advertising zaman Batavia ini rata-rata didominasi warna merah, kuning, oranye, dan hijau. Kita bisa menyimpulkan bahwa keberanian warna ini mendahului semangat pop art.
"Tipe hurufnya saja luar biasa," kata Hauw Ming. Praktisi periklanan Irfan Ramli, mantan Sekretaris Jenderal Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia juga sepakat tentang font ini. "Bayangkan, di tahun 1980-an kita belajar aneka huruf dengan rugos, sementara di era Batavia ternyata variasi huruf untuk iklan sudah sedemikian kaya. Entah acuannya dari mana." Ia juga kagum pada unsur bahasa. Untuk membidik konsumen, sebuah iklan bisa memakai tiga bahasa. Misalnya iklan Becks Beer. Di samping kata Becks Beer, ada kata Tjap Kunci, lalu huruf-huruf Cina.
Atau perhatikan iklan sebuah bank bernama Postpaarbank. Desainnya kreatif. Berlatar belakang kuning, ada seekor anjing herder menjaga sebuah kotak besi. Tertera dalam iklan itu campuran bahasa Belanda dan Melayu. Uw Geld is Toch Veiliger Bu De: Tetapi Oeang Toean Lebih Aman. Tidak semua iklan yang dikoleksi Hadi Sunyoto dan Hauw Ming diboyong ke Erasmus Huis, karena keterbatasan ruang pamer Erasmus Huis. Di Jalan Alaydrus, kawasan Harmoni, tempat mereka menyimpan papan-papan iklan lainnya, kita bisa melihat sebuah papan iklan obat bergambar seorang petinju: Bokser. Ada tiga kalimat di situ. Bahasa Melayu, Cina, dan Hanacaraka, yang semuanya berarti: Bikin Koeat.
"Pertama saya beli enamel iklan mesin jahit Singer," kata Hadi Sunyoto. Ia mengaku mulai memburu iklan enamel mulai 1999. Waktu itu harganya masih cukup murah, umumnya di bawah Rp 5 juta. Menurut dia, bila iklan ada gambar orangnya pasti akan lebih mahal. "Delapan puluh persen iklan enamel ini saya dapat di Malang dan kota-kota lain di Jawa Timur."
Hadi mengakui sebenarnya ia agak terlambat mengoleksi. Pada 1999, iklan enamel yang beredar sudah tak begitu banyak. "Di Malang tahun-tahun sebelumnya iklan enamel diborong orang sampai bertruk-truk lalu dikirim ke Eropa," kata pemilik pabrik Nikko Steel ini. Tempo sendiri melihat di pasar barang antik seperti Triwindu, Solo; atau Jalan Surabaya, Jakarta, misalnya, masih ada beberapa enamel yang dijual. Misalnya iklan gramofon His Master Voice. Ini adalah merek gramofon corong terkenal yang gambarnya legendaris: Seekor anjing putih tengah mendengar corong suara.
Namun sekarang ini, menurut Hadi, banyak beredar iklan enamel palsu. Iklan bergambar tempo doeloe tapi materi dasarnya cat. "Kalau bahannya cat, dikerok pakai pisau langsung tergores, baret, atau terkelupas. Tapi kalau enamel tidak," ujarnya.
Menurut Irfan Ramli, penelitian yang serius tentang iklan enamel zaman Batavia ini belum ada. "Bahkan orang iklan tak menaruh perhatian. Untung, ada kolektor gila seperti Hauw Ming dan Hadi Sunyoto ini," katanya. Hauw Ming sendiri berkeinginan koleksinya bisa dipamerkan di Tropen Museum, Amsterdam, Belanda. Sebab, di Eropa, iklan enamel juga sudah lenyap dan menjadi nostalgia, karena saat Perang Dunia II advertising jalanan ini banyak dilebur untuk peralatan perang.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo