Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIHIASI sejumlah lukisan dan pajangan cendera mata dari berbagai negara, ruangan itu tampak asri. Di salah satu sisi temboknya terpampang sebuah lukisan alam pegunungan. Seorang lelaki tengah memancing di bawah air terjun yang indah. Di sisi yang berlawanan, tergantung lukisan harimau Jawa yang ganas dibingkai kayu berwarna emas. Di ruang tamu Istana Wakil Presiden inilah Hamzah Haz menerima TEMPO, Kamis siang pekan lalu. Berpakaian safari abu-abu dan berpeci miring gaya khasnya, ia duduk dengan tenang, persis di depan lukisan air terjun.
Ketenangannya sungguh kontras dengan hiruk-pikuk politik di Jakarta akhir-akhir ini. Para politisi masih sibuk membicarakan langkah Wakil Presiden menemui Ja'far Umar Thalib, yang ditahan di Polda Metro Jaya awal Mei lalu. Oleh banyak pihak, ayunan langkah Hamzah dinilai tidak seirama dengan Presiden Megawati, yang merestui penangkapan Panglima Laskar Jihad itu.
Hubungan kedua figur pun lalu dianggap mengendur. Apalagi, sebelumnya Hamzah Haz, yang juga Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gagal mengegolkan Samudra Sukardi menjadi Direktur Utama Garuda. Upayanya terbentur tembok Istana Presiden, yang rupanya lebih mendukung Indra Setiawan.
Suhu politik di Ibu Kota kian hangat setelah muncul manuver di luar panggung pemerintahan. Kelompok Amien Rais mulai sibuk menggalang kekuatan Islam di berbagai partai lewat serangkaian pertemuan. Poros Tengah, yang tiga tahun silam sukses mengusung Abdurrahman Wahid ke Istana Presiden, seolah akan dihidupkan lagi. Tujuannya nyaris tak berubah, yakni untuk melawan kekuatan kaum nasionalis di bawah payung Megawati.
Lalu, ke mana Hamzah berpaling? Politisi kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat, ini rupanya masih mendayung di antara dua karang. Ia masih menjaga hubungan baik dengan Megawati. Tapi lelaki berusia 62 tahun ini juga menancapkan kakinya di kalangan poros Islam. Buktinya, Alimarwan Hanan, orang kepercayaannya di PPP, bersedia menjadi tuan rumah pertemuan kubu Amien Rais itu bulan depan.
Selama berkiprah di belantara politik negeri ini, langkah Hamzah memang selalu hati-hati. Hamzah juga tidak bisa dibandingkan dengan figur lain yang pernah memimpin PPP. Ia tidak bisa disamakan dengan Buya Ismail Hasan Metareum (1988-1998), yang sikapnya menyejukkan layaknya lukisan air terjun di Istana Wakil Presiden. Tapi, figur yang perjalanan karirnya banyak dihabiskan di parlemen ini juga tidak bisa disandingkan dengan H.J. Naro (1974-1988), yang flamboyan dan sedikit garang.
Hamzah punya gaya sendiri. Ketika kelompok Zainuddin M.Z. melawan kepemimpinannya, ia tidak mau berkompromi. Namun, tokoh sayap NU di PPP ini juga enggan menyerang balik secara frontal. Ia membiarkan Zainuddin mendirikan PPP Reformasi. Yang pasti, kemelut di Partai Ka'bah ini masih menjadi batu ujian bagi Hamzah. Soalnya, keinginan agar muktamar dipercepat pada 2003 masih bergaung lagi, walau kubu Zainuddin telah membuat partai sendiri.
Berhasilkah Hamzah mengendalikan partainya? Di mana pula ia akan berdiri di tengah pergumulan politik menjelang Pemilu 2004? Diwawancarai oleh Tim TEMPO—Bambang Harymurti, Wahyu Muryadi, Gendur Sudarsono, Agung Rulianto, Wahyu Dyatmika, dan fotografer Amatul Rayani—ayah 12 orang anak ini cukup blak-blakan membeberkan sikapnya. Berikut petikannya.
Apakah benar langkah Anda menjenguk Ja'far Umar Thalib di tahanan, awal Mei lalu, sempat membuat orang-orang di sekitar Presiden panik?
Enggak ada. Itu kan kekhawatiran saja. Kapolri sudah melapor ke Presiden dan enggak ada apa-apa itu.
Betulkah setelah kunjungan itu Anda dipanggil Presiden?
Ya. Itu gara-gara di koran kami diisukan macam-macam, pecah kongsilah, dan sebagainya.
Masalahnya, Ja'far Umar ditangkap karena salah satu alasannya ia menghina Presiden dan Wakil Presiden lewat pidatonya di Ambon. Mengapa Anda nekat menemuinya?
Kami tidak mencampuri substansi persoalan. Saya datang ke situ hanya karena beliau tertimpa musibah. Sebagai manusia, kan ada khilafnya. Mungkin saja Ustad Ja'far seperti itu.
Apakah penangkapan Ja'far memang diputuskan oleh kabinet?
Ini kan kebiasaan lama. Setiap kali ada penangkapan, seolah-olah rekayasa pemerintah. Padahal ini kan wilayah polisi, bukan urusan pemerintah.
Bukankah selama ini Kapolri memang berada di bawah Presiden?
Ya, tapi dia dipilih oleh DPR, kan.
Apakah kunjungan Anda itu tidak menjadi tekanan politis yang bisa menghambat proses hukum?
Sebelumnya sudah saya beri warning, walaupun langit runtuh, penegakan hukum harus jalan terus. Jadi, enggak ada tekanan itu. Presiden Filipina Arroyo saja juga menengok Josep Estrada (bekas presiden yang ditahan).
Kabar yang beredar, Anda buru-buru menjenguk Ja'far Umar karena Ketua Umum PPP Reformasi, Zainuddin M.Z., sudah menengok terlebih dahulu....
Justru saya sudah merencanakan sehari sebelumnya. Jadi, ada koran yang memuat rencana kunjungan saya. Rupanya dia (Zainuddin M.Z.) baca, terus berangkat duluan. Sedangkan saya kan ada protokolernya. Jadi, saya tidak bisa langsung berangkat saat itu juga.
Bagaimana pandangan Anda sendiri soal Laskar Jihad?
Sekali lagi, soal itu serahkan saja kepada aparat keamanan. Merekalah yang menertibkan apa yang bertentangan dengan hukum kita.
Mengapa Anda juga bersedia datang ke pembukaan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Laskar Jihad?
Itu sudah janji saya sejak April. Kalau dia memang teroris, kok mengadakan mukernas, mengundang pembicara dari kalangan menteri. Organisasinya rapi, tersebar di seluruh Indonesia. Jadi, organisasi ini jelas.
Apakah Anda ikut membantu biaya acara itu?
(Sambil tersenyum.) Saya ini kalau diminta membantu, ya, saya membantu semampunya. Ada yang empat juta, ada juga yang lima juta rupiah.
Pengangkatan Priyono Tjiptoherijanto sebagai Sekretaris Wakil Presiden kabarnya juga membuat hubungan Anda dengan Megawati merenggang. Anda dulu kan menjagokan Laode Kamaluddin.
Saya taat pada hukum administrasi negara. Dari segi kepangkatan, Laode belum memenuhi. Priyono kan juga pilihan saya. Kalau bukan Priyono, saya enggak mau. Sekarang, Laode saya jadikan staf khusus. Keppresnya juga sudah ditandatangani. Semuanya sudah beres.
Tapi, sebelumnya, Anda juga gagal mengegolkan Samudra Sukardi menjadi Direktur Utama Garuda.
Dia kan masuk dari jalur karir. Kebetulan saja dia kader PPP. Saya bilang ke dia, apa pun yang you dapat, itu yang terbaik. Kalau jadi dirut, itu yang terbaik. Kalau tidak, itu juga yang terbaik. Saya hanya mau melihat BUMN itu menjadi lokomotif perekonomian kita. Tidak ada kepentingan politis.
Apakah komunikasi Anda dengan Presiden masih lancar?
Setiap waktu. Dengan telepon juga bisa. Setiap Selasa, rutin kita makan pagi.
Tapi tiga pekan lalu Anda tidak datang ke acara rutin itu. Mengapa?
Ha-ha-ha. Waktu tidak datang itu, saya ke Lemhannas. Di sana kan jadwalnya ketat. Mereka yang di Istana Presiden juga sudah tahu.
Saat kampanye, PPP menolak presiden wanita. Mengapa kemudian Anda mau menjadi wakilnya?
Saya dulu menolak karena kami wajib menyampaikan pendapat dari para ulama. Kalau tidak bisa, ya sudah. Kita kan harus realistis.
Lalu, bagaimana sikap PPP sekarang soal usulan memasukkan Piagam Jakarta ke UUD 1945?
Bagi PPP, kalau forumnya sudah tidak memungkinkan, untuk apa dipaksakan? Kesepakatannya, mukadimah tidak akan kita singgung lagi. Kita masuk dari yang lain-lain saja.
Jadi, PPP masih berusaha agar syariat Islam masuk dalam perubahan Pasal 29?
Ya, di mana mungkin, kami usahakan di situ. Tapi kita lihat dulu di Aceh. Di Aceh kan sudah berlaku syariat Islam. Perbankan juga sudah. Terakhir ini pajak, juga wakaf. Artinya, perjuangan kami sudah ada hasilnya.
Di tubuh PPP sendiri sekarang muncul desakan agar muktamar dipercepat pada 2003. Bagaimana sikap Anda?
Begini, menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, pengurus peri-ode saya berakhir September atau November 2003. Nah, pemilihan umum kan Juni 2004. Berarti sela waktu hanya beberapa bulan. Apakah kami sempat melakukan konsolidasi? Sebab, di PPP, muktamar dimulai dari atas terus ke wilayah dan cabang. Proses ini paling cepat satu tahun. Saya melihat, biarkanlah dulu yang sekarang ini. PPP sudah sampai pada kursi wakil presiden dan menteri. Ketua DPRD, bupati, dan wali kota juga banyak yang berasal dari PPP. Mengapa harus memaksakan diri? Lebih baik kita isi darah segar ke dalam struktur partai saja.
Tapi desakan untuk mempercepat muktamar tampaknya cukup serius.
Saya ini selalu akomodatif. Bagaimana dari semua sisi, itu kita pertimbangkan. Kalau memang itu kita perlukan, ya mari. Kalau saya tetap berpegang bahwa Mukernas II itu sebaiknya dilakukan pada 2004.
Apakah kemelut ini akan diselesaikan dalam rapat pemimpin PPP bulan depan?
Tidak. Tapi, kalau di sana ada pertanyaan dan berkembang, boleh kita bahas. Kalau wilayah menganggap perlu ada mukernas untuk membicarakan lagi, ya silakan.
Apakah Anda masih bersedia dicalonkan lagi sebagai Ketua Umum PPP periode mendatang?
Saya maksimal 2004. Saya tidak bersedia dipilih lagi.
Kalau muktamar jadi diselenggarakan pada 2003 dan Anda tidak lagi terpilih sebagai ketua umum, Anda akan kehilangan tongkat politik dalam Pemilu 2004. Tapi, bukankah calon presiden tidak harus dari ketua umum partai?
Nantilah itu. Nanti saya jadi sorotan lagi.
Bagaimana sebenarnya hubungan PPP dengan PPP Reformasi?
Kami tidak boleh takabur. Mereka itu counter part kami. Waktu teman-teman itu membentuk PPP tandingan, saya katakan biarlah kami ini menjadi holding PPP. Mereka kan punya segmennya sendiri. Siapa tahu dalam perjalanan nanti PPP Reformasi bergabung lagi dengan kita. Tapi, selama itu belum pasti, ya kita siap membentuk koalisi. Siapa tahu kalau kami dapat 58 kursi, PPP Reformasi dapat 50 kursi. Kami kan jadinya mendapat 108 kursi. Jadi, tidak usah dianggap ancaman.
Soal koalisi ini sudah sempat dibicarakan dengan K.H. Zainuddin?
Itu kalau memang tidak bisa disatukan. Selama bisa, ya kita satukanlah.
Menjelang Pemilu 2004, para tokoh partai sudah berancang-ancang membentuk poros Islam. Apakah PPP akan bergabung?
Enggak tahu saya. Kami belum bicara soal tersebut. Rencana itu belum matang.
Bukankah Alimarwan Hanan (Sekjen DPP PPP) telah bersedia menjadi tuan rumah pertemuan mereka?
Kami ini selalu terbuka, siapa saja yang mengundang. Apalagi Alimarwan kan bagian dari pemerintah juga. Jadi, apa yang menjadi pendapat dari teman-teman bisa dipakai sebagai input buat kita.
Apakah gerakan partai-partai Islam kali ini akan menjadi Poros Tengah jilid dua?
Kalau soal Poros Tengah, begini ceritanya. Dulu, yang mencetuskannya saya. Waktu itu Amien Rais sudah loyo karena hanya dapat tujuh persen. Lalu, saya dengan tim mengundang Amien Rais ke rumah. Kami bicara empat mata. Saya jelaskan, kalau suara kita bersatu, hasilnya lebih besar dari PDIP dan Golkar. Kita harus bergabung.
Bagaimana reaksi Amien Rais?
Amien Rais tanya, bagaimana caranya? Saya jawab, power sharing. Kan ada posisi presiden, wakil presiden, Ketua DPR, Ketua MPR, Ketua DPA. Lalu, kami sepakat menyampaikan ke Gus Dur. Figur Gus Dur ini penting karena PKB saat itu mencalonkan Ibu Mega. Amien Rais ketemu duluan dengan Gus Dur di kantor Muhammadiyah. Dalam pertemuan itu, langsung saja dia menyampaikan: "Gus, sampean calon presiden, ya!"
Anda sendiri kapan ketemu Gus Dur?
Siangnya saya baru ketemu, setelah Amien Rais. Waktu itu ada Alwi Shihab. Saya katakan bahwa PPP dan PKB kan berseberangan soal ijtihad politik. Padahal saya diberi beban ulama supaya presidennya harus laki-laki. Gus Dur langsung menyahut: "Sama ini! Ulama ini kok pendapatnya sama ya!" Ha-ha-ha (Hamzah terbahak sejenak). Saya sendiri hanya menawarkan untuk Gus Dur salah satu ketua lembaga tinggi negara, belum tahu yang mana. Tapi, rupanya, untuk meyakinkan Gus Dur, Pak Amien sudah menawari dia jadi kandidat presiden. Jadi, selesailah.
Saat itu, rencana power sharing masih jadi rahasia?
Waktu wartawan bertanya ke saya, bagaimana jika nanti Megawati yang terpilih jadi presiden, saya katakan: "Kalau memang itu pilihan demokratis melalui mekanisme yang benar di MPR, ya kita terima." Eh, Gus Dur menyela, "Pak Hamzah ini terburu-buru. Nanti kalau Mega terpilih, enggak stabil kita."
Apakah pertemuan para figur partai Islam sekarang mau mengulang kisah sukses itu?
Hanya tukar pikiran. Misalnya, saat ini sering dibicarakan tentang amandemen UUD 1945. Ya dibicarakan, agar di sidang tahunan nanti bisa lancar. Juga ada kaitannya soal pemulihan ekonomi, agar bisa berjalan.
Tapi kabarnya juga sudah ada tawaran dari Presiden Megawati untuk bersama-sama melenggang lagi pada 2004. Apakah Anda bersedia?
Umur kita kan belum tentu nyampek. Yang penting kita kerja dulu untuk sekarang.
Anda sudah memberi jawaban kepada Presiden?
Belum ada tawaran juga. Itu kan bisa-bisanya ente (Anda) saja, ha-ha-ha....
Dulu, sempat terdengar kabar tentang repotnya para pengawal menjaga dua istri dan anak-anak Anda. Bagaimana sekarang?
Enggak ada itu. Bahkan sekarang saya sudah mengurangi pengawalan. Baru-baru ini saya ke Pontianak. Saya naik pesawat umum dan tanpa pasukan pengamanan. Sekretaris pribadi pun tidak ada. Istri saya hanya membawa satu ajudan. Itu pun karena anak saya tidak jadi berangkat. Jadi, sudah saya kurangi. Saya ingin membedakan antara urusan dinas dan pribadi.
Hamzah Haz
Lahir:
Istri:
Karir politik:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo