Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG bayi akan meluncur ke dunia yang ruwet ini. Siapa yang bertanggung jawab atas kehadirannya? Tentu saja sepasang orang tuanya. Tetapi, kenyataannya, pa-ling tidak menurut penelitian demografi lima tahun silam, di antara 100 ribu kelahiran bayi, ada 390 ibu yang meninggal. Tampaknya data ini masih belum bergerak jauh karena pihak John Hopkins University (JHU), bersama beberapa pihak dari pemerintah Indonesia, sekali lagi merasa perlu menekan angka kematian ibu akibat melahirkan.
Kematian ini, menurut data yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, diakibatkan keterlambatan antisipasi bahaya kehamilan, keterlambatan penyediaan transportasi ke pusat pelayanan kesehatan, dan keterlambatan mendapatkan pelayanan di fasilitas kesehatan. Maka, dengan ''merekrut" seniman-seniman yang dihormati di bidangnya, JHU, bekerja sama dengan United Nations Fund for Population Activities (UNFPA) dan Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (UPW), mencoba memberi ''penerangan" melalui sinetron. Lembaga pemesan ini mempercayakan pada Miles Production pimpinan Mira Lesmana, sutradara muda yang mencuat namanya lewat film Kuldesak. Miniseri ini mulai digarap pengambilan gambarnya sejak Oktober 1998 dan usai pada November 1998, dengan ongkos produksi sekitar Rp 500 juta.
Tentu saja ini bukan pertama kali JHU menggunakan televisi dan sinetron sebagai media untuk ''berkampanye". Sebelumnya, JHU pernah membuat film ''pesanan", antara lain dengan tema lingkungan, seperti Arak-arakan (Teguh Karya), Tasi o Tasi (Arifin C. Noer), dan Anak Hilang (Slamet Rahardjo), pada 1992. Dua tahun kemudian, Slamet Rahardjo kembali dipilih membuat film Alang-Alang. Dan dua tahun silam, kembali JHU, bekerja sama dengan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), meminta Teguh Karya, Slamet Rahardjo, dan Garin Nugroho membuat sebuah trilogi sinetron lepas yang bertema kematian ibu yang melahirkan.
Dari film-film ''pesanan" yang bermisi khusus ini, ternyata beberapa karya—meski tak semuanya—sangat layak tonton, misalnya O, Ibu dan Ayah, Selamat Pagi (Slamet Rahardjo), Perkawinan Siti Zubaedah (Teguh Karya), Angin Rumput Savanna (Garin Nugroho), dan Tasi o Tasi. Pesanan dan sponsor tidak tampil dengan vulgar, dan karya-karya ini bisa berdiri sendiri sebagai sebuah film televisi tanpa harus mengait-ngaitkannya dengan misi apa pun.
Kini, melalui TVRI dan RCTI, Mira Lesmana, Jujur Prananto, dan Nan T. Achnas bersama-sama menciptakan sebuah kisah yang punya keinginan agar para suami menyadari betapa pentingnya menjaga dan memperhatikan para istri yang sedang hamil. Program ''Suami Siaga", yang sudah dibuat dalam bentuk iklan layanan masyarakat, membuat sinetron dengan misi seperti itu, seperti disampaikan produser Mira Lesmana, ''Justru lebih menantang."
Melihat pengalaman para sutradara sebelumnya yang juga menerima pesanan semacam ini, tampaknya hal yang ''menantang" ini adalah kenyataan bahwa ada sejumlah campur tangan dari pihak pemesan. Misalnya, seperti yang diutarakan penulis skenario Jujur Prananto, ketika mereka harus mengikuti kemauan Menteri UPW dan Departemen Kesehatan, yang tak setuju dengan salah satu dialog yang dinilai memberi kesan buruk pada citra hansip. Tak cuma sampai di situ, Menteri UPW juga semula tak setuju jika peran Nur dimainkan Elma Theana. ''Ini sudah risiko untuk mengerjakan pesanan," ujar Jujur. Itu baru sejumlah persoalan dalam membuat karya pesanan. Belum lagi soal keharusan menyampaikan nilai-nilai tertentu kepada khalayak, yang acap kali tergelincir pada bentuk khotbah. Bayangkan, tayangan yang berbentuk miniseri ini, yang hanya berlangsung selama tiga hari, diharapkan dapat ikut menurunkan angka kematian ibu hamil di Indonesia. Berdasarkan data WHO, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan angka kematian tertinggi di kawasan Asia.
Tentu saja, seperti juga karya para sutradara sebelumnya, seyogianya karya ini harus disiasati kreator agar tak menggurui. Untuk itulah, pihak JHU mengadakan sebuah lokakarya yang penuh perdebatan, dengan mengundang sejumlah narasumber untuk membicarakan semua aspek pembuatan film ini agar sesuai dengan misinya. ''Tujuannya untuk mendapatkan naskah seakurat mungkin karena diharapkan bisa memberikan kontribusi untuk perubahan sosial," ujar Fitri Putjuk, wakil dari JHU. Hasilnya? Belum jelas. Yang jelas, rekayasa sosial tak sesederhana melarang Elma Theana memainkan peran serius. Itu pun kalau masih ada orang percaya pada keampuhan rekayasa sosial untuk mengubah perilaku masyarakat.
LSC, R. Fadjri, Nurur R. Bintari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo