Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Potret Seniman dengan Nama Palsu

Perupa Ristyo Eko Hartanto menyuguhkan seri lukisan potret sejumlah seniman Indonesia.

8 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sosok perupa Titarubi pada lukisan karya Ristyo Eko Hartanto dalam pameran “Museum Potret Dokter Rudolfo?” di Selasar Sunaryo, Bandung. TEMPO/Anwar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR empat jam menje-lang pembukaan pameran, Ristyo Eko Hartanto alias Tan-to masih asyik menyapukan kuas kecilnya dengan cat hitam ke kanvas yang dipajang. Gambarnya membentuk bayangan kapal kayu berlayar yang diam di perairan biru muda. Kapal itu tampak jauh di belakang sosok perupa Titarubi, yang muncul dengan kaus putih, wear pack hitam, sepatu bot, dan topi fedora hitam. Jari kanannya masuk ke saku celana, sementara jemari kirinya dihing-gapi seekor burung kecil berbulu kuning dan biru berparuh mancung. Di belakang kakinya terlihat seekor kucing besar.

Tanto melukis seniman itu untuk pa-meran tunggalnya di ruang Bale Tonggoh Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, pada 15 Mei-30 Juni ini. Dalam pameran bertajuk “Museum Potret Dokter Rudolfo?” itu, Tanto dan kurator Agung Hujatnikajennong se--pakat mengangkat tradisi lama: seniman melukis seniman. Praktik serupa pernah dilakoni para seniman dunia, seperti Rem-brandt, Vincent van Gogh, dan Frida Kahlo.

Di ruang pameran terdapat lukisan figur enam seniman lain yang berderet dari dekat pintu masuk hingga ke belakang. Ada lukisan figur Agung Kurniawan, Han-di-wirman Saputra, Radi Arwinda, Mella Jaarsma, Kinanti Astria, dan Ay Tjoe Chris-tine. Pengunjung bisa membaca tulis-an Agung Hujatnikajennong di setiap sudut bawah kanan lukisan. Alih-alih mencerita-kan fakta riwayat para seniman yang dilukis Tanto, Agung membuat nama asli figur tersebut samar. Titarubi dinamai Hebras Puspitagaluh sebagai perempuan 51 tahun. Statusnya adalah penulis sekaligus sejarawan yang puluhan tahun mendalami ilmu tentang perahu dan kapal laut.

Adapun Mella Jaarsma ditulis Agung sebagai Imeldiaa Basri alias Sri Fannan Mus-tika Dewi, perempuan 59 tahun. Peker-jaannya perancang dan penjahit pakaian. Menurut Agung, hanya sedikit orang yang tahu bahwa Imeldiaa juga melukis dengan serius seperti leluhur dan keluarganya.

Mella dilukis sedang berendam dalam bak di tengah kebun pisang. Agung “Leak” Kurniawan tengah berjemur sambil meng-isap cangklong di atas bebatuan berla-tar sebuah pulau. Hampir tidak ada kait-an sosok dengan latar yang dibuat pada lukisan. Namun, pada semua karya yang ter-tuang di kanvas berukuran 150 x 200 atau 200 x 300 sentimeter itu, ada satu ke--samaan. Semua figurnya berlatar lanskap panorama alam dan ada garis horizon.

Tanto menjelaskan, ia semacam men-ciptakan sebuah ruang yang luas untuk figurnya. Ruang di kanvas itu pun diba-yangkan sebagai panggung teater palsu. Seperti halnya sutradara, Tanto mem-buat citranya tampil dengan kompo-sisi. Ada pemeran utama, yaitu figur yang dilukis, dan elemen penunjang yang meramaikan situasi agak surealis. “Lukisan itu enggak harus make sense, logis, yang penting mood-nya kuat.” Untuk latar, Tanto tampak semarak mengumbar warna cerah. Warna latar lebih terang daripada warna kulit figur yang ia lukis. “Kalau warna langit, misalnya, lebih terang dari warna kulit, orangnya akan menonjol.”

Menurut Tanto, ia menerapkan dua syarat utama untuk seniman pilihannya. “Harus saya kenal dan saya lihat karakter bentuk wajahnya kuat,” ucap seniman ke-lahiran Bandung pada 1973 itu. Para seni-man yang dipilih kemudian difoto dan posenya dilukis oleh Tanto. Ide barunya melukis figur seniman itu muncul sekitar tiga bulan lalu, setelah ia berdiskusi de-ngan Agung Hujatnikajennong, yang ingin membuat tulisan fiksi untuk karya-karya Tanto.

Mengapa pameran ini bertajuk “Museum Potret Dokter Rudolfo?” Dokter Rudolfo ternyata nama samaran Tanto. Dalam tu-lisannya di blog (atau saat menulis fiksi), ia kerap memakai nama alias Dokter Rudolfo. Menciptakan nama palsu untuk seniman yang ia lukis dan memberi tajuk pameran dengan nama samaran ternyata secara psiko-logis lebih “membebaskan” dia. “Un-tuk pertama kalinya dalam karier seni lukis saya, saya merasa melukis itu mirip me-nulis fiksi yang penuh fantasi,” ujarnya. Ya, ya, ya.

ANWAR SISWADI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus