Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIA naik ke posisi nomor satu di Pejambon, kantor Departemen Luar Negeri, dengan melewati banyak seniornya. Sebagai Menteri Luar Negeri, kini M. Marty Muliana Natalegawa, 46 tahun, menjadi ujung tombak diplomasi Indonesia.
Hanya sehari setelah dilantik, dia terbang ke Thailand mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN. Hampir tanpa jeda, dia kemudian mesti mempersiapkan apa saja program 100 hari departemennya. ”Jadi ini sangat kabur, sureal, karena semua bergerak sangat cepat,” kata Marty.
Dia memang mesti bergerak cepat karena begitu banyak pekerjaan rumah menanti di kantornya. Dari soal urusan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, perjanjian ekstradisi dengan Singapura, hingga persiapan Komunitas ASEAN pada 2015. Belum lagi sejumlah kasus korupsi di beberapa kedutaan besar di Indonesia.
Menurut Marty, dia sedikit beruntung mewarisi mesin diplomasi yang sudah very well oiled. Kendati demikian, itu tak lantas membuat semua pekerjaannya menjadi gampang. Dengan tenang dan suara perlahan, Marty menjelaskan berbagai pekerjaan rumah yang masih tertunda itu kepada Wahyu Dyatmika, Kurie Suditomo, Yophiandi Kurniawan, dan Sapto Pradityo di kantornya, Selasa petang pekan lalu.
Jepang dan Australia mengusulkan Komunitas Ekonomi di Asia Timur dan Asia Pasifik. Sebenarnya apa keuntungannya bagi Indonesia dan seberapa siap kita menghadapi 2015?
Usul pembentukan Komunitas Ekonomi Asia Timur menunjukkan situasi di kawasan ini sangat dinamis. Komunitas Ekonomi Asia Timur mensyaratkan adanya komunitas serupa di tingkat ASEAN. Tanpa ada konsolidasi terlebih dulu, Asia Tenggara akan terlebur begitu saja dalam konteks kawasan lebih luas. Ini akan membuat negara-negara ASEAN kehilangan posisi strategis.
Apakah soal manfaat itu sudah tecermin dalam presentasi Perdana Menteri Australia Kevin Rudd dan Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama?
Sebagai pencetus mereka memang harus memberi pembenaran dengan menyampaikan manfaat komunitas itu. Namun sejauh ini pemerintah Indonesia belum cukup diyakinkan apa manfaatnya bagi Indonesia. Tak ada manfaatnya kalau hanya menciptakan forum baru tapi hanya menambah pertemuan-pertemuan dan akronim baru tanpa menjawab tantangan seperti perubahan iklim dan kemiskinan.
Jadi bagaimana sikap Indonesia?
Indonesia tak menutup opsi-opsi tersebut. Tapi pendekatan kita adalah selangkah demi selangkah. Kalau terlalu kaku dan komunitas itu dipaksakan serta dicanangkan sekarang, hanya akan muncul sekejap dan setelah itu hilang.
Tawaran komunitas itu justru mengingatkan masih banyak pekerjaan rumah yang belum tuntas, misal ASEAN Charter. Apakah mungkin ada terobosan?
Saya sepakat. Komunitas ASEAN bukan sesuatu yang bisa diundang-undangkan, maka dengan sendirinya berjalan. Kita harus meraihnya dengan menunjukkan apa manfaatnya. Kita mesti meyakinkan negara lain bahwa jika ini tidak dilakukan, kita akan ketinggalan. Misal dalam hal ekonomi, bagaimana Cina dan India, dua negara dengan kekuatan ekonomi sangat besar, menyedot investasi dari seluruh dunia. Kalau ASEAN masih terpisah-pisah, daya tarik bagi investor juga lemah. Kalau ASEAN muncul sebagai pasar tunggal dengan lebih dari 500 juta penduduk, daya tariknya juga besar. Kalau ASEAN tidak merapikan diri, akan ketinggalan kereta.
Tapi ASEAN punya banyak masalah. Prinsip noninterferensi yang dianut ASEAN, misalnya, membuat penyelesaian masalah seperti Burma lebih sulit. Bagaimana?
Indonesia sangat lugas dalam soal Burma. Kami selalu menegaskan kepada mereka, ”Anda harus menjalankan apa yang menjadi komitmen Anda. Kalau Anda tidak menjalankan dan tidak membuka kesempatan bagi negara tetangga untuk membicarakan, orang lain yang akan menyelesaikan masalah itu. Pilihannya, kita selesaikan bersama atau Anda menutup diri dan harus dipaksa dari luar.”
Presiden pernah merencanakan pergi ke Burma. Bagaimana kelanjutannya?
Proses penyelesaian di Burma ditekuni banyak pihak. ASEAN dan juga Perserikatan Bangsa-Bangsa. Burma sendiri memang tidak mau berurusan lagi dengan ASEAN. Mereka menganggap masalah itu urusan mereka dengan PBB, yakni Sekretaris Jenderal Ban Ki-moon dan Ibrahim Gambari (utusan khusus PBB untuk Burma). Tapi, sebagai negara kawasan, Indonesia tidak bisa lepas tangan begitu saja. Maka, bersama Cina, India, PBB, dan Burma membentuk kelompok di PBB untuk mendorong pemerintah Burma melakukan kebijakan yang tepat. Kami tidak menggunakan pendekatan stick and carrot. Negara kan punya martabat. Negara mana yang mau melakukan sesuatu hanya karena diiming-imingi sesuatu atau sebaliknya karena diancam tongkat.
Dengan Malaysia dan Singapura, masih ada isu yang belum tuntas, seperti perlindungan tenaga kerja dan perjanjian ekstradisi. Bagaimana kelanjutannya?
Soal perlindungan tenaga kerja bukan hanya soal hubungan kita dengan negara lain, tapi juga mesti melihat permasalahan dalam negeri sejak proses pemberangkatan tenaga kerja ke luar negeri. Misalnya soal pemalsuan identitas serta umur. Bukan berarti kami hendak cuci tangan, tapi kalau melihat lebih jauh, kalau dari awal sudah tertib, penyelesaiannya akan lebih mudah.
Khusus untuk Malaysia, apa ada syarat untuk membuka kembali pengiriman tenaga kerja informal?
Kita harus mencegah agar kasus-kasus yang dulu tidak terulang. Jangan sampai kita buka kembali pengiriman TKI tapi tetap terulang kembali. Pemerintah Malaysia harus paham ada kekecewaan-kekecewaan dari Indonesia. Tapi kita juga harus ingat untuk menyelesaikan masalah pengiriman tenaga kerja di dalam negeri. Masih banyak ruang untuk perbaikan dalam soal perlindungan TKI. Pendekatan kita dengan negara tetangga mesti untuk menyelesaikan masalah, bukan mempertajam permusuhan. Kalau mau memperuncing persoalan kan gampang, tinggal kompori saja terus.
Memperbaiki hubungan dengan Malaysia apakah akan menjadi prioritas, mengingat melibatkan unsur emosional yang begitu kental?
Betul. Kita punya banyak kesamaan dengan Malaysia. Di satu pihak itu jadi berkah, tapi belakangan malah memancing ketegangan. Pendekatan multijalur dan people to people lebih tepat ketimbang dari pemerintah ke pemerintah. Sama juga dengan Australia dan Singapura. Yang penting dalam hubungan luar negeri adalah kita tak boleh memanjakan emosi. Tak ada ruang bagi emosi dalam diplomasi. Bayangkan kalau setiap insiden kita menuruti emosi, bisa-bisa kita tidak punya hubungan diplomasi dengan negara mana pun.
Perundingan perjanjian ekstradisi dan pertahanan dengan Singapura apakah akan berlanjut?
Waktu itu kita sebenarnya sudah di ambang kemajuan. Ada beberapa isu yang sudah disepakati. Ini akan ditinjau kembali bagaimana pendekatan yang terbaik. Sebab, kita punya kepentingan nasional besar di balik perjanjian ekstradisi itu. Tapi bukan berarti kita akan kompromistis dalam masalah pertahanan. Tinggal bagaimana bisa menyelaraskan kedua kepentingan ini.
Dalam dua tahun terakhir Indonesia punya peran bagus dalam isu perubahan iklim. Apakah ini bisa membuat Indonesia memimpin?
Tanpa berandai-andai, saya pikir wajar jika kita memikirkan masalah-masalah besar, misalnya forum G-20. Ini kan kumpulan negara yang dipastikan sebagai forum utama di bidang ekonomi dan keuangan. Presiden ingin kami segera merumuskan apa peran Indonesia di G-20. Kalau peran itu tidak segera diputuskan, bisa-bisa kita hanya menjadi pengamat di G-20. Sementara itu, segala sesuatu diputuskan negara lain. Ambisi kita harus lebih dari itu.
Lalu di mana kira-kira peran kita?
Menurut saya, salah satu kemampuan Indonesia adalah menjadi bridge builder, menjembatani berbagai masalah. Bukan berarti kita oportunistik dan tak punya prinsip. Misalnya dalam soal pemberian sanksi PBB untuk Iran. Karena kami merasa sanksi tak akan menyelesaikan masalah dan pasti ditolak Iran, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang abstain.
Dalam perdamaian Palestina, bagaimana Indonesia ingin berperan?
Konflik di Palestina ini kan masalah yang sudah lama sekali dan menjadi tanggung jawab khusus PBB. Dan kita akan menjadi yang terakhir untuk mengatakan akan menjadi bagian dari penyelesai masalah. Sebab, masalah ini sudah ditangani oleh pemain-pemain besar, seperti Amerika Serikat dan Rusia.
Ada beberapa kasus korupsi di Departemen Luar Negeri. Apa langkah Anda mengatasi korupsi?
Perbaikan corporate governance sudah dilakukan sejak Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda, demikian halnya zero tolerance untuk korupsi. Tentu ini masih berproses dan akan terus ditingkatkan tertib administrasi dan tertib keuangan. Presiden SBY juga menegaskan supaya mesin diplomasi berjalan sempurna. Deplu bisa mempunyai gedung yang megah dan perwakilan di mana-mana, tapi hasil diplomasi kan bergantung pada kapasitas individunya. Kalau diplomatnya tidak bisa menyampaikan apa yang menjadi kepentingan Indonesia, semua kantor mewah itu tak ada artinya.
Termasuk dalam soal kebijakan penempatan?
Makanya perlu peningkatan kapasitas diplomat dan pendekatan merit base, untuk memastikan orang yang tepat, di tempat yang tepat, dan saat yang tepat. Karena konsekuensi sangat besar, jika yang mewakili bukan yang terbaik, proses yang penting bisa terganggu. Saya ingin memantapkan kultur Deplu yang terbuka dan semakin mudah diakses. Yang saya khawatirkan, jangan sampai kita hidup dalam gelembung, seolah-olah semuanya sudah baik, sudah sempurna, tapi tidak berpijak pada kenyataan.
Antara Anda dan Hassan Wirajuda sangat jauh jarak generasinya. Apa ini pertanda kemajuan?
Saya kira iya. Saya berkeyakinan, pengalaman bukan fungsi dari usia. Tidak bergantung pada berapa lama kita bekerja. Tapi lebih ke soal kualitas kerja. Saya sudah bertemu dengan angkatan-angkatan di Deplu yang lebih muda lagi. Mereka luar biasa, harus melalui kompetisi yang sangat ketat untuk bisa masuk Deplu. Kalau sekarang melamar ke Deplu, mungkin saya juga tidak keterima ha-ha-ha....
Jadi tidak ada istilah urut kacang di Deplu?
Insya Allah tidak ada. Tapi di lain pihak, meskipun menggunakan merit base, tetap perlu kebijakan karena kita berinteraksi dengan individu-individu. Jangan sampai menyelesaikan masalah, tapi malah menimbulkan masalah lain.
Bagaimana dulu Anda dihubungi Presiden Yudhoyono?
Waktu ditelepon, saya lagi mengikuti sidang PBB. Saya diminta mempersiapkan riwayat hidup. Padahal saya sudah lama sekali tidak punya daftar riwayat hidup. Saya berangkat dari New York, Amerika Serikat, Sabtu malam dan tiba di Jakarta Senin siang. Langsung ke Cikeas. Prosesnya cepat sekali. Jadi ini sangat kabur, sureal, karena semua bergerak sangat cepat. Tapi saya bersyukur karena mesin diplomasi yang ditinggalkan Hassan Wirajuda sudah very well oiled, sehingga tinggal men-tuning dan melanjutkan.
MARTY NATALEGAWA
Lahir: Bandung, 22 Maret 1963
Pendidikan:
Pekerjaan:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo