Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bungkus Baru Sastra Lama

Balai Pustaka menerbitkan kembali roman-roman klasik Indonesia. Penyuntingan ulang dipertanyakan.

8 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUMPUKAN buku baru itu me-nyembul di tengah Toko Buku Gra-media, Matraman, Jaka-rta Pusat. Sampul dan tampilannya tak kalah menyolok dengan novel-no-vel remaja yang biasa disebut chicklit dan teenlit di kanan dan kirinya. Ada yang kuning, oranye, dan hijau.

Ketika melirik judulnya, banyak yang terkesima lantaran itu bukanlah ”no-vel biasa”, tetapi roman-roman le-gen-daris karya pengarang besar ne-ge-ri ini. Sitti Nurbaya Marah Rusli, La-yar Terkembang Sutan Takdir Alisjah-bana dan Salah Asuhan Abdoel Moeis bisa juga tampil ”seksi” dalam versi baru.

Ketiga buku itu hanyalah bagian kecil dari program Sastra Klasik yang diluncurkan Balai Pustaka sejak pekan lalu. Berangkat dari kekhawa-tiran sejumlah sastrawan bahwa roman-roman lama itu bisa ”punah” jika tak banyak lagi yang membaca, ter-utama kalangan muda, Balai Pustaka mulai membolak-balik berkas dan me-runut sekitar 70 judul roman. Ter-masuk yang sudah puluhan tahun sirna dari peredaran, misalnya, sejumlah fi-k-si karangan Agus Salim dan Mohammad Yamin, kendati yang dicetak tak ba-nyak, sekitar 5.000 sampai 10 ribu eksemplar per buku.

Buku-buku lama itu tak cuma diberi baju baru, tapi juga disunting ulang dengan ”pembaharuan rasa bahasa”, kata Joko Dwinanto, salah satu editor Sastra Klasik ini. Tak urung, banyak yang khawatir keaslian roman-roman itu ”ternoda”. Bagaimanapun, seperti dikemukakan pengamat media Veven S.P. Wardhana, bahasa adalah karya sastra itu sendiri.

Tapi Joko berjanji perubahan bahasa yang dilakukan tim editor itu tak akan mengubah arti, hanya meluruskan ejaan. Misalnya, kuatir menjadi khawatir atau sahaja menjadi saja. B-egitukah?

Penyair Taufik Ismail meng-anggap sah-sah saja sebuah karya sastra di-terbitkan ulang dengan bahasa yang disederhanakan. Ia mencontohkan ka-rangan Shakespeare yang juga dire-majakan dengan bahasa yang baru un-tuk pangsa anak-anak sekolah mene-ngah. Syaratnya, ”Buku yang asli te-tap harus diterbitkan karena buku ba-ru itu bukanlah pengganti yang lama,” kata Tau-fik. Bacaan itu hanya semacam peng-antar sebelum nanti-nya si pem-baca muda menyantap karya yang asli.

Balai Pustaka sebelumnya juga pernah menerbitkan versi adaptasi ala Shakes-peare itu. Tiga buku A.A. Panji Tis-na, Hulubalang Raja, Sukreni Gadis Bali, dan Mencari Pencuri Anak Pe-rawan, dipasarkan dalam bahasa yang lebih simpel. ”Tapi kami juga menerbitkan edisi aslinya,” ungkap Joko.

Loyonya minat baca di kalangan mu-da kerap membuat cemas para sastra-wan. Menurut Taufik Ismail, ini bukan semata-mata kesalahan si murid, tapi juga ”dosa” sistem pendidikan secara umum. Kini tak semua sekolah memiliki perpustakaan. Kalaupun ada, koleksinya sungguh mengecewakan.

Zuraini, Kepala Seksi Administra-si Balai Pustaka, berbagi ce-rita. Balai Pustaka kerap mengirimkan pe-nawaran buku sastra ke sekolah-se-kolah di berbagai daerah. Tentu de-ngan harga sangat miring. Tetap saja banyak yang tak sanggup membeli. Maklum saja, kini tiap sekolah mesti merogoh kantong masing-masing un-tuk membeli buku. Berbeda de-ngan zaman ketika masih ada proyek Inpres (Instruksi Presiden). Pemerintah-lah yang membeli ke penerbit untuk dikirim ke sekolah.

Selain itu, banyak sekolah yang be-lum memprioritaskan pembelian -roman-roman sastra lantaran siswa s-eko-lah menengah memang tak diwa-jib-kan membaca. Taufik Ismail menu-turkan hasil penelitian kecilnya di 13 ne-gara pada tahun 2000. Dengan lima kondisi—kewajiban membaca disebut-kan dalam kurikulum, buku tersedia di perpustakaan, siswa membaca hingga tamat, siswa membuat ringkas-an buku dan diuji oleh gurunya—siswa Indonesia tak membaca satu pun buku dalam setahun. Bandingkan dengan murid-murid Amerika Serikat yang wajib membaca 32 buku per tahun.

Berbeda dengan di zaman kolonial dulu, saat Sekolah Menengah Atas di Indonesia masih bernama AMS (Algemene Middelbare School). Kala itu, tiap siswa diwajibkan membaca 18 bu-ku tiap semester atau 36 per tahun. Bukan hanya dalam bahasa Indonesia, tapi juga Inggris, Prancis, dan Jerman. Menurut Taufik, dari sistem pendidik-an model begini, lahirlah gene-rasi terpelajar yang kemudian mengubah nasib bangsa, antara lain Soekarno dan Hatta.

Andari Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus