Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELASAN remaja perempuan dan laki-laki berdiri tenang sambil melantunkan litani nama-nama warga Tionghoa. Baju mereka putih, dan yang pe-rempuan berjarit batik biru pesisir. Pelan-pelan mereka mengitari ruangan yang semuanya berwarna hitam sambil me-layangkan pandangan satu sama lain, menyapa, mencari seseorang, atau mung-kin menggabungkan doa. Dalam setiap langkah, wajah mereka tetap khusyuk men-daraskan litani, doa sebut nama yang dinyanyikan dalam tradisi kepercayaan Kristiani.
Adegan di atas hanyalah sepenggal bagian video berjudul Nama, salah satu karya perupa F.X. Harsono dalam pamer-an tunggal yang juga bertajuk “Nama”. Pa-meran yang akan berlangsung hingga pertengahan Juni ini digelar di Tyler Rollins Fine Art di kawasan Chelsea, Kota New York, Amerika Serikat. Bersama video terse-but dipamerkan sejumlah karya baru Harso-no yang lain dan belum pernah dipa-merkan di Indonesia. Semuanya bertema nama dan perubahannya dalam konteks ke-hidupan masyarakat Tionghoa di Indo-nesia yang ia sandingkan dengan kasus pem-bantaian terhadap mereka pada akhir 1940-an. “Karya-karya ini merupakan peng-hormatan untuk si empunya nama. Nama-nama yang dihapus dan diubah menjadi nama baru. Nama yang tumbuh dalam kehidupan sosial dan budaya. Nama yang mengalir dalam sejarah. Nama dari saksi sejarah yang tak pernah tertulis,” kata Harsono dalam pengantarnya.
Sekalipun membicarakan pembantaian dan kuburan massal warga etnis Tionghoa, Harsono dengan sangat lugas menunjuk-kan meta-refleksinya atas sejarah kelam itu. Tidak ada dendam, marah, dan tuduhan. “Alih-alih begitu, saya menampilkannya sebagai darasan doa litani tanpa menuduh siapa pun,” ujar Harsono saat menjelaskan karya video Nama. Litani dalam video itu berisi perubahan nama warga Tionghoa, misalnya Tan Hiem Nio menjadi Jimawan Tantono, dan konteks politik perubahan nama itu pada 1966.
History of the Survivor/Kisah dari Penyintas. Courtesy of the Artist and Tyler Rollins Fine Art, New York
Napas doa juga kental dalam karya Nama in the Box of Memory/Nama dalam Kotak Ingatan yang menampilkan deretan nama korban pembantaian dalam lima seri kotak berlampu. Setiap kotak yang ber-ukuran sedikit lebih besar daripada kertas kuarto itu berisi foto, cangkir, lam-pu, atau lilin yang mengingatkan kita akan persembahan kepada leluhur di keba-nyak-an rumah keluarga Tionghoa.
Dalam pameran ini, Harsono juga mena-ruh perhatian khusus pada material kertas. History of the Survivor/Kisah dari Penyin-tas, yang terdiri atas lima bagian, di--kerjakan di atas kertas dengan cetak, foto digital, pastel, ataupun kolase. Karya itu menampilkan sosok salah satu penyintas, perempuan 94 tahun bernama Tjoa Er Ries. Karya Monument of Nama menabrakkan kertas yang rapuh dengan ketegaran mo-numen. Harsono memahat nama-nama korban pada monumen berbahan kertas daur ulang. “Monumen yang melekat da--lam sejarah rakyatnya, sebagaimana kertas dulu dikembangkan oleh orang Cina,” tutur Harsono.
Sebaliknya, kertas yang rapuh itu meru-pa-kan dokumen sejarah yang penting ketika ia menjadi kliping koran, foto, atau sertifikat. Di atas banyak dokumen sema-cam inilah karya Nama that Flow within History/Nama yang Hanyut dalam Sejarah digarap. Dalam karya itu, Harsono membordir dengan benang merah dua jenis nama, nama Tionghoa dan nama gu-bahan ke bahasa Indonesia yang ia berikan. Misalnya nama seorang korban, Sie Bwee Nio, ia beri nama Bianti Sidharta. Kedua nama dibordir di atas kliping koran Sin Po yang menampilkan pengumuman upacara penghormatan korban dan berita pembantaian massal di Nganjuk, Jawa Timur, pada 1949.
Bordiran nama itu adalah subteks. Latar-nya, kliping koran Sin Po yang membe-ritakan pembantaian orang Tionghoa di Indonesia, adalah teks yang lebih besar. Sin Po adalah koran masyarakat Tiong-hoa masa itu yang ikut mempelopori peng-gu-naan kata “Indonesia” setelah Sumpah Pemuda 1928 dan koran pertama yang memuat syair lagu Indonesia Raya. Harsono menampilkan paradoks kebudayaan yang bersanding dan bukan bersaing. Namun, di sisi lain, dua nama yang dijahit adalah persandingan karena paksaan poli-tik. Konteksnya menunjuk “Peraturan Ganti Nama Bagi Warga Negara Indonesia Yang Memakai Nama Tjina” pada 1966, seba-gai-mana yang diutarakannya dalam pengan-tar pameran.
Monument of Nama. Courtesy of the Artist and Tyler Rollins Fine Art, New York
Harsono menampilkan rekaman sekali-gus menyusun ulang sejarah perjalanan ke--warganegaraan etnis Tionghoa di Indo-nesia yang selalu dinomorduakan. Kewar-ganegaraan ini, yang selalu terdiskriminasi dan terlupakan, diberi performativitas baru lewat pameran “Nama”. Dengan begi-tu, tidak hanya menyusun ulang seja-rah, Harsono juga mengolah—istilah Chris-topher Bedford “memviralkan”—performa-tivitas kewarganegaraan mereka.
Bedford, kurator di Museum Baltimore, Amerika Serikat, memunculkan istilah “viral ontology of performance” untuk membingkai praktik kesenian kontempo-rer yang melihat, menggarap ulang, serta menggaungkan performance yang pernah dilakukan sebelumnya. Dokumentasi bisa menjadi cara memviralkan performance itu dan sekaligus menawarkan performa-tivitas baru. Adrian Heathfield, misalnya, memviralkan karya Tehching Hsieh dalam bentuk foto dan video. Dengan begitu, performance yang selalu dikira selesai setelah dilakukan satu kali menjadi tetap hidup dan terus berlangsung. Praktik vi-ral itu mengaburkan batas oposisional yang usang antara yang terekam dan yang masih berlangsung. Yang terekam dalam foto, video, atau kliping menjadi kembali berlangsung ketika dipamerkan.
Dalam pameran “Nama”, Harsono ber-la-ku sebagai seniman sekaligus kurator yang membingkai dan menyusun semua re--kaman untuk menegosiasikan ulang hak keberlangsungan etnis Tionghoa se-ba--gai warga Indonesia. Lewat pameran “Nama”, ia memviralkan performativitas kewarganegaraan mereka tidak hanya me-lalui nama, tapi juga kisah mereka agar kem-bali relevan dan berlangsung di tengah kita.
JONED SURYATMOKO, PEMERHATI SENI (NEW YORK)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo