Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Aktor Indonesia Tak Kalah dibanding Hollywood

Aktor dan Koreografer Laga, Yayan Ruhian:

8 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Yayan Ruhian. TEMPO/Gunawan Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YAYAN Ruhian menjadi simbol bandit di layar lebar: pembunuh berdarah dingin yang memilih menghabisi lawannya dengan tangan kosong ketimbang pistol. Pencinta film aksi sulit melupakan momen saat Yayan menghabisi Joe Taslim yang tinggi-kekar dalam The Raid karya Gareth Evans pada 2011. Sejak itu, dunia mengenal Yayan sebagai Mad Dog, karakter yang ia perankan dalam film tersebut.

Seiring dengan keberhasilan The Raid—diikuti The Raid 2: Berandal pada 2014—menembus pasar Amerika Serikat dan Eropa, Yayan pun mendunia. Setahun kemudian, Yayan bersama pesilat dan bintang lain The Raid, Iko Uwais dan Cecep Arif Rahman, mendapat kesempatan beradu akting dengan Harrison Ford dalam Star Wars: The Force Awakens. Tawaran bermain film terus datang kepada Yayan, hampir semuanya peran antagonis. Termasuk dalam film teranyarnya, Hit and Run, yang sedang tayang di bioskop. Dalam film ini, Yayan kembali beradu akting dengan Joe Taslim.

Yayan, bersama Cecep Arif Rahman, menjadi perbincangan para pencinta film setelah tampil beradu jotos dengan Keanu Reeves di New York, Amerika Serikat, dalam John Wick: Chapter 3 – Parabellum. “Ini seperti mimpi,” kata Yayan, 50 tahun, saat berkunjung ke kantor Tempo, Palmerah, Jakarta, Sabtu, 25 Mei lalu.

Dalam dua pekan sejak dirilis pada 17 Mei lalu, John Wick 3 telah meraup lebih dari US$ 182 juta atau sekitar Rp 2,59 triliun. Pendapatannya pada pekan pertama saja sekitar Rp 800 miliar atau hampir dua kali lipat pemasukan minggu perdana Avengers: Endgame, salah satu film terlaris yang tayang tiga pekan sebelumnya. Tapi bukan angka nominal dan nama besar yang Yayan agungkan dari John Wick 3. “Ini pertama kalinya bahasa Indonesia dipakai dalam dialog film Hollywood,” ujarnya kepada wartawan Tempo, Sapto Yunus, Reza Maulana, Nur Alfiyah, dan Angelina Anjar. Dalam film itu, Yayan dan Cecep juga mengusung pencak silat dan kerambit, pisau melengkung senjata khas silat Minangkabau.

Silat adalah napas Yayan. Awalnya, ia belajar main pukulan di kampung halamannya, Desa Cibeber, Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat, untuk gagah-gagahan. “Saat belum bisa mukul dan nendang, saya merasa jadi jagoan,” tutur penggemar aktor laga Hong Kong, Donnie Yen, itu. Makin lama di dunia persilatan, ia merasa makin rendah hati. Silat pula yang membawanya ke Jakarta pada 1988. Ia menjadi pelatih di perguruan Pencak Silat Tenaga Dasar Indonesia.

Pendekar setinggi 160 sentimeter itu mengajar sampai Eropa, termasuk dalam Le Festival des Arts Martiaux de Paris-Bercy di Paris, Prancis, pada 2007. Garis hidupnya berubah pada 2008. Saat itu Gareth Evans, sutradara asal Wales, yang kesulitan mendapatkan pemeran jago silat Minang untuk Merantau (2009), meminta Yayan, koreografer laganya, mengikuti casting. Merantau, dengan bintang utama Iko Uwais, menjadi film pertama Yayan. Setelah 16 film berikutnya, Yayan terus melaju. Lebaran lalu, ia hanya punya dua hari bersama keluarga. Pada 7 Juni lalu, ia terbang ke Lituania untuk syuting film Hollywood berikutnya.

 

 

Bagaimana Anda bisa terlibat dalam John Wick: Chapter 3?

Akhir April 2018, sutradara Chad Stahelski menelepon saya. Saat itu saya baru seminggu di Malaysia untuk syuting Mat Kilau. Dia bilang punya proyek John Wick 3 dan ingin saya bergabung pada Mei-Juni 2018. Aduh, dengan sangat menyesal enggak bisa karena saya baru kembali dari Malaysia pertengahan Mei. Lalu dia bilang akan menghubungi saya lagi kalau jadwalnya bisa diatur ulang. Empat hari kemudian, dia kembali menelepon saya. Dia tanya, bagaimana kalau setelah 15 Mei. Saya jawab, bisa.

Apa yang membuat Anda menerima tawaran itu?

Ditawari film sekelas John Wick, siapa sih yang akan menolak. Saat ditawari pertama kali saja, saya pingin jawab bisa. Alhamdulillah, ini rezeki saya, akhirnya saya bisa bergabung.

Anda bergabung tanpa casting?

Ya. Ini bukti pemain film Indonesia memiliki kualitas yang tidak kalah dibanding orang-orang Hollywood. Selain saya, ada Kang Cecep, Joe Taslim, dan Iko Uwais. Kami terlibat dalam proyek film Hollywood tidak melalui casting. Betul-betul atas permintaan sutradara dan produser. “Casting” kami itu mungkin melalui Merantau, The Raid, dan The Raid 2: Berandal.

Karena The Raid menembus pasar Amerika Serikat?

Kita tahu The Raid adalah film Indonesia pertama yang bisa menembus Hollywood. Jadi saya sangat berterima kasih kepada Gareth Evans dan semua kru yang terlibat. Berkat kerja sama dalam menghasilkan film-film itu, dunia mengenal saya.

Berapa lama Anda menjalani syuting John Wick: Chapter 3?

Satu setengah bulan. Saya sampai di New York, Amerika Serikat, pada 1 Juni 2018. Malamnya, saya langsung diundang ke lokasi syuting dan diperkenalkan dengan Keanu Reeves.

Apa reaksi Anda saat bertemu dengan -Keanu Reeves?

Saya bilang, ini seperti mimpi. Saya memang menyukai film-filmnya, termasuk John Wick (2014) dan John Wick: Chapter 2 (2017). Banyak pula orang yang mengatakan Keanu Reeves sosok yang humble. Begitu bertemu dengannya, memang terlihat dia orang yang benar-benar humble.

Rendah hatinya seperti apa?

Misalnya, saat break, melihat kami berlatih koreografi fighting, dia malah ikut. Padahal, sebagai pemeran utama, jadwalnya paling padat. Saat pulang dari lokasi syuting pun dia ikut mobil rombongan kru.

Keanu Reeves memanggil Anda Mad Dog?

Ya, ha-ha-ha.... Di sana orang-orang memanggil saya Mad Dog.

Saat beradu akting dengan Keanu Reeves,- Anda langsung nyetel?

Itulah. Dia memang aktor hebat. Koreografer film ini pun, 87Eleven, merupakan tim koreografi terbaik Hollywood. Mereka terdiri atas orang-orang profesional dalam bela diri.

Tim koreografi menyiapkan gerakan laga untuk Anda dan Cecep?

Mereka memperlihatkan koreografi yang sudah mereka buat. Tapi kami diberi keleluasaan mengeksplorasi karakter bela diri kami. Jadi kami adaptasikan pencak silat kami ke koreografi itu. Kalau serangannya seperti ini, sambutannya seperti ini. Chad Stahelski sendiri yang ingin kami tetap menjaga karakter bela diri kami. Saya rasa Stahelski ingin memperlihatkan sebuah kolaborasi pertarungan dua karakter bela diri yang berbeda. Saya dan Cecep pencak silat, Reeves judo dan aikido.

Anda benar-benar memukul Keanu Reeves?-

Ha-ha-ha.... Kemungkinan terkena pukulan atau tendangan pasti ada. Tapi itulah enaknya beradu dengan orang yang sudah mengenal atau menguasai bela diri. Saat beradu dengan kita, mereka tidak hanya mengontrol gerakan sendiri, tapi juga gerakan kami. Jadi, walaupun kami beradu secara fisik, itu hanya sentuhan.

Dalam adegan pertarungan, Anda memakai pemeran pengganti?

Dalam setiap film Hollywood dengan adegan bantingan, body double pasti sudah disiapkan. Tapi, saat latihan, kami mencoba bantingan. Akhirnya kami terbiasa. Jadi, saat tim koreografi dan sutradara menawarkan body double untuk adegan bantingan, kami bilang tidak usah, kecuali untuk adegan yang membutuhkan spesialisasi, seperti jatuh dari lantai dua ke lantai satu.

Berapa adegan yang memakai stuntman?

Hanya satu. Selebihnya sendiri.

Bagaimana rasanya dibanting Keanu Reeves?

Sama seperti dibanting Iko Uwais dan Joe Taslim, ha-ha-ha.... Sebenarnya akan sakit kalau dibanting orang yang tidak bisa membanting. Tapi Keanu jago bantingan.

Anda juga pernah bermain bareng Harrison Ford dalam Star Wars: The Force -Awakens. Apa perbedaan dua aktor besar itu?

Saya malah melihat persamaannya. Secara personal, mereka orang yang sangat humble. Secara pekerjaan, mereka sangat profesional. Tanpa mereka menggurui, saya banyak belajar kepada mereka.

Dialog bahasa Indonesia dalam John Wick: Chapter 3 ide siapa?

Sutradara. Karena dalam adegan pertarungan saya dan Cecep melawan John Wick ada jeda, bagusnya ada dialog. Khusus dialog Keanu Reeves, dia sendiri yang meminta. Dia bertanya kepada kami, “Sebelum saya pergi, bagusnya saya bilang apa? Apa bahasa Indonesia-nya see you again?” Kami bilang, “Sampai jumpa lagi atau sampai bertemu lagi”. Akhirnya dia memakai “sampai jumpa”.

Mengapa harus bahasa Indonesia?

Hanya sutradara yang bisa menjawab pertanyaan itu. Tapi, bagi kami, itu suatu kebanggaan. Dalam film-film Hollywood sebelumnya, kami hanya bisa memperkenalkan pencak silat. Melalui John Wick 3, ada tiga budaya Indonesia yang kami perkenalkan: pencak silat; kerambit, senjata tradisional Minangkabau; dan bahasa Indonesia. Ini pertama kalinya bahasa Indonesia dipakai dalam dialog film Hollywood, bahkan diucapkan juga oleh pemeran utamanya.

Anda menganggap John Wick: Chapter 3 sebagai film terbesar yang pernah Anda bintangi?

Saya tidak pernah menjadikan pemasukan film sebagai ukuran. Menurut saya, setiap film yang melibatkan saya bukan hanya karya saya, tapi karya tim. Sinergi positif antara pemain dan kru yang membuat sebuah film bagus.

Anda dibayar berapa untuk bermain dalam film itu?

Sekianlah, ha-ha-ha....

Lebih besar dibanding bayaran Anda dalam film Indonesia?

Buat saya, bayaran bukan nomor satu. Besar-kecil itu hanya angka. Yang penting, sekecil apa pun tidak membuat saya lalai dan sebesar apa pun tetap menjadi berkah.

Yayan Ruhian di kantor Tempo, Palmerah, Jakarta, Sabtu, 25 Mei 2019. TEMPO/Gunawan Wicaksono

Saat Chad Stahelski menawarkan bayaran sekian, Anda langsung menerima?

Tetap saja nawar. Namanya jual-beli, ha-ha-ha.... Tidak ada istilah haram untuk nawar. Tapi, di Hollywood, semua sudah ada standarnya. Untuk peran ini, rate-nya sekian. Lain dengan di sini. Ditawari tiga, kita nawar sepuluh, deal-nya tujuh.

Anda pernah bekerja di bawah sutradara besar seperti J.J. Abrams dan Chad Stahelski. Apa perbedaannya dengan sutradara lokal?

Semua punya gaya masing-masing. Tapi hal berbeda yang saya dapatkan dari dua sutradara besar itu adalah saya tidak pernah mendapati mereka berteriak dari depan monitor. Kalau ingin memberikan arahan, mereka masuk set, nyamperin pemain, dan membicarakan keinginannya.

Bagaimana Anda membandingkan bekerja di Indonesia dan di Amerika Serikat?

Perbedaan yang mencolok adalah soal profesionalisme kerja. Di sana, saya tidak pernah mendengar perintah seperti, “Woi, bawain ini, dong! Woi, geser itu, dong!” Jadi, begitu sutradara bilang cut, kru tahu apa yang harus mereka lakukan untuk pengambilan gambar berikutnya. Kru perempuan, kalaupun harus mengangkat karung, enggak akan teriak, “Woi, angkatin ini, dong! Gue kan perempuan.”

Soal kedisiplinan bagaimana?

Dari waktu bertemu di lobi hotel, berangkat, make up, semua tepat waktu. Di lokasi syuting pun tidak ada rokok, apalagi minuman beralkohol. Saat istirahat, perokok merokok sambil melihat jam. Kalau di sini, waktu istirahat habis, nambah sebats (sebatang rokok) dulu, ha-ha-ha....

Pencak silat mendunia setelah tampil dalam The Raid. Apa efek yang Anda rasakan sebagai guru silat?

Paling tidak orang selalu mengatakan silat makin berkembang dan dikenal dunia. Orang Eropa dan Amerika sangat mengenal silat. Tidak sedikit dari mereka ke Indonesia hanya untuk belajar silat.

Menjadi ironi mengingat anak-anak muda Indonesia kini lebih menyukai mixed martial arts dan muay Thai....

Itulah tantangan buat kami para tuo silek (guru besar silat). Saya tidak berani menyalahkan anak-anak muda kita yang tidak belajar silat. Tapi, di sisi lain, orang luar negeri yang ingin belajar silat itu bukan orang yang baru belajar bela diri. Mereka sudah jago bela diri. Mereka mengatakan silat adalah bela diri hebat dan lengkap. Sebaliknya, anak-anak muda kita saat melihat silat berpikir, “Ya elah, gue pikir bela diri. Kuda-kudanya aja begitu.” Itu karena mereka tidak tahu bela diri.

Anda juga belajar bela diri lain?

Saya pernah belajar aikido dan grappling. Saya suka mempelajari teknik-teknik kuncian. Saya tahu dirilah, badan saya imut-imut, ha-ha-ha.... Jadi saya belajar menghadapi lawan dengan badan dan tenaga yang lebih besar.

Ada niat mempromosikan silat agar dipertandingkan kembali dalam Asian Games, bahkan Olimpiade?

Sudah kami jalankan. Melalui keterlibatan Iko, Kang Cecep, saya dalam film, kami memperkenalkan pencak silat. Supaya silat bisa masuk Olimpiade, itu pekerjaan Ikatan Pencak Silat Indonesia, IPSI, yang sekarang juga sedang bergerak.

Tidak khawatir citra silat jadi jelek karena peran antagonis yang selalu Anda bawakan?

Saya rasa penonton sudah cerdas. Melalui film, saya memperkenalkan pencak silat, bukan memperkenalkan kejahatan. Toh, sehebat dan sejago apa pun orang jahat di film, pasti mati. Kecuali di dunia nyata, banyak orang jahat yang tetap hidup, ha-ha-ha....

 


 

YAYAN RUHIAN

 

Tempat dan tanggal lahir:

Desa Cibeber, Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat, 19 Oktober 1968

 

Pekerjaan:

Pelatih pencak silat (1988-sekarang), koreografer (2008-sekarang), aktor (2008-sekarang)

 

Pendidikan:

SMA Pancasila, Manonjaya (1985-1988)

 

Filmografi, di antaranya:

Merantau (2009)

The Raid (2011)

The Raid 2: Berandal (2014)

Yakuza Apocalypse: The Great War of the Underworld (2015)

Star Wars: The Force Awakens (2015)

Comic 8: Casino Kings Part 2 (2016)

Iseng (2016)

Beyond Skyline (2017)

Wiro Sableng (2018)

John Wick: Chapter 3 - Parabellum (2019)

Hit and Run (2019)

Wira (2019)

Mat Kilau (2019)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus