Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BURON nomor satu Noor Din M. Top, otak di balik aksi teror bom di Indonesia, lolos lagi dari sergapan aparat di Wonosobo, Jawa Tengah, Sabtu dua pekan lalu. War-ga Malaysia itu rupanya punya ba-nyak jalan tikus. Ketika polisi menyergap sarang pengikutnya, Noor Din berkelebat seperti angin. Dia seperti selalu punya tempat untuk singgah dan bersembunyi. Dua pengikut setianya, Gempur Budi Angkoro alias Jabir dan Abdul Ha-di, tewas dalam baku tembak dengan po-lisi antiteror di Wonosobo. Dua lainnya dicokok pasukan Detasemen 88.
Mengapa Noor Din seperti tak kehabisan pengikut? "Dia punya kemampuan mempengaruhi orang," kata Abdullah- Su-nata, pemuda Cipayung, Jakarta Ti-mur, yang hampir sepertiga hidupnya di-abdikan untuk gerakan yang ia yakini sebagai jihad. Pada akhir 2004, dalam ke-jaran aparat, Noor Din mengontak Sunata dua kali. Satu di Pekalongan dan satu lagi di Solo. Rupanya, Noor Din ba-nyak mendengar cerita tentang sepak ter-jang anak muda ini di Ambon.
Sunata memang tak setenar Imam Sa-mu-dera, Faturrahman al-Ghozi, atau Noor Din sendiri. Tapi bekas Komandan Laskar Mujahidin Ambon ini cukup dise-gani oleh anggota jaringan yang berpe-rang di Ambon. Bersama laskarnya, dia- pernah menyabot gudang senjata Bri-mob- di Tantui, Ambon, pada 2000. Dia juga malang-melintang di Poso dan punya jaringan dengan grup bersenjata di- Poso, yang kerap disebut Mujahidin Kayamanya.
Ditangkap pada Desember 2005, Sunata dituduh terlibat aksi teror. "Saya tak pernah melancarkan terorisme di sini," ujarnya. Meski tak semua tuduhan itu terbukti, majelis hakim di Pengadil-an Negeri Jakarta Selatan menjatuhi hu-kuman 7 tahun penjara bagi Sunata, Se-nin pekan lalu. Dia divonis bersalah menyimpan empat pucuk pistol FN, dan melakukan pertemuan dengan Noor Din M. Top. Sunata membela diri. "Saya justru menolak bekerja sama dengan Noor Din," ujarnya.
Kepada wartawan Tempo Nezar Patria yang mewawancarainya dalam beberapa kesempatan, Sunata buka kartu: tentang hubungannya dengan Noor Din, pandangannya tentang jihad, dan rencananya membunuh tokoh Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar-Abdalla.
Perkenalan Anda dengan teror terjadi di Ambon. Mengapa Anda berperang ke sana?
Di Ambon, kekejian tak kalah d-engan di Bosnia. Di Galela, Ambon, sa-at- kon-flik- itu meledak, hampir 3.000 ka-um muslimin terbunuh. Saya berangkat da-ri kepri-hatinan itu, dan meyakini- apa yang terjadi di Ambon adalah jihad untuk mempertahankan diri dari kezalim-an. Itu pemahaman saya soal jihad. Saat kaum muslimin di satu tempat diserang, dibantai, atau dibunuh, jihad menjadi wa-jib. Kondisi itu bisa terjadi di Ambon,- Poso, Filipina Selatan, Thailand Selatan, Afganistan, Checnya, Irak, dan lain-lain. Saya hanya ingin membantu.
Teror ala Jamaah Islamiyah (JI) membenarkan perlawanan dengan meledakkan bom di tempat sipil, bahkan di daerah yang tidak dalam keadaan perang. Anda setuju?
Saya tak banyak kenal dengan mere-ka- yang disebut JI. Aksi bom secara sya-r'i- di kalangan ulama memang masih men-jadi kontroversi. Tapi saya tak mau mem-bahas soal ini. Menurut saya, kasus aksi bom bunuh diri ini tidaklah berdiri sendiri. Terlepas dia benar atau tidak, pasti ada sebabnya. Ini bukan cuma di Indonesia melainkan juga di Timur T-engah, ter-utama daerah konflik seperti Irak. Tak mungkin asap muncul tanpa api.
Anda menyebut kontroversi. Di kalang-an pelaku pengebom, seperti apa perdebatannya?
Ya, kontroversi soal boleh atau tidak (aksi bom bunuh diri) itu dilakukan, atau tepatnya soal implikasi setelah ak-si tersebut. Taruhlah, aksi seperti itu boleh saja dilakukan, tapi implikasi se-telah itu kan perlu dipikir. Apa baik dan- buruknya bagi umat Islam secara ke-seluruh-an.
Anda tidak setuju bom bunuh diri?
Ya. Implikasinya terlalu besar. Saya melihat dampaknya bagi umat Islam se-cara keseluruhan. Tapi, kalau di Irak atau Afganistan mungkin tak masalah. Si-tuasi di sana berbeda dengan Indone-sia. Le-bih banyak mudaratnya bagi k-aum muslim di sini. Meskipun saya se-tuju dengan target (aksi) itu, misalnya negara-negara yang memusuhi Islam.
Artinya, secara strategis, Anda setuju dengan aksi itu?
Ya. Secara strategis saya setuju. Terle-bih untuk daerah yang berada dalam ke-adaan perang seperti Ambon. Atau sebagai contoh lain seperti di Palestina. Me-reka tak punya persenjataan kuat me-lawan Israel. Kekuatan tak seimbang. Ha-nya dengan bom bunuh diri itu mere-ka bisa menekan Israel.
Di kalangan Anda, seberapa banyak orang yang berpikiran seperti Anda?
Saya tak tahu. Pemahaman saya (tentang jihad) seperti yang saya jelaskan tadi.
Pengadilan membuktikan Anda per-nah- bertemu Noor Din M. Top, buron nomor satu setelah Azahari tewas. Noor Din bahkan disebut-sebut meminta An-da membantu aksinya, namun Anda tolak. Mengapa?
Betul. Ketika saya menolak tawaran kerja sama itu, saya tak mengungkapkan kepada Noor Din alasan saya menolak dia. Saya hanya mengatakan sudah bermusyawarah bersama kawan-k-a-wan dan kita berkesimpulan tak bisa bekerja sama dulu dengan program dia. Per-ta-ma, soal ini masih kontrover-sial di kalang-an ulama. Kedua, implikasi da-ri aksi itu. Ketiga, soal reaksi, penang-kapan yang pu-kul rata oleh polisi. Ba-nyak guru me-ngaji yang tak tahu-menahu a-khir-nya turut tertangkap.
Anda menyebut "kawan-kawan", apa-kah mereka dari kelompok yang punya komitmen jihad tapi terpisah dari gerak-an JI?
Maksud saya, kawan-kawan itu adalah mereka yang sudah lama atau lebih dulu berinteraksi dengan Noor Din. Kalau An-da tanya saya kelompok mana, saya kira saya tak punya kelompok. Waktu ber-jihad di Ambon, saya bergabung bersama Kompak (Komite Penanggulangan Krisis). Lembaga ini berada dibawah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), yang berkantor di Kramat Raya 45, Jakarta.
Anda mengaku dua kali bertemu Noor Din. Secara pribadi apa yang menarik dari dia?
Sebenarnya saya tak begitu kenal pri-badinya. Dua kali bertemu itu pun ha-nya sebentar. Pertemuan pertama di Pekalongan. Dia mengajak saya bergabung dan memaparkan programnya. Penjelas-annya itu pun masih umum, tidak detail. Kita tak masuk ke pembicaraan seperti menentukan target.
Pertemuan kedua?
Pertemuan kedua di Surakarta, Desember 2004. Pertemuan itu dilakukan malam hari dan di tempat umum. Begitu singkat, saya sulit mendapat kesan pri-badi tentang Noor Din (Di pengadilan, Sunata mengaku pertemuan kedua berlangsung di kampus Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta-Red.).
Anda tak punya kesan apa pun terhadap Noor Din?
Dia ramah, dan punya perhatian ting-gi kepada kawan-kawan. Banyak yang bilang ke saya, sulit untuk mengatakan ti-dak kepada Noor Din. Pengetahuan aga-manya tinggi, bahasa Arab dan Inggrisnya bagus. Kesan saya, pengetahuan manajemen organisasinya juga bagus.
Ada contoh khusus?
Misalnya begini. Dia punya perhatian mendalam kepada teman, meski baru pertama bertemu. Dia menanyakan ka-bar- keluarga, apalagi kalau keluarga itu ada nama yang dia kenal. Jarang kan orang bertemu pertama langsung ber-tanya soal keluarga dan sebagai-nya. Tapi Noor Din seperti itu. Dia sepe-rti punya perhatian lebih. Dari segi ilmu agama, ar-gumentasinya kuat. Jadi, kalaupun s-aya menolak bekerja sama dan memberikan argumen, saya kira (argu-men) saya juga bisa kalah. Makanya, saya menolak (bekerja sama) tanpa memberi-kan argumen.
Noor Din masih bebas. Menurut Anda, apa yang sebaiknya dia lakukan se-ka-rang?
Saya tidak berhak menilai dia. Perta-ma, saya dan dia berbeda. Kedua, dia le-bih senior dan lebih tua dari saya.
Selama Anda ditahan, kabarnya ba-nyak rekan Anda didekati Noor Din?
Ya, mungkin. Tapi saya tak pernah memerintahkan atau melarang mereka. Saya memberikan kebebasan kepada me-reka. Kalau mereka datang ke saya, pas-ti akan saya sampaikan pandangan saya.
Pada aksi bom Bali II, banyak anggo-ta- baru Noor Din yang bukan jebolan- pe-santren. Mengapa dia bisa cepat me-nanam pengaruh?
Dia mampu mempengaruhi orang. Saya merasakan itu sewaktu bertemu- dia. Mungkin ilmu dia lebih tinggi. Yang mengatur pertemuan kami adalah Noor Din sendiri. Dia yang mengatur kurir-nya dan lain-lain. Dia juga punya wibawa dalam soal ilmu agama.
Anda ditangkap karena dituduh membantu Umar Patek, salah satu buron bom Bali. Di mana Anda bertemu Umar?
Waktu itu bertemu di Jakarta. Umar Patek berdua dengan Dulmatin. Sebenar-nya yang saya kenal Dulmatin, karena pernah bertemu di Ambon. Kenal pertama di sana sekitar tahun 2000.
Anda dekat dengan Dulmatin?
Saya tak kenal baik sebetulnya. Kami hanya bertemu waktu di Ambon. Kemam-puan agama dan bahasa Arab Dulmatin saya kira di bawah Noor Din. Saya tak lama berinteraksi dengan dia.
Lalu mengapa Anda membantu Dulmatin kabur?
Saya tak tahu dia datang menemui sa-ya di Jakarta. Entah dari mana dia men-dapat nomor handphone saya. Wa-k-tu itu saya tak tahu kalau dia tersangkut bom Bali. Setelah beberapa kali ber-te-mu baru saya mengerti identitas dia. Dia tak pakai nama Dulmatin, tapi Joko Amar. Saya mau membantu dia karena dia mau ke Filipina. Rutenya dari Jakarta, ke Poso, baru ke Filipina. Waktu itu Umar Patek memakai nama Salim.
Sampai ke Filipina, mereka masih kon-tak?
Ya, masih sempat mengabarkan bahwa- sudah sampai di Filipina. Hanya sekali.
Waktu di Filipina, Anda satu angkat-an dengan dia?
Waktu di Filipina, sekitar 2003, saya hanya sebentar. Saya berada di Cotabato.
Di Filipina Anda bergabung di kamp mana?
Waktu saya di sana tak ada lagi kamp, karena MILF (Moro Islamic Liberation Front) mengubah taktiknya dari perang frontal ke gerilya. Dulu memang mereka punya kamp. Tapi, begitu kamp Abu Bakar jatuh pada 2001, mereka menjalan-kan taktik gerilya. Saya hanya sepekan di sana, tapi kalau ditambah dengan wak-tu perjalanan, ya sekitar sebulan. Saya masuk dari Tawau.
Selama di Filipina, Anda sempat belajar taktik militer?
Waktu di Filipina tidak pernah. Saya hanya bersilaturahmi.
Lalu, dari mana pengalaman militer Anda?
Semua saya dapat waktu berinter-aksi dengan mujahidin di Ambon-ter-uta-ma mujahidin lokal. Mereka ditekan dan tak punya kemampuan, padahal lawan mereka lebih canggih. Karena itu me-reka kreatif, membuat senjata rakit-an dan sebagainya. Saya berinteraksi- dan belajar dari mereka (keterangan ini berlawanan dengan kesaksian Iqbal Husaini-salah satu rekan Sunata di Ambon pada 2001-kepada polisi. Iqbal meng-akui mereka yang dikirim oleh Kompak Solo mendapat latihan militer- selama sebulan, berupa bongkar pa-sang senjata, latihan menembak dengan senjata M16, membuat bom rakitan dan mem-baca peta-Red.).
Anda bertemu dengan para mu-ja-hidin jebolan Afganistan di sana?
Banyak berinteraksi juga. Sebagian saya belajar dari mereka dan sebagian tidak.
Selain di Ambon, pernah ikut aksi di mana lagi?
Saya pernah ke Poso. Tapi ha-nya sebentar. Di Ambon paling lama, sejak 1999 sampai 2003.
Anda juga dituduh menyalurkan dana untuk bom Kuningan?
Saya pun tidak mengerti me-ngapa sa-ya dikaitkan dengan bom Kuningan. Padahal di pengadilan saya tak pernah terbukti memberikan dana bu-at bom Ku-ningan atau aksi bom teror la-innya di Indonesia. Tidak ada dana yang ber-asal dari saya, baik pada bom Kuning-an maupun bom-bom lainnya. Tidak ada itu.
Tapi para saksi mengatakan bahwa Anda bertemu dengan Abu Muhammad, penyandang dana dari Timur Tengah?
Ya, saya akui, saya menerima dana se-banyak tiga kali dari syekh itu. Tapi itu semua saya salurkan ke Filipina. Se-telah saya pulang dari Filipina, 2003, sa-ya masih punya kontak dengan mereka.- Suatu kali mereka kontak saya, dan min-ta untuk menemui seorang syekh di- sini. Rupanya, mereka sudah pernah me-lakukan- pembicaraan sebelumnya, dan saya hanya diminta menemui.
Anda kenal dengan Abu Muhammad?
Saya tak mengenal dia. Mereka minta tolong dan nomor telepon saya diberikan ke syekh itu. Ketika saya sudah di Jakarta, dia mengontak saya untuk bertemu. Saya berjumpa dia di Jakarta. Sa-ya menduga dia orang Arab Saudi. S-oalnya, teman Filipina yang mengontak saya itu pernah kuliah di Arab Saudi, jadi mungkin itu teman kuliahnya.
Berapa duit yang Anda terima?
Total selama tiga kali pertemuan sekitar Rp 350 juta. Jadi status saya hanya ku-rir. Semuanya saya kirim ke Filipina. Paling dipotong sedikit untuk ongkos kirim. Jadi, tak ada sepeser pun saya kirim untuk aksi teror di Indonesia.
Di pengadilan, Anda juga sempat ditu-duh memberikan perintah membunuh Ulil Abshar-Abdalla, tokoh gerakan Jaringan Islam Liberal (JIL). Mengapa?
Saya tak pernah memberikan order itu.- Dan di pengadilan juga terbukti sa-ya tak memberikan perintah itu. Temanteman yang mengaku di berita acara pemeriksaan mendapat perintah dari sa-ya karena mereka di bawah tekanan.- Di peng-adilan, hal itu tak terbukti. Me-mang,- saat saya ditanya apa status orang seperti Ulil dalam pandangan syariat, saya tegas (menentang). Mungkin karena tegas ini ada yang mengartikan saya menyuruh membunuh Ulil.
Lalu, apa sebenarnya pandangan An-da atas pemikiran Ulil?
Orang-orang seperti Ulil itu, yang punya pandangan sekuler, menurut saya su-dah keluar dari Islam. MUI juga sudah mengeluarkan fatwa soal ini, bahwa haram dan murtad orang Islam yang punya pandangan sekuler.
Apakah perbedaan seperti itu memang harus diselesaikan dengan membunuh?
Tentu tidak dengan cara anarkis se-per-ti itu. Kalau bisa dinasihati dengan argu-men, kan tak perlu cara seperti itu. Ini masalah dakwah. Saya melihat MUI sebagai patokan. Saya kira fatwa itu sudah sangat keras dan tegas. Bukan hanya JIL, tapi secara umum, juga se-kularisme dan liberalisme.
Tapi bukankah orang seperti Ulil jus-tru- mencoba memberikan pembaruan pemikiran Islam?
Perbedaan dalam Islam itu me-mang ada. Para ulama sudah menyebutkan, dan itu ada yang bersifat furu'iyah. Atau seperti yang diungkap oleh Ibnu Tai-mi-yah- dalam kitabnya I'tidal Sira-thal Mus-taqim, ada per-bedaan yang bersifat dilarang, dan ada yang dibolehkan. Jadi, kita harus pu-nya batasannya. Empat imam- saja berbeda. Tapi, kalau su-dah ma-suk ke hal yang pokok seperti akidah,- itu tak bisa berbeda.
Jadi, apa yang diperjuang-kan Ulil, ba-gi Anda, sudah keluar dari akidah Is-lam?-
Ya, apa yang disampaikan Ulil ba-nyak- berkutat di soal akidah. Akidah adalah soal yang pasti. Dia bukan masalah fikih. Misalnya, keimanan kepada Allah, itu soal yang pasti bagi Islam. Paham liberalisme ini, kalau kita lihat sejarahnya, justru untuk merusak Islam dari dalam.
Ide dasar sekularisme ada-lah memi-sahkan agama da-ri politik?
Islam itu adalah politik. Ibnu Taimiyah menulis Siasatul ar Syar'i (Politik Syariat). Ini juga menunjukkan Islam itu luas dan universal. Islam berbicara tentang masalah sosial, budaya, dan tata negara.
Dulu, di Cipayung, Anda dikenal anak badung. Apa yang membuat Anda ber-ubah?
Ini soal hidayah, soal keimanan. Saya akui dulu saya anak nakal. Saya suka berkelahi antar-geng. Pernah ditan-gkap polisi juga gara-gara berantem. Ketika saya bertemu ustad di Masjid Nurul Hidayah Cipayung, saya menemukan hakikat Islam. Waktu itu saya duduk di kelas tiga STM.
Ada bacaan yang memberikan inspira-si Anda "berjihad"?
Semua buku soal jihad saya senang. Ada juga buku Abdullah Azzam, mujahid dari Afganistan yang sangat mempengaruhi kaum mujahidin sedunia. Be-liau adalah ulama yang terjun langsung ke dalam pertempuran. Dia tahu benar kondisi sebenarnya di lapangan itu. Dia juga berinteraksi dengan ul-ama lain dari berbagai negeri. Karena itu Afganistan menjadi bumi jihad Islam se-luruh dunia, yang didukung para ulama. K-ar-ya Abdullah Azzam yang saya gema-ri adalah Tarbiyah Jihadiyah (E-disi In-do-nesia buku ini sudah diperba-nyak oleh salah satu penerbit di Solo, ter-diri atas lebih dari selusin jilid-Red) dan Dibawah Naungan Surat At-Taubah.
Abdullah Sunata alias Arman Kristianto alias AndriTanggal lahir: 4 Oktober 1978Tempat lahir: Bambu Apus, CilangkapPendidikan:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo