Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

2 Juni 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rupiah Makin Perkasa

Nilai rupiah makin perkasa. Dalam perdagangan Jumat pekan lalu, rupiah ditutup pada kurs Rp 8.955 per dolar AS. Ini merupakan kurs rupiah terkuat dalam delapan bulan terakhir atau setelah tragedi 11 September 2001. Menurut Gubernur BI Syahril Sabirin, penguatan rupiah terjadi karena ada penurunan permintaan rupiah di dalam negeri lantaran keberhasilan Paris Club dan juga adanya pasokan dolar dari privatisasi BCA beberapa waktu lalu. ”Melihat pergerakannya, rupiah masih akan terus menguat,” katanya kepada Istiqomatul Hayati dari Tempo News Room.

Rupiah yang menguat ini pada akhirnya membuat suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) terus menurun. Bahkan penurunan bunga SBI lebih cepat ketimbang kurs rupiah. Pada lelang hari Rabu lalu, bunga SBI mencapai 15,81 persen. Ini angka terendah dalam 13 bulan terakhir. Jika kondisi itu terus berlanjut, ia akan menjadi sinyal positif bagi dunia usaha. Paling tidak, mereka bisa keluar dari tekanan bunga dan rupiah, terutama perusahaan yang punya utang dolar. Dan ujungnya, perbankan diharapkan bisa mempercepat pengucuran pinjaman ke sektor riil dan meningkatkan peran intermediasinya.

Howard ke Beijing

Presiden Cina Jiang Zemin sedang laris. Banyak pihak ingin menemuinya. Yang terakhir adalah Perdana Menteri Australia, John Howard, yang bertatap muka dengan Jiang, Kamis pekan lalu. Semuanya melakukan politik dagang agar perusahaan mereka bisa memenangi tender gas di Guangdong, Cina. Howard minta agar Konsorsium Northwest Shelf yang menang. Maret lalu, Presiden Megawati juga melakukan trik serupa agar Kilang Gas Tangguh di Papua yang mendapat tender tersebut.

Dukung-mendukung dalam proyek itu pun mulai dilakukan. Wakil Perdana Menteri Inggris, John Prescot, mendukung Indonesia karena yang menggarap Tangguh adalah BP. AS tak ketinggalan. Menteri Luar Negeri-nya, Colin Powell, telah mengirim surat untuk Konsorsium Ras Laffan LNG (Qatar), yang di dalamnya terdapat saham ExxonMobil.

Tender pembelian gas di Guangdong memang tergolong sangat besar. Pada tahap awal, Guangdong akan membutuhkan gas 3 juta ton per tahun dan mulai tahun 2004 akan naik lagi menjadi 7 juta ton. Nilainya juga sangat menggiurkan, yakni US$ 530 juta per tahun dalam jangka 20 tahun. Jika Indonesia memenangi kontrak ini, bakal ada pemasukan sekitar US$ 14 miliar. Sayangnya, peluang Indonesia memenangi tender tersebut, yang akan diumumkan pekan ini, kabarnya tipis karena harga yang ditawarkan 10 sen lebih tinggi ketimbang Qatar, yang memberi harga US$ 3,3 per MMBTU.

DPR Menyelamatkan BII

Tanpa debat panjang, Kamis pekan lalu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui rencana pemerintah menyuntikkan modal bagi Bank Internasional Indonesia (BII) senilai Rp 4,813 triliun melalui penerbitan saham baru (right issue). Kebutuhan tambahan modal bagi BII ini naik Rp 500 miliar dari rencana semula gara-gara nasabah menarik dananya (rush) di BII. Kepala BPPN Syafruddin Temenggung mengatakan bahwa, dengan right issue itu, modal BII akan naik dari minus Rp 4,2 triliun menjadi Rp 600 miliar. Sementara itu, rasio kecukupan modal (CAR) bakal mencapai 29,57 persen tanpa market value at risk dan 20,2 persen dengan market value at risk.

Ini adalah suntikan modal ketiga setelah sebelumnya pemerintah menyuntik modal Rp 6,6 triliun pada Maret 1999, dan Rp 14,4 triliun pada November 2001. Paskah Suzetta dari Komisi IX DPR menegaskan bahwa suntikan ini adalah persetujuan terakhir dalam penyehatan BII. Bank bekas milik keluarga Eka Tjipta Widjaya (Grup Sinar Mas) ini memang babak-belur akibat kredit macet Sinar Mas senilai US$ 1,2 miliar dan belum dibayarnya tagihan pinjaman antarbank BII senilai Rp 1,2 triliun. Semoga pernyataan bahwa ini suntikan terakhir untuk BII benar adanya.

Malaysia Mencabut Hak APP

Nasib Asia Pulp & Paper (APP) sedang apes. Pemerintah Negara Bagian Serawak, Malaysia, menarik kembali hak pengusahaan hutan anak perusahaan APP, Borneo Pulp and Paper Sdn. Bhd. (BPP), Kamis pekan lalu. Perusahaan patungan ini sebelumnya mendapatkan lisensi untuk menggarap lahan seluas 200 ribu hektare atau tiga kali luas Singapura. ”Ini keputusan yang sulit, tapi diperlukan untuk melindungi kepentingan negara dan rakyat,” kata Abdul Taib Mahmud, Menteri Perencanaan dan Manajemen Sumber Daya Alam Serawak, seperti dikutip Reuters.

Penarikan lisensi ini agaknya terkait dengan kegagalan Serawak Timber Industry and Development Corporation (STIDC), yang berniat mengambil alih 60 persen saham APP di proyek senilai US$ 1,5 miliar ini. STIDC sendiri adalah pemegang saham minoritas BPP. Selain itu, pemerintah tampaknya juga khawatir para kreditor asing akan meminta aset APP, termasuk yang di Serawak. Di Malaysia sendiri, BPP berutang US$ 66 juta kepada konsorsium tujuh bank. Sementara itu, kredit APP seluruhnya mencapai US$ 13,4 miliar. Mulai Maret 2001, APP sudah menghentikan semua pembayaran utangnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus