Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURAT dari Rumah Sakit Polri Sukanto itu tak mampu membebaskan Aguswandi, 57 tahun, dari ruang tahanan. Rabu pekan lalu, berbekal surat itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia ini meminta kejaksaan melakukan penangguhan penahanannya.
Dalam surat itu tertera keterangan: ia mengalami pembengkakan kelenjar prostat dan perlu pengobatan intensif. Alih-alih permohonannya diterima Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, justru Kejaksaan membuat putusan mengejutkan, mengirim Aguswandi ke Rumah Tahanan Salemba. Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Tris Sumardi, soal pengobatan itu tak jadi masalah. ”Penyembuhan bisa di dalam rumah tahanan karena disediakan dokter,” katanya.
Di Salemba, pemilik dua kios dan satu unit apartemen di ITC Roxy Mas itu ditempatkan di sebuah sel yang hanya bisa diakses segelintir orang dan dijaga sejumlah petugas. Sel itu dilengkapi kamar mandi dan kipas angin. Agus menempati sel seluas 16 meter persegi itu sendirian.
Menurut Kepala Rumah Tahanan Salemba Toga Effendi, Agus sengaja ditaruh di dalam sel seperti itu karena alasan keamanan. Toga mendengar ada pihak tertentu yang ”mengincar” Agus. ”Jadi demi keamanannya,” ujar Toga.
Sebelumnya, Agus ditahan di sel Kepolisian Sektor Metropolitan Gambir, Jakarta Pusat. Ia dicokok polisi pada 8 September lalu, sekitar pukul 23.00, saat mengisi ulang baterai dua telepon selulernya di koridor tujuh, di depan kamar apartemennya. Di situ polisi menemukan kabel listrik berukuran 3 x 1,5 milimeter sepanjang 15 meter, steker, dan stopkontak enam lubang. Semua barang itu oleh polisi dijadikan bukti bahwa ia melakukan pencurian listrik.
Polisi menjerat Agus dengan pasal-pasal pencurian: Pasal 363 Undang-Undang Hukum Pidana serta Pasal 19 dan 60 Undang-Undang Ketenagalistrikan. Ancaman hukuman pasal-pasal ini maksimal tujuh tahun penjara.
Pengacara Agus, Vera Tobing, memprotes langkah penangkapan dan penahanan kliennya itu. Menurut Vera, kasus ini tak lepas dari persekongkolan polisi dan pengelola apartemen, PT Jakarta Sinar Intertrade, anak usaha PT Duta Pertiwi. Ia menduga penangkapan itu terjadi lantaran pengelola apartemen berang atas sikap Agus yang gigih memperjuangkan hak-hak penghuni apartemen selama ini. ”Polisi tidak memberikan surat penangkapan, langsung membawa paksa klien kami,” kata Vera. Vera menunjuk tanggal laporan pengelola apartemen yang sama dengan tanggal penangkapan kliennya sebagai salah satu indikasi adanya persekongkolan polisi dan PT Jakarta. Padahal, ujar Vera, yang dilakukan Agus bukan tindak pidana. ”Apakah memakai fasilitas bersama itu mencuri?” kata Vera.
Polisi menyanggah penangkapan Agus berkaitan dengan posisinya yang gigih melakukan perlawanan membela hak penghuni apartemen. ”Kasus ini murni tindak kriminal,” kata Kepala Polsek Gambir Komisaris Kurniawan. Polisi, ujar Kurniawan, semata hanya menindaklanjuti laporan pengaduan Manajer Properti PT Jakarta, Uung Hartanto. ”Persoalan dengan pengelola itu urusan mereka.”
Ditemui di kantornya, di Gedung ITC Roxy Mas, Uung Hartanto membantah ada motif lain di balik penangkapan Agus. Menurut Uung, pihaknya mendapat laporan pencurian listrik sejak 4 September lalu. Dua hari kemudian, ia menyelidiki laporan itu. ”Ternyata memang ada bukti pencurian,” ujarnya. Hari itu juga ia melapor ke polisi dan baru pada 8 September diketahui pelakunya. ”Nanti di pengadilan akan terbuka, listrik yang dicuri tidak hanya untuk handphone,” kata Uung.
Agus bukannya tak melakukan perlawanan atas tuduhan itu. Ia mempraperadilankan polisi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi, Senin pekan lalu, gugatan Agus ditolak hakim. Menurut Marsudin Nainggolan, hakim tunggal yang menyidangkan kasus itu, penangkapan dan penahanan yang dilakukan polisi sudah memenuhi prosedur.
Putusan Marsudin ini disambut jerit tangis istri Agus, Henny Ancilla. ”Ini tidak adil,” kata Henny. Menurut Vera, hakim tidak cermat melihat keganjilan karena adanya perbedaan tanggal penangkapan yang tertera pada berkas polisi. Di surat penahanan tertulis 9 September, sedangkan pada berita acara pemeriksaan dan surat perpanjangan penahanan tertulis 6 September. ”Padahal faktanya dilakukan pada 8 September,” katanya. Kamis pekan lalu, Vera melaporkan Marsudin Nainggolan ke Komisi Yudisial. Ia menilai hakim tak profesional dalam menjatuhkan putusan.
BENIH konflik antara Aguswandi dan pengelola apartemen sebenarnya sudah ada sejak 2004. Saat itu, pengelola memperpanjang hak guna bangunan (HGB) ITC Roxy Mas untuk 20 tahun ke depan. Setelah selesai, perpanjangan HGB itu ternyata bukan atas nama perhimpunan penghuni, melainkan Duta Pertiwi.
Inilah yang membuat Agus dan para penghuni lain apartemen itu ramai-ramai mempersoalkannya. ”Sebab, dengan status demikian, jika akan meminjam uang ke bank, susah karena tanahnya dianggap milik Duta Pertiwi,” kata Agus.
Menurut Horas A.M. Naiborhu, pengacara Agus lainnya, yang dilakukan Duta Pertiwi tersebut bertentangan dengan Undang-Undang tentang Rumah Susun. Menurut undang-undang ini, yang mengatur perpanjangan HGB sepenuhnya perhimpunan penghuni. Perpanjangan HGB atas nama Duta Pertiwi itu berarti penghuni tidak berhak mengelola fasilitas bersama seperti lahan parkir dan kios. ”Ini rekayasa untuk menguasai ITC Roxy Mas,” kata Horas.
ITC Roxy Mas terdiri atas 12 lantai. Lantai 1 sampai 4 untuk area komersial seperti kios, lantai 5 lahan parkir, dan lantai 6 hingga 12 apartemen. Total jumlah unit apartemen di gedung itu 120.
Dari fasilitas bersama itu, pendapatan per bulan pengelola gedung ini, ujar Horas, bisa Rp 12 miliar. Jumlah itu dihitung dari pendapatan lahan parkir yang mencapai Rp 30 juta per hari, iklan dinding, dan sewa kios. Nah, menurut Horas, untuk menguasai aset itulah pengelola lantas menempatkan karyawannya sebagai pemimpin perhimpunan penghuni.
Agus dan penghuni lain lalu memprotes model penguasaan seperti ini. Konflik penghuni dan pengelola pun pecah. Pada 2005, perkara ini menggelinding ke pengadilan. Hingga tingkat kasasi, perkara ini dimenangi Duta Pertiwi. Kini perkara ini tengah diproses di tingkat peninjauan kembali.
Agus juga memimpin protes atas kenaikan service charge alias biaya perawatan yang dinilai dilakukan sewenang-wenang. Semula, untuk apartemen, biayanya Rp 7.000 per meter persegi. Pada 2006, angka itu naik jadi Rp 8.200. Sedangkan untuk kios, dari Rp 41.500 menjadi Rp 55 ribu per meter persegi.
Karena protesnya tak digubris, Agus melakukan perlawanan. Ia hanya mau membayar biaya perawatan itu dengan harga lama. Tindakan Agus ini membuat naik pitam pengelola. Pada 6 Agustus lalu, pengelola pun memutus aliran listrik ke apartemen Agus. Sejak itu, Agus menggunakan lampu darurat. Nah, karena tidak ada listrik di apartemennya, Agus mengisi ulang telepon selulernya di koridor apartemen. Tindakan inilah yang belakangan membuatnya mendekam di dalam sel.
Menurut Uung, pihak apartemen memutuskan aliran listrik ke apartemen Agus lantaran sejak Juli 2006 hingga Februari 2009 Agus tidak melunasi total service charge. ”Tunggakannya mencapai Rp 40 juta,” ujar Uung. Pengelola, kata dia, sudah beberapa kali menyurati Agus soal ini.
Adapun HGB yang atas nama Duta Pertiwi, kata Uung, itu karena tanah tersebut milik Duta Pertiwi sebagai pengembang. Jika status ini akan diubah menjadi milik perhimpunan penghuni, ujarnya, perlu perjanjian tukar-menukar dan butuh biaya. ”Status seperti ini sebenarnya tak jadi soal. Penghuni tetap bisa mengagunkan apartemennya ke bank,” katanya. Tapi, bagi Agus dan para penghuni lainnya, soal status kepemilikan itu tetap saja penting. ”Saya akan terus berjuang untuk itu,” katanya kepada Tempo.
Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo