Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASUS mobil mewah yang melibatkan Sofjan Jacoeb tampaknya makin memperuncing pertikaiannya dengan Kapolri Da'i Bachtiar. Bila dirunut ke belakang, perseteruan mereka boleh dibilang tak lepas dari konflik panjang yang pernah melanda Kepolisian RI.
Awalnya setidaknya terjadi ketika Presiden Abdurrahman Wahid, menjelang kejatuhannya, tiba-tiba melantik Jenderal Polisi Chaeruddin Ismail sebagai Kapolri baru. Chaeruddin, yang sebelumnya menjabat Wakil Kapolri, menggantikan Surojo Bimantoro. Pengangkatan ini pula yang kemudian ikut memicu lahirnya Sidang Istimewa MPR untuk memecat Abdurrahman sebagai presiden.
Setelah Abdurrahman lengser, benih perpecahan di tubuh Polri kian memuai. Korps berseragam cokelat ini terpilah antara kubu Bimantoro dan kelompok Chaeruddin. Kubu Bimantoro tidak bisa menerima pengangkatan jabatan Wakil Kapolri. Sebaliknya, kelompok Chaeruddin menganggap penempatannya sebagai orang kedua di instansinya itu legal.
Saat itu Sofjan berada di lingkungan petinggi polisi yang pro-Bimantoro. Malah Sofjan dikabarkan termasuk petinggi polisi yang tak setuju dengan dekrit pembubaran parlemen dari Presiden Abdurrahman. Ketika itu pula disebut-sebut bahwa Sofjan tergolong jenderal polisi yang punya peluang besar untuk menjadi Kapolri pengganti Bimantoro.
Ternyata, begitu Megawati Sukarnoputri menjadi presiden menggantikan Abdurrahman Wahid, justru Da'i Bachtiar yang diangkat sebagai Kapolri baru. Rupanya, November 2001 itu, Da'i dianggap sebagai jenderal polisi yang tak ikut-ikutan dalam konflik antara kubu Bimantoro dan kelompok Chaeruddin.
Tak dinyana pula, melejitnya Da'i menjadi pertanda buruk buat karir Sofjan. Padahal, sehari sebelum pelantikan Da'i sebagai Kapolri, Sofjan selaku Kepala Polda Metro Jaya berhasil meringkus Tommy Soeharto, yang telah lama buron. Namun, prestasi gemilang pria kelahiran Lampung 55 tahun silam itu sepertinya tak berpengaruh di mata Da'i.
Diam-diam, pertikaian dua jenderal polisi itu pun kian menebal. Suatu waktu, Sofjan merasa tidak cocok dengan Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Adang Rochjana. Karena itu, Sofjan mau mengganti Adang. Tapi niat itu ditolak Da'i, yang sudah menjadi atasan Sofjan. Menurut Da'i, Adang masih layak dipertahankan. Toh, Sofjan nekat melaksanakan serah-terima jabatan Adang.
Yang terjadi kemudian, Sofjan diparkir ke Lembaga Ketahanan Nasional. Itulah petunjuk usainya karir Sofjan sebagai jenderal polisi. Sesudah itu, masih ada lagi pukulan terhadap Sofjan. Ia bersama sejumlah perwira tinggi polisi dipensiunkan oleh Kapolri karena telah berusia 55 tahun.
Sofjan melawan. Ia menolak dipensiunkan. Dalihnya, berdasarkan Undang-Undang Kepolisian yang baru (tahun 2002), usia pensiun polisi bisa diperpanjang menjadi 58 sampai 60 tahun. Sedangkan Da'i berpendapat bahwa undang-undang itu belum bisa dilaksanakan lantaran belum ada petunjuk operasionalnya. Karena itu, Da'i menggunakan Undang-Undang Kepolisian yang lama, yang mematok batas usia pensiun 55 tahun.
Tapi bukan Sofjan namanya kalau tak pantang surut. Ia pun bergerilya. Dengan mengaku mendapat kuasa dari sekitar 160 perwira Polri, ia mengadu ke DPR, MPR, DPA, dan MA. "Dengan keputusan Kapolri itu, para anggota dan perwira merasa tidak ada kepastian hukum soal usia pensiun. Saya hanya mengantar," kata Sofjan.
Belakangan, MA mengeluarkan fatwa yang mempersilakan para perwira Polri menempuh jalur hukum. Itulah yang membuat Sofjan dan sejumlah petinggi polisi mau menggugat Kapolri ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Diduga Sofjan berani lantaran ia didukung pula oleh beberapa jenderal polisi berbintang dua. Malah, menurut sebuah sumber di kepolisian, para perwira yang berada di belakang Sofjan sempat berkali-kali menelepon Da'i.
Sebaliknya, Da'i bersikukuh pada keputusannya. Menurut sumber lain, juga di kepolisian, keputusan memensiunkan para perwira tinggi polisi lebih karena para jenderal itu dianggap tak lagi produktif. Da'i menilai justru polisi di lapangan dan beberapa manajer sebagai pengelola kepolisianlah yang sesungguhnya dibutuhkan, bukan para jenderal itu.
Ada kabar pula bahwa banyaknya jenderal polisi memang menjadi masalah. Dalam soal gaji, misalnya, hal itu menjadi beban berat. Apalagi anggaran Polri dari APBN amat minim. Kata sumber di atas, Da'i tak ingin bila Polri harus menyedot dana untuk gaji dari duit tak halal para bandar judi. Sebelumnya, kepolisian dikabarkan menggunakan uang dari bandar judi untuk menutupi biaya operasional, termasuk honor Rp 5 juta sebulan per orang untuk 30 staf ahli Kapolri.
Kalau Sofjan terus mewujudkan hasratnya menggugat Kapolri, sementara kasus mobil mewah yang melibatkan namanya mulai dibongkar, mungkinkah perseteruannya dengan Kapolri Da'i Bachtiar akan semakin seru?
Memang, Kamis pekan lalu, Sofjan mengunjungi Kapolri dan mengklarifikasi kasusnya. Namun, Da'i menyatakan akan memproses kasus mobil mewah itu secara hukum. Menurut Da'i, tak ada alasan seorang jenderal polisi berbintang tiga haram diperiksa oleh perwira tinggi polisi lainnya. Apalagi, katanya, kasus ini ditangani oleh jenderal polisi berbintang tiga juga. "Bintang tiga dengan bintang tiga boleh, dong," katanya.
Irfan Budiman, Retno Sulistyowati (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo