Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMBANG UNTUK NUR | ||
Sutradara | : | Nan T. Achnas |
Skenario | : | Jujur Prananto |
Pemain | : | Elma Theana, Sandy Nayoan, Ida Kusuma |
Produksi | : | Miles Production |
Itu suara Entin kecil (Putri Dewina Santi). Jari telunjuknya menunjuk sebuah maket kecil yang terbuat dari tanah liat. Kemudian, Entin mulai bercerita tentang desanya nun di Plered, Jawa Barat sana, yang dulunya damai dan tenteram. Namun, datanglah hari nahas itu…. Pada suatu malam ketika warga kampung tengah asyik menonton layar tancep, terjadi perdebatan panas antara Adek (Sandy Nayoan) dan Usep (Eddy Riwanto). Hanya beberapa saat setelah perdebatan, tiba-tiba mayat Adek ditemukan di bawah tebing yang curam dengan darah yang bercucuran dari mulutnya. Adakah ia bunuh diri? Atau, mungkin ia dibunuh? Kalau ia dibunuh, siapa yang membunuhnya? Maka, tugas Pak Kades (Wawan Wanisar) dan aparatnya adalah mengisi teka-teki silang sang pembunuh. Apakah pembunuhnya Usep, yang baru saja bertengkar mulut dengan Adek beberapa saat sebelum dia tewas? Atau, Nur, si bunga jelita istri Usep, yang dulunya pernah berpacaran dengan Adek? Atau, Masitoh, ibu Usep, dukun beranak yang konon punya ilmu? Demikian isi cerita miniseri sinetron Kembang untuk Nur karya Nan T. Achnas yang dibuat atas kerja sama antara John Hopkins University (JHU), United Nations Fund for Population Activities (UNFPA), Kantor Menteri Peranan Wanita, dan Miles Production. Karena miniseri ini adalah sebuah karya pesanan, sudah bisa ditebak bahwa programnya adalah "Komunikasi Gerakan Sayang Ibu"—demikianlah namanya—yang ingin memperkenalkan konsep "Saya Suami Siaga" (baca: Akibat Pesan Sponsor?).
Awal film ini memang memberi kesan campuran antara kisah teka-teki silang ala Sherlock Holmes (siapakah sang pembunuh) dan "investigasi" teknik film Rashomon karya Akira Kurosawa. Setiap orang punya versi, dan setiap versi itu divisualkan melalui sebuah adegan kilas balik yang naratif, terkadang menyentuh, dan sesekali segar dengan beberapa adegan yang kocak. Apakah memang demikian penyelesaian sebuah kasus pembunuhan di dalam sebuah desa, kita tak terlalu tahu karena sebuah desa juga melibatkan keamanan resmi dan mereka yang dituakan. Jadi, agaknya "gerak-gerik ala FBI" sang Kades ini memang terasa janggal, meski—jika memang pernah ada kades yang demikian—perlu dipuji inisiatifnya untuk mencari jejak sang pembunuh.
Nah, masalah sponsor ala John Hopkins University ini tentu saja terselip di antara persoalan "sayang istri", "perhatikan wanita hamil", "jangan mengangkat barang berat", dan seterusnya. Intinya, anak sejak di dalam kandungan sudah menjadi tanggung jawab suami dan istri. Maka, Adek—yang diperankan dengan baik sekali oleh Sandy Nayoan—dalam sinetron ini sesungguhnya warga desa yang pernah bekerja sebagai sopir dari majikan yang bekerja sebagai dokter kandungan. Tak aneh jika dalam beberapa dialog Adek dengan ibunya, Rohayah (diperankan dengan sangat baik oleh Ida Kusuma), Adek berperan bak "juru penerang" dari sebuah departemen (tentu saja lengkap dengan karakterisasi Adek yang beraksen Sunda dan penuh perhatian terhadap sesama). Dan tak heran pula paruh akhir plot film ini mulai kedodoran karena awal film yang dibuat suspense ala detektif ini diakhiri dengan persoalan salah paham hanya karena Adek memiliki "semangat membela" kaum ibu yang hamil (duh, apa bener ada sosok seperti itu?).
Secara keseluruhan, film ini menarik karena visualisasi Nan yang cukup baik dan para pemain yang menyajikan seni peran yang wajar dan pas. Tetapi, apakah misi "suami siaga" ini menjadi sebuah khotbah? Mungkin tidak, tetapi miniseri ini tetap terasa sebagai sebuah karya yang dipesan.
Karya trilogi Garin Nugroho, Slamet Rahardjo, dan Teguh Karya dua tahun silam masih tetap lebih enak dinikmati; apalagi Tasi o Tasi karya Arifin C. Noer (1992) , menurut saya, adalah karya puncak (film televisi) Arifin C. Noer. Namun, JHU dan berbagai instansi pemerintah republik ini tentu punya perhitungan lain selain persoalan sinematik dan tetek bengeknya itu. Apalagi, mereka harus memperhitungkan target pemirsa dan persentase penurunan kematian ibu dan seterusnya itu. Itu memang target penting dan tujuan yang sangat mulia. Hanya, apakah target mulia itu harus diekspresikan melalui sinetron yang mulai terasa seperti pesanan, itu harus didiskusikan lagi (tetapi mungkin bukan dalam sebuah forum sinema).
Bagaimanapun, sebagai sebuah karya "juru penerang", film ini harus dibedakan dengan film propaganda versi pemerintah mana pun. Tetapi, ya, itu tadi, berbeda dengan Tasi o Tasi atau O, Ibu dan Ayah, Selamat Pagi, karya baru ini mulai bisa diberi label sebagai "film juru penerang".
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo