Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

”Kurasa Kurasimu Kurang, Kurator!”

8 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP muncul ungkapan baru, tak-jublah saya. Misalnya, belum- lama ini saya baca judul berita- utama di sebuah koran pagi, ”Pun-cak Merapi Menggelembung”. Na-mun dalam berita tak saya temukan- apa sesungguhnya menggelembung itu. Bisakah anda bayangkan, misalnya, penggelembungan ke arah barat s-epanjang 0,8 sentimeter per hari? Ukur-an puncak membesar? Atau en-dap-an dari kepundan memanjang ke lereng bawah?

Dalam berita itu, ternyata pengge-lembungan sama dengan deformasi dan pemekaran. Betapa menyesatkan.

Tentulah kita paham bunga itu mekar dan perutnya menggelembung. Ta-pi pemekaran provinsi dan peng-gelembungan puncak gunung? Pasti,- sebuah provinsi tak mekar seperti se-kuntum bunga. Wilayah Riau, misal-nya, bukanlah meluas—tapi di situ ki-ni ada dua provinsi. Jadi, yang mekar adalah jumlah provinsi. Ken-apa tak dikatakan lebih tepat—misalnya pemecahan? Karena memecah s-udah telanjur berarti buruk, seperti me-mecah kesatuan?

Saya pun ragu sejenak. Sebab baha-sa kita memang punya riwayat memen-dekkan frase secara ajaib. Ingatlah, misalnya, memetik gitar. Alangkah j-auh berbeda dengan memetik bunga,- yakni melepaskan bunga dari pokok-nya. Memetik gitar bukanlah meng-am-bil gitar dari penyangga atau sarung-nya, namun memetik dawai gitar.

Bukankah laku pemendekan frase ini berakar jauh ke masa silam? Kutip-lah baris-baris dari pantun Melayu, misalnya. Terbanglah burung seri-bu batu—pastilah bunyi lengkapnya ter-bang-lah burung sejauh seribu lempar-an batu. Kemudian, usah renangi Selat Melaka. Bubuhkan tak di depan ka-limat ini untuk mengerti apa sebe-nar-nya maksud si pengujar (ya, supaya anda tak mati tenggelam).

Itukah sebabnya masih banyak k-aum cerdik pandai, sejak masa emas Or-de Baru, berkata mengentaskan ke-miskinan dan mengejar ketinggal-an? Jika demikian halnya, kemiskinan ki-an merajalela dan bangsa ini makin ter-tinggal jauh di belakang. Bukankah yang sungguh termaksud adalah l-awan kata kerjanya—menenggelamkan kemiskinan dan meninggalkan keting-galan? Tapi frase-frase ini terlalu rancu, bukan? Katakan saja memberantas kemiskinan dan mencapai kemajuan.

Kenyataan baru memang meminta ungkapan baru. Dunia seni rupa kita, misalnya, dalam 15 tahun terakhir ini- memiliki kurator, orang yang bertang-gung jawab untuk koleksi sebuah mu-seum atau isi sebuah pameran. Kita pun beroleh kata kerja baru, mengura-si.- (Tiba-tiba saya teringat- mengurasi bak- mandi.) Enak saja orang seni rupa melakukan jalan pintas: mengguna-kan kurasi—tentu dari (to) curate—se-ba-gai kata dasar. Maka suatu hari saya meledek seorang kurator yang pamer-annya buruk, ”Kurasa kurasimu ku-rang keras, Bung!” Pahamkah dia?

Dengan mengkritisi, memfilter, me-ngurasi, men-shooting, menginforma-si-kan, memfasilitasi, meritualkan, me-re-formasi, bahasa kita bukan kian men-dunia, tapi kian mendusun. Kena-pa kaum terdidik kita suka kemayu dengan beringgris-inggris?

Padahal sering kali kosakata Nu-santara lebih jernih, tajam, dan jelita. Lihatlah kiprah pengulas seni rupa pada masa kemarin yang mencerahkan ki-ta dengan mengimba atau me-wimba (alih-alih: merepresentasikan), pe-miuh-an (: distorsi), sarian atau lingkasan (: abstraksi), blabar (: kontur), barik (: tekstur), wayangan (: silhuet), wanda (: fisiognomi). Bukankah sudah lama seni (yang arti aslinya halus, elok, kecil, licin) menerjemahkan art?

Jadi mengapa harus mengekspresi-kan, padahal itu sama belaka dengan- mencetuskan atau melampiaskan? Pun- sampai-sampai saya terpaksa terpana dengan memfeminisasikan laki-laki, maksudnya supaya kami, kaum jantan ini, ikut juga menggempur p-atriarki.

Mari mengail kata dari lautan ba-ha-sa Nusantara, saran Sudjoko sang munsyi. Tentu, kata saya, tapi hanya jika kita piawai dalam bidang sendi-ri. Misal-nya, kini dalam fisika ada m-e-ngempar, semacam mengayak atom d-e-ngan gaya sentrifugal; dalam hidro-logi terdapat menelus, yakni me-nembus-sebar tanpa henti, misalnya gerak air di tubuh tanah atau batuan.

Tak dinyana, ilmuwan yang ga-n-drungbahasa ternyata lebih cakap ke-timbang sebagian besar sastrawan da-lam menghidupkan kata yang tua, yang tersembunyi, yang terpinggirkan.-

Perihal si pengguna menggelem-bung-nya puncak gunung, naga-naga-nya ia (atau mereka) belum paham seluk-beluk vulkanologi. Namun, memanglah maksud hatiku memeluk gunung, apa daya mulutku hanya mampu menyerukan—oh, maaf—pribumi-sasi, sementa-ra kaum cerdik pandai di sekitarku lagi-lagi bertempik me-ngejar ketinggalan. Jangan-jangan saya-lah yang lebih mundur ketimbang mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus