Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

''Soeharto Menghendaki Habibie

19 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK banyak jenderal aktif yang berani memerahkan telinga Soeharto, Panglima Tertinggi ABRI saat itu. Letnan Jenderal TNI (Purn.) Harsudiyono Hartas adalah salah satunya. Semasa menjabat Kepala Staf Sosial Politik ABRI dan Ketua Fraksi ABRI MPR periode 1988-1993, dia membuat banyak kejutan. Yang paling kontroversial adalah manuvernya menjelang Sidang Umum MPR 1993. Saat itu, secara terbuka dia menjagokan Pangab Jenderal Try Sutrisno sebagai wakil presiden. (Try adalah sahabat Harsudiyono sejak berpangkat kapten 33 tahun lalu). Dengan itu ia dianggap mem-fait accompli kehendak Soeharto, yang ingin mendudukkan Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie di kursi RI-2. Berkat langkah potong kompas itu, meski diterima Soeharto setengah hati, Try akhirnya dilantik sebagai wakil presiden. Episode ini melukiskan konflik yang mengeras di tubuh militer, setidaknya tentang dua hal. Pertama, soal ideologi: tahun-tahun itu ditandai dengan munculnya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), yang dipimpin Habibie dan memperoleh dukungan baik Soeharto maupun kalangan militer berkecenderungan Islam—''ABRI Hijau" yang antara lain diwakili oleh Jenderal Feisal Tanjung. Kedua, soal suksesi kepemimpinan nasional: Soeharto kian tua, dan siapa yang harus menggantikannya? Harsudiyono, seperti tampak dari manuver tadi, tetap menginginkan seorang militer memimpin negeri ini. Dengan menjadi wapres, jalan Try ke kursi presiden lebih mulus, apalagi jika Soeharto berhenti di tengah jalan karena satu dan lain hal. Lebih dari itu, Try lebih mewakili kepentingan kelompok ''ABRI Merah-Putih" atau nasionalis—yakni kubu Harsudiyono bersama tokoh militer lain seperti Ketua DPR/MPR Letjen Wahono dan mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani. Gebrakan Harsudiyono berikutnya memperjelas dukungannya terhadap skenario ''Presiden Try". Pada Juni 1993, dia menantang Harmoko dalam perebutan kursi Ketua Umum Golkar—posisi yang bisa sangat strategis dalam situasi krisis. Itulah untuk pertama kali selama Orde Baru bursa pimpinan Beringin diperebutkan secara terbuka. Tapi Soeharto, yang lebih cenderung pada Harmoko, tak mau kalah untuk kedua kali. Harsudiyono dipensiun, lalu diangkat jadi anggota Dewan Pertimbangan Agung—dan masuk kotak. Harmoko pun melenggang menjadi orang sipil pertama yang memimpin Golkar. Selebihnya adalah sejarah. Soeharto bertahan ke periode berikutnya (meski tidak lengkap), Try turun. Dan Habibie—menyalahi semua harapan Harsudiyono serta kelompoknya—menjadi presiden. Banyak gebrakan Harsudiyono amat kontras dengan karakternya. Lahir di Jepara, Jawa Tengah, 64 tahun silam, Harsudiyono memang orang Jawa tulen. Tutur katanya halus, pembawaannya kalem. Untuk menjaga kondisi fisiknya, yang masih tampak fit, ayah tiga anak dan kakek satu cucu ini juga memilih beras kencur dan temulawak. Rabu pekan silam di kantor Forum Pasca '45—ia adalah ketua umumnya—mantan Pangdam IV/Diponegoro ini menuturkan berbagai cerita di balik berbagai gebrakannya. ''Sejarah harus diluruskan," begitu ia memulai percakapan dengan Karaniya Dharmasaputra, Hanny Pudjiarti, dan fotografer Robin Ong dari TEMPO. Berikut petikannya.

Mengapa pada Sidang Umum MPR 1993 itu Anda tampak bersemangat memajukan Try Sutrisno?

Secara pribadi saya sendiri lebih dekat dan mengetahui isi hati Try Sutrisno. ABRI juga lebih condong ke Pak Try, yang dinilai punya karakter low profile dan bisa merangkul semua pihak. Kalau dengan Habibie kan jauh, isi hati sebenarnya saya tidak tahu. Apalagi pola pikirnya Barat, semua hal dilihatnya dari sudut teknologi. Menurut saya, Try lebih manusiawi.

Tapi Anda tahu, Soeharto menginginkan Habibie?

Sikapnya waktu itu mendua, Try atau Habibie. Memang, semula Pak Harto lebih menghendaki Habibie.

Anda terkesan mem-fait accompli Soeharto saat menyatakan ABRI mencalonkan Try. Itu merupakan kebijakan ABRI?

Iya (suaranya mengeras). Itu adalah keputusan Sidang Dewan Sosial Politik ABRI yang dipimpin Panglima ABRI Try Sutrisno. Tapi Pak Try menyerahkan sepenuhnya masalah calon wakil presiden itu kepada saya selaku Ketua Fraksi ABRI. Keputusan diambil secara bulat.

Apakah keputusan tersebut disampaikan ke Soeharto?

Sudah, secara informal. Tapi kemudian terjadi perkembangan. Ada kelompok lain yang juga mendesakkan calonnya (Habibie). Melihat hal itu, kami jadi bertanya-tanya. Yang menentukan calon wapres itu rakyat atau siapa?

Apakah pencalonan oleh ABRI juga bisa dianggap mewakili rakyat?

Saya sendiri sudah mendengarkan masukan dari para ulama dan tokoh masyarakat yang mendukung Pak Try.

Benarkah terjadi perdebatan sengit di Tim Sebelas yang dibentuk Soeharto untuk menggodok calon presiden dan wakil presiden?

Ya. Tim Sebelas itu terdiri dari Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie, Menteri Dalam Negeri Rudini, Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, Menteri Penerangan Harmoko, Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Soesilo Soedarman, Panglima ABRI Try Sutrisno, Kepala Staf Angkatan Darat Edi Sudradjat, Ketua MPR/DPR Wahono, Gubernur Jawa Barat Yogie S.M., Gubernur Aceh Ibrahim Hasan, dan Gubernur Sulawesi Tenggara H. Alala. Hasil akhirnya, Pak Try yang terpilih.

Bukan Habibie?

Bukan (suaranya mengeras). Dari hasil pemungutan suara, Habibie memang mendapat suara terbanyak, delapan suara, Try tujuh, Moerdiono tiga, dan Harmoko satu. Hasilnya lalu dilaporkan Pak Wahono. (Tapi) Pak Harto akhirnya memutuskan Habibie tetap sebagai Menristek, Try Wakil Presiden.

Dan secara publik Anda mengumumkan pencalonan Try untuk menegaskan peluang Try dan mementahkan hasil voting Tim Sebelas?

Tidak, itu anggapan yang diputar balik. Beberapa hari setelah pertemuan Tim Sebelas, selesai berceramah di depan semua gubernur, saya dikerubuti wartawan. Saya dicecar pertanyaan: siapa calon dari ABRI? Tanpa berpikir lebih lanjut apa akibatnya, spontan terlontar nama Try Sutrisno.

Jadi, itu cuma pernyataan pribadi?

Sebelumnya kan sudah ada kesepakatan di ABRI. Saya cuma mendeklarasikannya. Malam keesokan harinya, saya mengundang Sidang Dewan Sosial Politik di Markas Besar ABRI. Semua kepala angkatan hadir: KSAD Edi Sudrajat, KSAL Muhammad Arifin, KSAU Siboen Dipoatmodjo, dan Kapolri Koenarto. Juga hadir Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) Soedibjo, Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA) Arie Sudewo, Ketua F-ABRI-DPR, R. Soebijono, Ketua Legiun Veteran Achmad Tahir, dan Ketua Pepabri Bambang Triantoro.
Saya minta diputuskan apakah pernyataan itu salah atau tidak. Kalau memang salah, saya siap diberhentikan saat itu juga. Ternyata sidang mendukung langkah saya. Pak Dibjo juga mengutarakan pada siang harinya ketika ia bertemu dengan Pak Harto. Waktu itu ia menyampaikan, ''Pak, mohon maaf, Kassospol merangkap Ketua F-ABRI MPR sudah mendahului melontarkan masalah calon wakil presiden." Sambil tersenyum, katanya lagi, Pak Harto cuma bilang, ''Yah, kepancing." Hanya itu, tidak marah seperti yang ditiup-tiupkan kelompok lain. Wong, saya juga tidak ambil pusing apa Pak Harto marah atau tidak.

Siapa kelompok lain itu?

Saya tidak tahu persis. Yang saya ingat adalah sebuah kejadian ketika berlangsung rapat puncak pimpinan Golkar, empat hari setelah saya menyatakan pencalonan Try itu. Habibie tiba-tiba mendatangi saya dan mengatakan, ''Anda, kok, mengusulkan presiden dan wakil presiden dari militer? Itu kan militerisme." Ia uga bilang sehari sebelumnya, Kanselir Jerman Helmut Kohl meneleponnya untuk mempertanyakan soal itu. Lo, apa hubungannya orang Jerman dengan orang Indonesia? Kita juga tidak membedakan sipil dan militer.

Try toh akhirnya jadi wapres. Setelah itu, Anda menggulirkan isu keterbukaan di DPR. Adakah latar belakangnya?

Waktu itu Fraksi ABRI mengusulkan konsep manajemen nasional. Tujuannya adalah nation building, membentuk kader kepemimpinan yang berwawasan kebangsaan. Manajeman nasional itu dimaksudkan untuk mengelola segala potensi konflik nasional. Tapi pada waktu itu Pak Harto langsung menolak, dengan alasan tidak perlu.

Bagaimana konkretnya?

Contohnya, kedaulatan itu ada di tangan rakyat. Jadi, MPR memiliki wewenang penuh, jangan sampai pimpinan MPR menghalangi pengutaraan pendapat. Kedaulatan harus dikembalikan ke wakil-wakil rakyat. Jangan didikte. Dalam sistem yang dulu, Ketua MPR, kalau sudah diperintahkan oleh ''yang tertinggi", ke bawah juga sama. Kalau harus memilih A, ya, memilih A semua.

Apa sasaran sebenarnya?

Saya melihat ada banyak penyimpangan. Praktek semacam recalling itu perlu dikoreksi. Kami juga ingin merevisi peraturan Tata Tertib MPR/DPR yang mengharuskan setiap usul dari suatu fraksi harus didukung oleh minimal dua fraksi lainnya. Yang benar saja, itu kan menutup peluang golnya usul bagus dari FPP dan FPDI. Juga, perlu ada undang-undang lembaga kepresidenan, sehingga presiden tidak bisa lagi seenaknya sendiri mengangkat dan memberhentikan pimpinan lembaga tinggi negara. F-ABRI sendiri selalu didikte FKP.

Lo, yang terjadi bukan sebaliknya?

Nggak, mereka selalu menggunakan perintah Ketua Dewan Pembina (Soeharto). Lo, ini demokrasi atau kereta? Harus bisa dibedakan, tugas fungsional militer yang menggunakan jalur komando dengan fungsi politik ABRI yang harus berlandaskan pada asas demokrasi. Kalau pakai jalur komando, kan semuanya jadi yes man.

Kabarnya, Pak Harto tidak suka dengan gebrakan keterbukaan itu?

Ya, bisa saja tidak suka, karena itu akan membuka segala kecurangan dan kelemahan. Keterbukaan itu kan berarti harus open management. Misalnya, soal pembelian kapal perang (oleh Habibie). Kok, pembeliannya diputuskan secara tertutup. Keterbukaan itu maksudnya untuk mengajak PPP dan PDI untuk berani mengemukakan apa yang salah sebagai salah dan tidak cuma berpikir untuk kepentingan partainya sendiri, tapi untuk kepentingan negara.

Menurut Anda, apa kesalahan utama Soeharto?

Beliau menempatkan orang yang bisa dikendalikan menurut keinginannya. Meskipun demikian, akhirnya kan tidak terkendali juga. Orang-orang di sekitarnya itulah yang memanfaatkan kekuasaan untuk mencari jabatan dan kekayaan. Kami sudah lama melihat terjadi praktek korupsi.

Siapa orang-orang itu?

Mereka yang sekarang ini sedang berkuasa.

Maksud Anda, kelompok Habibie?

Tanda-tandanya, mereka adalah orang yang tidak memiliki kepribadian. Ketika mendapat kekuasaan, mereka menyanjung-nyanjung yang memberi kekuasaan. Tapi, saat yang memberi kekuasaan jatuh, mereka menghujatnya. Saya tidak perlu menyebut nama. Saya kira Anda sudah bisa membacanya. Misalnya, beberapa menteri yang mengundurkan diri sebelum kejatuhan Pak Harto.

Lalu?

Saya lantas berpikir, Pak Harto perlu diperingatkan.

Anda pernah menyampaikan kritik ke Soeharto secara eksplisit?

Tidak. Karena saya anggap beliau lebih tahu dari saya.

Melihat kondisi sekarang ini, Anda tidak menyesal dengan sikap Anda itu?

Secara pribadi saya menyesal kenapa dulu tidak berani mengutarakannya terang-terangan.

Lalu secara terbuka Anda mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Golkar menantang Harmoko yang direstui Soeharto. Apa pertimbangannya?

Supaya Golkar tidak diselewengkan dari tujuannya semula. Misalnya, sewaktu Golkar dipimpin Sudharmono, muncul istilah mayoritas tunggal, yang jelas-jelas mengarah ke sistem diktatorial. Saat itu kami melihat Pak Harto dan Golkar sedang menuju ke arah yang sama seperti saat Bung Karno diangkat sebagai presiden seumur hidup.
Manajemen nasional tadi sebenarnya diarahkan kepada periodisasi kader bangsa. Waktu itu tidak terlintas presiden cukup dua periode. Ini yang mengkhawatirkan. Jangan sampai kita terjerumus seperti Orde Lama. Negara cuma dikelola oleh satu orang. Karena itulah kita memperjuangkannya secara konstitusional, untuk merebut kepemimpinan Golkar.
Waktu itu kan sudah dipersiapkan sejak jauh sebelumnya bahwa ketua-ketua DPD Golkar datang dari ABRI. Tapi langkah itu hanya sementara, untuk memantapkan manajemen nasional. Setelah itu, generasi non-ABRI harus diberi kesempatan. Jadi, ABRI hanya menyiapkan konsep. Setelah itu, silakan. Setelah tertata dengan baik, kalau kita mundur kan sudah lega. Waktu itu kita sudah memprediksi betapa kacaunya keadaan negeri ini kalau sistem itu tidak diubah.

Maksudnya, ABRI sudah siap keluar dari DPR dan politik?

Yah, tapi secara bertahap. Kami ingin menatanya dulu. Setelah itu, silakan generasi sipil mengambil alih.

Kenapa waktu itu ada perbedaan sikap antara Menteri Pertahanan dan Keamanan Edi Sudrajat yang mendukung Anda dan Panglima ABRI Feisal Tanjung yang terkesan mendukung Harmoko?

Nah, ini karena faktor kedekatan Feisal Tanjung dengan Habibie. Juga, kepentingan untuk mengamankan kebijakan Pak Harto yang mendukung Harmoko. Padahal, jika demokrasi dari bawah benar-benar diterapkan, 21 DPD sudah menyatakan mendukung saya. Tapi kemudian dibom oleh pernyataan Habibie dan Menteri Agama waktu itu, Munawir Sjadzali, bahwa Dewan Pembina Golkar mendukung Harmoko. Di balik upaya mengegolkan Harmoko itu, jelas ada permainan uang dan iming-iming jabatan. Ada yang sampai dijanjikan jabatan Panglima ABRI.

Untuk memuluskan jalan Harmoko, sebelum Munas Anda disingkirkan ke Dewan Pertimbangan Agung?

Ya. Setelah itu saya diganti Haryoto P.S., tapi tak lama kemudian ia juga disingkirkan.

Setelah Harmoko naik, orang bilang terjadi de-Wahono-isasi....

La, kenyataannya memang seperti itu. Banyak (kelompok Wahono) yang didubeskan.

Jadi, apa maksud Anda dengan semua gebrakan itu?

Ya, mempersiapkan suksesi kepemimpinan nasional, suksesi secara alami dan konstitusional. Dan tidak pandang bulu apakah sipil atau militer. Kalau pada waktu itu misalnya Habibie memang baik, pasti kita dukung.

Menurut pemikiran ABRI saat itu, kapan seharusnya Soeharto turun?

Pada Sidang Umum 1988. Cuma, tidak ada yang berani mengutarakannya. Karena itu kami mempersiapkan supaya wakil presidennya dari generasi muda. Sudah waktunya generasi muda diberi kesempatan.

Maksud Anda, Try Sutrisno?

Ya, untuk mendampingi satu atau maksimum dua periode. Setelah itu, Pak Harto mundur untuk digantikan yang lebih muda.

Bagaimana persisnya skenario suksesi itu?

Pada Sidang Umum MPR 1988, kami sudah mengusulkan Pak Try untuk menjadi wakil presiden. Bukan Pak Dhar (Sudharmono). Tapi Pak Harto bersikeras menolak. Saat itu yang mengajukan Pak Try ke Pak Harto adalah Pak Benny Moerdani.

Interupsi Brigjen Ibrahim Saleh adalah bagian dari skenario itu?

Ya, itu dalam rangka supaya Pak Harto memilih Pak Try, bukan Pak Dhar. Tapi Ibrahim Saleh dicap mbalelo, lalu dipecat.

Jadi, tidak benar pendapat yang menyatakan Ibrahim Saleh saat itu kurang waras?

Oh, waktu itu dia sehat walafiat.

Tindakannya itu berdasarkan kebijakan ABRI?

Betul. Itu kan semacam peringatan, yang disampaikan melalui teknik-teknik tertentu.

Peringatan?

Iya, peringatan, dong, bahwa demokrasi jangan selalu ditentukan dari atas.

Apakah manuver ABRI itu untuk menghambat jalannya ICMI?

Tidak, tidak ada maksud ke arah itu. Saat itu kita tidak membutuhkan organisasi-organisasi cendekiawan berdasarkan agama. Itu kan merusak. Lihat yang terjadi sekarang. Cendekiawan, ya, cendekiawan. Output-nya ilmiah, jangan dipakai embel-embel agama. Kalau soal ingin mengangkat yang tertinggal kan bukan hanya agama tertentu, tapi problem semua agama.

Apa yang sebenarnya mendasari keberatan Anda terhadap Harmoko dan Habibie?

Yang utama adalah soal kejujuran. Lihat saja sewaktu Harmoko ditanya Pak Harto soal pencalonan dirinya, apakah rakyat mendukungnya. Iya...! Begitu kan jawaban Harmoko? Eh, tahu-tahu ia berbalik menghujat.

Langkah Anda itu bisa dinilai anti-orang sipil.

Saya tidak peduli dengan penilaian semacam itu. Sama sekali tidak ada maksud saya seperti itu. Saya cuma menginginkan orang yang terbaik. Kenyataannya, Anda bisa melihat sendiri Harmoko, Abdul Gafur, dan Habibie itu seperti apa.

Itu kan soal sikap, bagaimana dengan kapabilitasnya?

Yah, kemampuan Pak Habibie di bidang ilmu dan teknologi memang harus kita akui.

Benarkah saat itu juga ada upaya untuk memuluskan jalan Benny Moerdani ke kursi presiden?

Nggak ada. Sama sekali tidak ada. Menurut saya, Pak Benny tidak mungkin jadi presiden. Dia sendiri menyadari keterbatasannya sebagai minoritas (Katolik).

Tapi, konon, Try juga adalah ''orang" Benny?

Tidak benar. Itu kan hanya untuk mendiskreditkan Pak Try.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus