Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Anwar Nasution: “Jangan Mencari-cari Kambing Hitam”

11 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anwar Nasution macan tua yang masih galak. Gaya bicara­nya tetap meledakledak. Ketika masih menjadi pengamat, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini pernah menyebut Bank Indonesia (BI) sebagai sarang penyamun. Ketika dia kemudian ada di dalam Bank Indonesia sebagai Deputi Gubernur Senior, pria berusia 64 tahun ini mengancam akan mengantarkan sendiri pejabat BI yang terlibat kasus bantuan likuidas Bank Indonesia (BLBI) ke Kejaksaan.

Kini, kegalakannya tak berkurang. Sejumlah pegawai BPK yang ketahuan menerima Dana Abadi Umat dari Departemen Agama langsung dipecatnya. Pekan lalu, giliran Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dikecamnya. Sebelumnya Kalla mengatakan, tindakan keras Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menimbulkan ketakutan di kalang­an pejabat pemerintah yang akhirnya menghambat pembangunan ekonomi.

Anwar dengan keras membantahnya. “Investor takut masuk karena birokrasi yang panjang dan korup. Bukan sebaliknya,” ujarnya. Kamis pekan lalu, Anwar menerima wartawan Tempo, M. Taufiqurohman, Philipus Parera, Cahyo Junaedy, dan fotografer Cheppy A. Muchlis, di ruang kerjanya di kantor BPK, Jakarta. Dengan gaya bicaranya yang ceplasceplos diselingi tawa lepas, Anwar menjelaskan posisi BPK dalam pemberantasan korupsi.

Anda membantah pernyataan Jusuf Kalla bahwa pemberantasan korupsi menghambat pembangunan ekonomi. Bagaimana Anda melihat hubungan antara korusi dan perekonomian?

Ekonomi kita terpuruk karena salah kita sendiri. Kalau karena korupsi dibiarkan, kemudian ekonomi maju, kenapa kita bisa mengalami krisis pada tahun 1997? Semua bank digarong.

Lalu apa yang menyebabkan perekonomian kita mandek?

Investasi jangka panjang tidak ada. Ekspor tidak jalan. Ekspor kita yang naik dibanggabanggakan itu ya karena harganya naik di pasar internasional, apakah itu batu bara, apakah itu minyak sawit, atau produkproduk hasil bumi lain. Tapi apakah kita sudah lebih efisien? Kagak tuh. Apakah ada perubahan produksi? Tidak. Cadangan devisa meningkat, yang juga dibanggabanggakan. Itu kan karena utang jangka pendek, Sertifikat Bank Indonesia atau Surat Utang Negara dibeli orang. Jadi, janganlah kemudian KPK disalahsalahkan. Justru KPK itu melihat peng­alaman Hong Kong, Korea Selatan, dan beberapa negara lain. Pemberantasan korupsi justru sangat membantu mening­katkan efisiensi dan mendorong perekonomian. Kalau efisiensi tidak meningkat, bagaimana kita bisa bersaing?

Lihat Korea Selatan. Dua mantan presiden dibui karena korupsi. Sekarang barang-barang Korea Selatan ada di manamana. Kalau korupsi berkurang, ekonomi makin efisien, dan kita bisa bersaing di manamana. Perekonomian kita tentu saja akan menjadi lebih baik. Jangan dibalikbalik dan jangan juga mencari kambing hitam.

Lalu mengapa penanganan kasus korupsi di Indonesia maju-mundur?

Saya sedih membaca headline kalian mengenai Rokhmin Daruri. Kata Rokhmin itu biasa-biasa, dan katanya dia korupsi untuk wong cilik. Padahal, yang punya hak bujet itu hanya DPR. Sekali dia putuskan itu, sudah selesai. Nggak boleh Anwar Nasution menyele­wengkannya untuk membuat masjid. Itu namanya korupsi.

Sejauh mana kontribusi BPK dalam soal pemberantasan korupsi?

Anda bisa lihat dalam statistik yang kami laporkan. Ada 957 rekening atas nama para pejabat yang kita ungkap. Itu saja sudah menghemat Rp 3 triliun. Itu hanya salah satu contoh. BPK juga selalu memeriksa semua uang negara. Sekarang kita juga bekerja sama dengan KPK dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Trasaksi Keuangan).

BPK juga mau mengaudit pajak?

Dari dulu kita melihat ada banyak permainan antara para akuntan perusahaan, appraisal (jasa penilai), dan petugas pajaknya. Makanya kami mau audit pajak supaya penerimaan pajak naik dan tax ratio juga naik. Bayangkan, tax ratio kita hanya 13 persen, padahal kita sudah merdeka 61 tahun. Bukan mau sok kuasa.

Ada hambatan?

Ya, dia tidak bisa diaudit. UndangUndang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan membatasi akses kami ke sana. Inilah yang jadi masalah. Ada juga keluhan dari Inspektur Jenderal Departemen Keuangan sekarang ini, dia pun tak bisa mengaudit pajak.

Departemen Keuangan pun tidak bisa mengaudit pajak?

Undangundangnya sendiri memang melarang. Undangundang itu dibuat DPR zaman Orde Baru. Tadinya kami berharap DPR yang sekarang sudah berubah, sehingga undangundang yang mengatur soal itu bisa diubah. Ternyata DPR sekarang sama juga dengan anggota DPR yang zaman Soeharto.

Selain dari pajak, sebenarnya korupsi itu bisa dilacak melalui apa?

Yang kami lakukan adalah menelusuri pembukuan, pengeluaran, dan penerimaan bukan pajak. Apakah si pejabat menyimpan sendiri duit itu, kemudian apakah dia pakai tanpa meng­a­cu kepada undangundang dan tanpa seizin Departemen Keuangan.

Berapa persentase temuan BPK yang difollow up instansi lain?

Baru sekitar 30 persen, masih rendah. Saya kan tidak bisa perintahkan Kapolri atau Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki, atau Jaksa Agung untuk menangkap orang. Itu bukan urusan kami lagi. BPK hanya melakukan audit. Kami tidak menyidik. Kami nggak bisa tempeleng orang, injak kaki orang supaya ngaku.

BPK tidak punya wewenang untuk membereskan korupsi. Lalu apa yang bisa dilakukan?

Kita menjalankan keterbukaan saja. Laporan Hasil Pemeriksaan yang pada zaman Orde Baru tidak pernah sampai ke tangan masyarakat, sekarang bisa diakses di website BPK.

Bagaimana hubungan BPK dengan KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi?

Kami sudah bekerja sama. Sudah mulai di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Kami melakukan joint operation, sa­ling menukar informasi dalam bidang tugas masingmasing. Kami mengaudit, dia menyidik. Jadi, tidak saling menunggangi. Dengan PPATK juga begitu.

Hasilnya?

Bagus. Nggak lama lagi kita akan sampaikan hasilnya ke publik.

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2006 membaik, tapi Indonesia hanya lebih baik dari Myanmar di Asia Tenggara. Bagaimana Anda melihatnya?

Kalau melihat negara lain, kita memang lamban menangani kasus korupsi. Ambilah kasus BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia). Berkalikali saya bilang, siapa yang memberi izin konglomerat hitam ini keluar dari Indonesia? Ya pejabatpejabat kita sendiri. Bukan polisi Singapura, bukan jaksa Singapura. Itulah yang menjadi persoalan kita. Kita tidak serius. Yang besarbesar itu belum dipegang. Dana juga jadi masalah. Mengejar koruptor itu butuh dana besar.

Kalau dana yang menjadi soal, kenapa negara-negara miskin seperti Vietnam, Laos, bisa lebih bagus?

Itu karena mereka punya niat. Kalau ada uang tapi tak ingin, kan nggak jadi juga. BPK sudah bikin laporan, tapi aparat hukumnya malah menjadikannya ATM (automatic teller machine) hahaha.

Ketika mantan Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe dibebaskan, bagaimana perasaan anda?

Saya sangat sedih. Itulah contoh. Sampai sekarang dia masih punya uang US$ 5 juta di Swiss. Direktur bank mana yang punya uang sebanyak itu? Pakai nalar yang gampang sajalah. Saya mantan guru besar, mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, reinkarnasi sepuluh kali pun nggak akan bisa punya uang sebanyak itu. Ini menggambarkan sistem hukum kita itu tidak benar.

Sistemnya atau orangnya?

Terutama ya orangnya. Coba lihat kasus Harini (Harini Wiyoso, mantan Kepala Pengadilan Tinggi di Yogyakarta). Setelah pensiun dia jadi pengacara. Apa yang dia lakukan? Menyogok. Arti­nya, selama ini praktek di pengadilan memang seperti itu. Harini sial karena ketahuan. Coba lihat juga kasus Tommy Soeharto. Dia mendapatkan remisi yang begitu audzubillah, padahal dia ikut serta membunuh hakim agung. Tidak ada itu namanya empati di kalangan penegak hukum sendiri.

Selain penegakan hukum, ada cara untuk mencegahnya?

Kita ini sudah terbiasa dengan sistem yang berlaku pada zaman Orde Baru. Jadi, kalaupun ada yang salah, sudah dianggap biasa. Yang kedua, kita belum punya orang. Coba lihat, di masa lalu Kepala Biro Keuangan Departemen Kesehatan barangkali dokter gigi, Departemen Pertanian barangkali dokter hewan. Dia nggak ngerti tata buku. Ini terjadi di seluruh Indonesia.

Sistem lama yang bermasalah itu apa?

Di zaman Pak Harto, anggaran nonbujeter dianggap biasa. Yang penting, kata Pak Harto, uang pokoknya utuh, bunganya boleh dipakai. Nah, ini memberi peluang orang mencuri uang negara. Kalau seseorang di departemen basah, jadi basah, bisa memeras. Ini yang menimbulkan pelanggaran. Kemudian ada yang namanya anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Ini juga sumber korupsi.

Tapi karena giatnya penanganan korupsi, banyak pejabat kini ketakutan dipidanakan....

Itu terlalu melebihlebihkan. Kalau dia memang tidak mencuri, polisi tidak akan memanggil dia. Polisi atau Pak Ruki tidak bisa seenaknya. Kita harus membedakan antara mencuri dan realisasi proyek. Janganlah dicampur-adukkan.

Kalau kita ingin ada percepatan pemberantasan korupsi, apa yang harus dilakukan?

Satu sistem sudah kita perbaiki. UU sudah ada. Waktu Pak Boediono Menteri Keuangan, pada 2003 mereka bikin tiga paket UU Keuangan Negara. Itu satu kemajuan yang besar. Kemudian juga mereka ciptakan standar adminis­trasi keuangan negara. Setelah 60 tahun Republik Indonesia merdeka, baru ada yang membuat seperti itu. Malulah kita. Tinggal sekarang bagaimana implementasinya. Sistem akuntasi negara perlu diseragamkan, kemudian tenaganya dididik. Sementara itu, law enforcement harus dijalankan. Hakim, jaksa, polisi kita jangan lagilah seperti yang lalu. Kita harus bersamasama memberantas korupsi ini.

Anwar Nasution

Lahir: Sipirok, Tapanuli Selatan, 5 Agustus 1942

Pendidikan:

  • Ph.D dalam ekonomi di Tufts University, Medford, Massachusetts, AS (1982)
  • Master in Public Administration, The Kennedy School of Government, Harvard University, Massachusetts, AS (1973)
  • Fakultas Ekonomi UI, Jakarta (1968)

Karier:

  • Ketua Badan Pemeriksa Keuangan RI (2004sekarang)
  • Deputi Senior Bank Indonesia (19992004)
  • Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (19981999).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus