Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

"Korupsi Terjadi dari Hulu hingga Hilir"

6 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perang melawan korupsi juga perang menghadapi jalan pikiran. Taufiequrachman Ruki, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sadar betul medan pertarungan di depan matanya. Belum lama ini, Taufieq menerima telepon dari seorang pejabat di daerah. Pejabat itu berkeyakinan bahwa menerima tiket perjalanan dinas dari seorang pengusaha tidak tergolong korupsi.

"Itu kan cara pandang dan berpikir yang sudah rusak," kata Taufieq, 58 tahun. Ia tahu, di antara 133 negara, Indonesia masuk enam besar negara terkorup di dunia. Karier Taufieq sebagai polisi sebenarnya cukup berkilau. Ketika menjabat Kepala Kepolisian Wilayah Malang, Jawa Timur, ia berhasil membangun kompleks perumahan bagi anak buahnya. Dan sejumlah jabatan sejak 1992: anggota DPR dua periode, lalu Deputi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Bidang Keamanan Nasional.

Tapi korupsi? "Yang paling berat adalah membangun kepercayaan masyarakat terhadap KPK," ujar ayah dua anak buah cintanya dengan Atti Suriagunawan itu.

Selasa sore pekan lalu, Taufieq menerima wartawan Tempo, Rommy Fibri, Nurdin Kalim, dan L.R. Baskoro, di kantornya di Jalan Veteran, Jakarta, untuk sebuah wawancara khusus. Dengan nada suara berapi-api, pensiunan polisi itu bercerita seputar langkah pemberantasan korupsi dan KPK yang dikomandaninya. Berikut petikannya:


Sebenarnya, apa langkah KPK dalam memberantas korupsi?

Selama ini korupsi selalu didekati dengan pendekatan hukum. Artinya, selama ini soal korupsi tidak pernah steril dari intervensi politik. Tidak pernah ada upaya sistematis dari pemerintah agar korupsi tidak terjadi. Semuanya gagasan sesaat, misalnya pengawasan melekat. Akibatnya, ketika pencegahan korupsi gagal, maka sistem penegakan hukum tergerogoti korupsi. Pada sistem penyelenggaraan pemerintahan dan penegakan hukum dijangkiti korupsi.

Jadi, saya tidak menggunakan pola lama, yakni menangkap sersan yang sedang melakukan pungutan liar. Kita hanya menangkap pelaku di lapangan, tanpa pernah tertangkap dalangnya. Daripada mesti mengorbankan personel golongan rendah, lebih baik kita tembus langsung atasannya. Mulai dari menteri hingga direktur jenderal kita ajak berkomitmen memberantas korupsi.

Jadi, konkretnya seperti apa?

Para pejabat itu harus ditanya apa kendala mereka dalam memberantas korupsi. Ketika sudah berjanji, kita membuat kesepakatan. Sesuai dengan waktu yang mereka janjikan sendiri, kita tinggal menagih hasilnya. Keseriusannya memerangi korupsi diuji mulai dari komitmen, pelaksanaan, hingga evaluasi program pemberantasan. Tapi, kita juga harus mencukupi kebutuhan belanja pegawai. Kalau gaji pegawai masih kecil, pelaksanaan di lapangan pasti akan sulit. Makanya, membahas korupsi di Indonesia adalah bicara soal sistem.

Tapi model pencegahan seperti itu tidak memuaskan masyarakat?

Memang, masyarakat sudah tidak percaya. Pasalnya, rasa keadilan sudah tersentuh. Bahkan pelaku korupsi justru dijadikan pejabat. Wajar jika masyarakat menuntut tindakan, bukannya pencegahan. Tidak salah, tapi ini menyulitkan upaya pemberantasan korupsi secara sistematis. Korupsi sudah terjadi sejak dari hulu hingga hilir. Dan cara korupsinya sudah dari perencanaan hingga proses pengadaan. Buktinya, APBD sudah dikorupsi dan melibatkan anggota DPRD.

Selain itu, cara berpikir masyarakat sudah rusak. Banyak yang tak sadar apa yang mereka lakukan telah merugikan negara dan terhitung korupsi. Mereka yang menerima suap, memeras, menerima pemberian yang berhubungan dengan jabatan, termasuk korupsi. Dan masya-rakat sangat toleran melihat para koruptor beraksi.

Sebetulnya, apa sih kesulitan yang dihadapi KPK?

Yang paling sulit adalah meraih kepercayaan dari masyarakat. Kalau mau mudah, sih, tangkap saja seorang kakap, kemudian dijadikan contoh bagi yang lain. Secara bersamaan, kita membenahi sistem secara komprehensif.

Masalahnya, sumber daya KPK masih sangat terbatas. Selama ini kami begitu disibukkan dengan proses merekrut penyidik dan staf sekretariat. Bahkan pemerintah mengangkat Sekretaris Jenderal KPK pada bulan kedelapan setelah kami berdiri.

Itukah yang membuat kasus-kasus yang disidik KPK hanya sedikit?

Ya, kita memang punya keterbatasan SDM. Kalau hanya taraf penyelidikan sih tidak masalah. Nah, kalau disidik, maka kerja SDM yang lain harus dihentikan dulu. Kami punya prinsip, kalau sudah disidik dan dilimpahkan ke pengadilan, kami harus menang. Cuma masalahnya, sistem peradilan kita kan masih belum 100 persen siap.

Jadi, wajar jika masyarakat menuding kerja KPK masih lamban?

Kalau rakyat awam yang menuding karena kurang paham peta, sangat wajar. Tapi justru tudingan datang dari kaum intelektual yang seharusnya paham, misalnya para anggota DPR. Mereka harus paham bahwa kami tidak bisa berbuat banyak atas kasus minimnya hakim.

Tapi masyarakat berharap banyak pada KPK karena sudah kehilangan harapan pada polisi dan jaksa?

Jika polisi dan jaksa sudah bekerja maksimal, maka KPK hanya melakukan supervisi. Kita akan berkonsentrasi pada upaya-upaya pencegahan. Kalau misalnya muaranya kotor, kami harus bekerja di hulu agar alirannya tidak kotor. Nyatanya kondisinya tidak segampang itu. Kami harus bekerja mulai dari hulu hingga hilir. Makanya komitmen Presiden Yudhoyono untuk menangani korupsi di hulu sangat penting. Nah, kalau semua sudah beres, KPK dibubarkan.

Apa batas kewenangan KPK dibandingkan dengan polisi dan kejaksaan?

KPK memiliki semua kewenangan polisi dan kejaksaan. Polisi ditambah jaksa sama dengan KPK. Hanya, kasus yang ditangani KPK sangat terbatas pada penyelewengan aparat dan penyelenggara negara, kasus yang meresahkan masyarakat, dan nilainya di atas Rp 1 miliar.

Jadi, kasus yang bernilai di bawah Rp 1 miliar tidak bisa ditangani KPK meski dilakukan aparatur negara?

Tidak harus menunggu sampai Rp 1 miliar. Itu kami tafsirkan sebagai alternatif. Jadi, kalau misalnya seorang direktur reserse maupun jaksa menerima suap Rp 500 juta, maka bisa disidik KPK. Yang penting, rasa keadilan masyarakat harus dikedepankan. Kalaupun memang benar-benar jauh di bawah angka semiliar, berkasnya kami limpahkan pada pejabat berwenang di lokasi kejadian.

Lalu, apa saja yang menjadi prioritas KPK?

Kami akan memberantas korupsi di sektor pelayanan publik. Pelayanan pegawai negeri terhadap publik masih sangat rendah. Mulai dari imigrasi, pertanahan, urusan SIM dan KTP, pelayanan mereka sangat buruk. Maka, KPK berkoordinasi dan melakukan pertemuan dengan pihak-pihak terkait. Kami menuntut konsep mereka memberantas korupsi di instansi masing-masing.

Setelah itu, kami juga akan berkonsentrasi terhadap banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam proyek pengadaan barang dan jasa dari lembaga pemerintah. Dulu Profesor Soemitro Djojohadikusumo pernah mengatakan kebocoran mencapai 30 persen. Nah, hingga kini kok tidak kunjung membaik. Banyak yang mengeluh, kalau mengambil uang proyek ke KPKN (Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara) selalu dikenai biaya pungli hingga puluhan juta. Ini harus diperbaiki.

Kami ingin Menteri Keuangan, Bappenas, dan Menko Perekonomian melihat banyaknya kebocoran semacam ini. Dengan begitu, terjadi penghematan keuangan negara dan gaji pegawai bisa dinaikkan. Syukur-syukur bisa untuk menambah biaya pendidikan, perbaikan fasilitas rakyat, bayar utang, dan sebagainya.

Selain itu, sektor apa lagi yang akan diperbaiki KPK?

Kami akan berusaha menekan agar sistem kepegawaian di lingkungan instansi pelayanan publik diperbaiki. Di antara pegawai negeri saat ini bergulir idiom PGPS (pintar-goblok, penghasilan sama). Pemerintah tidak punya sistem jenjang karier yang cukup bagus. Contoh, seorang kapten digaji Rp 1,2 juta. Bahkan saya yang pensiunan inspektur jenderal polisi saja gajinya Rp 2,2 juta.

Mau contoh lebih ekstrem, seorang Kapolsek itu digaji negara hanya Rp 1,8 alias tak lebih dari Rp 2 juta. Bayangkan, prajurit yang otoritasnya begitu besar tapi digaji sangat minim. Begitu juga gaji hakim. Bayangkan, sebuah perkara yang nilainya lebih dari Rp 1 triliun diadili oleh hakim yang gajinya tak lebih dari Rp 4 juta.

Itu baru sistem penggajian, belum pembinaan karier dan sistem kepegawaian. Ini yang coba kita jelaskan kepada pemerintah, mereka harus membenahi sistem kepegawaiannya.

Apakah KPK tidak akan menyentuh kasus-kasus korupsi besar di masa lalu, seperti kasus mantan presiden Soeharto dan BLBI?

Jawabannya belum. Kapasitas kami belum mencukupi untuk itu. Secara jujur harus saya akui, penuntut umum dan penyidik yang kami miliki tidak lebih baik dari penyidik dan penuntut umum yang dimiliki kejaksaan maupun kepolisian. Kasus-kasus itu adalah kasus-kasus besar. Kalau kami datang dengan penyidik kelas menengah, terus terang, sama saja dengan tim Liga Bank Mandiri main di Liga Seri A Italia. Kami akan jadi tertawaan.

Tapi ada rencana ke sana?

Tenang saja. Masa kedaluwarsa kasus-kasus itu kan hingga 18 tahun. Jadi, masih mungkin untuk kita kejar. Terus terang, kami sangat penasaran. Bayangkan, Rp 1.000 triliun biaya krisis yang harus dipikul bangsa ini. Berapa yang bisa ditarik kembali, dan berapa yang dibawa lari oleh orang-orang itu. Kurang ajar betul kan. Sayangnya, KPK tidak diberi wewenang untuk bisa membuka rekening oleh BI. Tapi, melihat perkembangan undang-undang kita, saya optimistis suatu saat akan bisa kami kejar.

Jadi, sekali lagi saya harus jawab belum. Kalau akan ke sana, itu pasti. KPK akan masuk ke Liga Seri A Italia. Kita harus jujur kepada masyarakat bahwa kapasitas kita saat ini belum bisa ke sana. KPK kan baru berjalan 11 bulan. Tapi saya anggap kalau tuntutan masyarakat seperti itu, ya, wajar. Apalagi rasa keadilan mereka telah puluhan tahun tersakiti.

Bukankah mengungkap kasus-kasus besar itu sama saja dengan membuat tonggak pemberantasan korupsi, sesuatu yang sangat diharap masyarakat?

Karena tonggak itulah. Sekarang kalau ternyata tonggaknya itu tidak bisa kita raih, maka kitalah yang akan dipermalukan. Satu kali kami maju, kami tidak boleh kalah. Harus menang. Dan untuk bisa menang, kita harus mengukur kekuatan dong.

Berarti dua kasus besar sekarang (kasus pengadaan helikopter Pemda Aceh dan kasus tanah di Maluku) yang akan dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pasti menang dong?

Oh yakin dong, harus menang. Kalau sampai kalah, berarti saya mundur. Saya sudah berani menyatakan dia tersangka. Saya berjalan berdasarkan keyakinan dan bukti-bukti yang kita miliki.

Kalau ternyata nanti keputusan hakim berbeda?

Oh itu hak dia sebagai hakim. Tapi buat saya itu kekalahan. Dan buat apa saya maju terus? Tidak ada gunanya. Nanti silakan masyarakat yang menilai, apa memang hakimnya yang sangat pintar atau memang kitanya yang sangat bodoh.

Dengan rencana akan mengungkap sejumlah kasus cukup besar, apakah sudah mulai ada upaya-upaya mendekati dan mempengaruhi Anda?

Oh, sudah. Sudah ada yang mencoba seperti itu.

Lalu bagaimana Anda mengatasinya?

Saya sudah membangun perkawanan sejak masih dinas di kepolisian dulu. Ketika masih berpangkat letnan. Dengan mengemban jabatan Ketua KPK se-karang ini, saya betul-betul menyeleksi: kawan yang betul-betul berkawan, kawan yang sekadar berkawan, kawan yang kawanan. Kawanan dan sekadar berkawan itu melihat karena ada kepentingan, saya harus dikawanin karena saya pejabat. Jadi, saya harus membatasi diri untuk berkawan saat ini.

Upaya-upaya untuk melakukan pendekatan lewat kawan-kawan saya, banyak dilakukan. Lewat kawan politik, kawan pengacara, atau kawan polisi. Tapi saya bilang, oke terima kasih. Tapi saya minta sebagai kawan, keep the distance with this case. Karena kalau you masuk ke kasus ini, you berhadapan dengan saya. Dan kita sama-sama profesional. Saya orangnya pantang digoyang-goyang.

Bagaimana dengan teror?

Kalau teror, terus terang, nggak ada. Mungkin belum, hahaha....

Bagaimana Anda menghadapi ketika di antara kawan-kawan yang benar-benar sebagai kawan itu terlibat kasus korupsi?

Begini ya. Saya kenal dengan orang-orang yang kini kasusnya sedang kita tangani dan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan ad hoc. Tapi begitu masuk ke wilayah profesional, tidak ada lagi pembicaraan sebagai kawan. Itu sikap saya.

Lalu bagaimana jika suatu saat Anda, misalnya, harus berhadapan dengan presiden yang terlibat kasus korupsi?

Wah, ini pertanyaannya politis sekali. Andai-andai juga saya repot. Saya kira untuk kasus itu ada DPR. Memang kedudukan seorang tersangka dapat saja diperlakukan kepada seorang presiden. Tapi proses pemberhentiannya kan harus lewat impeachment. Jadi, saya kira kerja sama dengan DPR harus kuat. Tapi marilah kita berpikir agar tidak terjadi hal--hal seperti itu.

Tapi seperti Gus Dur dulu, ketika diduga terlibat korupsi, dia datang ke polisi dan menyatakan siap diperiksa....

Kalau pemeriksaan itu harus dilakukan, ya, akan kita lakukan. Buat KPK, sejak awal kita sudah bertekad tidak akan terpengaruh. Tapi, harapan kita, jangan sampai berhadapan dengan para pejabat tinggi. Bukannya takut. Tapi, kalau para pejabat negara korupsi terus, kapan penderitaan bangsa ini akan berakhir. Karena para pejabat tinggi itulah yang seharusnya punya semangat dan komitmen untuk membenahi negeri ini.

Di negara mana pun, upaya pemberantasan korupsi tidak akan berhasil tanpa komitmen yang kuat dari kepala pemerintahan. Terus terang, menurut saya kalau pemerintahan yang sekarang lembek, ya, percuma saja. Tapi, kalau pemerintahan kenceng, mari kita kerjakan sama-sama.

Sebagai ketua, Anda sudah cukup puas dengan apa yang dicapai KPK?

Kalau diukur dengan keinginan yang berada dalam diri saya, pencapaian KPK saat ini masih jauh dari memuaskan. Tapi, saya sebagai Ketua KPK juga harus realistis, saya juga harus mengukur kekuatan yang dimiliki saat ini.

Apakah itu bentuk kompromi Anda dengan keadaan?

Hidup itu harus kompromi. Kita tidak bisa membawa keinginan sendiri. Katakanlah, mobil saya hanya mampu dipacu hingga 120 km/jam, tapi tuntutan meminta kita harus berjalan 200 km/jam?bagaimana? Meski gasnya kita pacu, tetap saja kemampuan tidak bisa lebih dari 120 km/jam.

Saya bukannya tidak punya keinginan untuk meningkatkan kecepatan mobil itu.


Taufiequrachman Ruki

Lahir:

  • Rangkasbitung, Banten, 18 Mei 1946

Pendidikan:

  • Lulusan Akabri (1970)
  • Lulusan PTIK
  • Lulusan Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus, Jakarta (1987)

    Karier:

    • Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (27 Desember 2003 _ sekarang)
    • Deputi IV Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Bidang Keamanan Nasional (2001-2003)
    • Anggota MPR RI (1999-2001)
    • Ketua Fraksi TNI/Polri DPR RI (1999-2000)
    • Ketua Komisi VII DPR RI (1997-1999)
    • Kepala Kepolisian Wilayah Malang, Jawa Timur (1992-1997)
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus